Sunday, November 15, 2009

Eksekusi Mati Trio Bom Bali


-->
Koran Tempo, 25 Nopember 2008
Eksekusi Mati Trio Bom Bali

Oleh Khaeron Sirin

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya terpidana mati bom Bali I, Amrozi, Ali Gufron alias Mukhlas, dan Abdul Azis alias Imam Samudra, dieksekusi minggu dini hari kemarin (9/11/08). Trio Bom Bali I tersebut dieksekusi mati dengan cara ditembak. Mereka dieksekusi setelah divonis mati oleh pengadilan negeri Denpasar, Bali, lima tahun silam. Dilaksanakannya eksekusi mati terhadap terpidana terorisme itu sekaligus menjawab teka-teki yang berkembang di masyarakat, baik dalam negeri maupun luar negeri, seputar keraguan pemerintah mengeksekusi mati pelaku kejahatan terorisme.
Namun, ada yang menarik dari eksekusi mati Amrozi cs. Dalam liputan petang yang disiarkan stasiun tvOne (9/11/08) diberitakan, setelah dilakukan tembak mati, ternyata Amrozi cs—yang menurut tim dokter memiliki ketahanan tubuh yang kuat—harus meregang nyawa selama beberapa menit. Bahkan, Imam Samudera harus melewati jeda sekitar 13 (tigabelas) menit untuk bisa menghembuskan nafas terakhirnya. Jika berita itu benar, sungguh disayangkan kebijakan hukum eksekusi mati dengan cara ditembak. Sebab, 13 menit adalah waktu yang sangat lama bagi seorang terpidana yang awalnya segar bugar untuk merasakan penderitaan dan siksaan menjelang ajalnya. Kita pun tak tahu apa yang dilakukan oleh tim dokter ketika itu, membiarkannya sampai mati atau melakukan tindakan medis untuk mempercepat kematiannya. Kita pun tak tahu, apakah kematian Amrozi cs karena tembusan peluru ataukah karena tindakan medis tim dokter ketika itu.
Etika Hukuman Mati
Jauh sebelum pelaksanaan eksekusi mati, Amrozi cs lewat pengacaranya sebenarnya telah mengajukan judicial review terhadap UU No. 2 Tahun 1964 tentang Tatacara Pelaksanaan Pidana Mati. Mereka menolak dihukum mati dengan cara ditembak. Alasannya, di samping ingin dihukum berdasarkan hukum Islam, yaitu dipancung atau dipenggal, hukum tembak mati terkadang tidak membuat si terpidana mati seketika. Ada jeda yang cukup lama bagi si terpidana mati untuk merasakan derita dan sakit di saat sakaratul maut.
Pengajuan judicial review tersebut tentu memberikan implikasi baru bagi tatanan hukum pidana di negeri kita ke depan. Sebab, selain tidak diatur dalam hukum pidana kita selama ini, hal itu juga mengundang simpati bagi sebagian kalangan yang bergiat di bidang hukum dan HAM. untuk mengevaluasi tatacara pelaksanan hukuman mati yang berlaku di Indonesia. Adanya rasa sakit dan derita menjelang kematian itulah yang bisa dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Selain itu, adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh terpidana mati juga perlu dipertimbangkan. Selama ini, terpidana mati harus melalui hukuman yang berlapis, yaitu ditahan selama persidangan dan dipenjara selama bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun, sebelum dieksekusi mati. Bisa jadi, dalam kondisi dan kasus tertentu, si terpidana mati lebih memilih segera dieksekusi mati ketimbang harus melalui tahapan-tahapan hukuman tersebut.
Dalam hukum Islam, hukuman mati yang diberlakukan untuk kasus-kasus tertentu, seperti narkoba, terorisme dan korupsi, termasuk kategori hukuman takzir yang disebut dengan ‘al-qatlu al-siyasi’, yaitu hukuman yang tidak diatur oleh al-Quran dan al-Sunnah, tapi diserahkan kepada penguasa atau negara, baik pelaksanaan ataupun tatacara eksekusinya. Hukuman maksimal (mati) tersebut boleh diberlakukan oleh suatu negara jika dipandang sebagai upaya efektif menjaga ketertiban dan kemaslahatan masyarakat.
Tapi, para ulama sepakat bahwa penguasa hendaknya mengeksekusi terpidana mati dengan cara atau alat yang lebih cepat menghabisi nyawa atau alat yang bisa menyegerakan mati. Hal ini dimaksudkan agar penderitaan atau rasa sakit yang dirasakan terpidana mati tidak terlalu lama. Dalam hal ini, berlaku kaidah ‘menyedikitkan derita dan menyegerakan mati’. Sebagai contoh, eksekusi mati terhadap pelaku kejahatan publik (pidana) bisa dilakukan dengan cara dipancung atau dipenggal lehernya dengan pedang. Eksekusi semacam ini terkesan sadis, tapi sejatinya tidak terlalu lama menyakiti atau lebih cepat mati ketimbang dengan cara ditembak.. Secara kasat mata, hal ini bisa dibuktikan ketika kita memotong atau menyembelih hewan ternak. Inilah sejatinya etika yang harus ditegakkan dalam pelaksanaan hukuman mati.
Revisi UU
Munculnya wacana untuk merevisi tatacara eksekusi mati sebenarnya bisa diakomodasi oleh negara sepanjang tidak mengurangi esensi hukuman mati itu sendiri. Ada ruang yang bisa diakomodasi dalam tatacara pelaksanaan eksekusi mati, yaitu si terpidana dapat memilih cara-cara atau prosedur yang bisa membuatnya nyaman dan ikhlas dalam menjalanai eksekusi mati nantinya. Celah tersebut bisa dilihat dari ketentuan UU No. 2/1964 yang menyebutkan dalam waktu 3 hari (3x24 jam) sebelum dilakukan eksekusi mati, si terpidana bisa mengajukan pesan atau permohonan terakhir kepada jaksa eksekutor.
Ini berarti adanya permintaan terpidana untuk dihukum mati dengan cara selain ditembak, semisal dipancung, merupakan hak si terpidana. Permintaan tersebut bisa dikategorikan sebagai pesan terakhir dari si terpidana sebelum dieksekusi mati. Dari aspek nilai kemanusiaan, pesan atau permohonan tersebut semestinya diperhatikan atau bahkan dikabulkan oleh penguasa, agar keluarga ataupun jiwa si terpidana merasakan ketenangan saat menghadapi kematian. Sedangkan dari aspek kebebasan beragama, si terpidana juga punya hak untuk menjalankan ajaran agama yang dipahaminya sepanjang tidak melanggar hak-hak orang lain atau negara, semisal keinginan mati dengan cara dipancung, pengurusan jenazah dan sebagainya.
Bagaimanapun, aturan hukuman tembak mati, sebagaimana pasal 1 UU. 2/PNPS/1964 bukanlah aturan baku yang tak bisa diubah. Apalagi, jika hukuman mati dengan cara ditembak tidak lebih baik dibanding cara-cara yang lain, semisal dipancung atau disuntik mati. Negara atau penguasa sebenarnya bisa saja merevisi aturan-aturan atau tatacara hukuman mati sekiranya terdapat cara-cara yang lebih baik dan lebih manusiawi. Setidaknya, negara bisa memberlakukan beberapa alternatif tatacara eksekusi mati—selain dengan cara ditembak—bagi terpidana yang meminta jalan lain untuk mati, di samping memberlakukan hukum tembak mati bagi terpidana yang tidak mengajukan permintaan alternatif tersebut.
Upaya merevisi UU tersebut tidak saja untuk menjaga hak-hak si terpidana mati, tapi juga untuk menghormati dan menghargai setiap nyawa yang hendak dilenyapkan. Jadi, tidak ada salahnya kalau penguasa atau negara memberi kebijakan baru tentang tatacara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Bukankah agama kita melarang umatnya menyembelih hewan dengan cara-cara yang menyakiti? Terlebih lagi manusia sebagai makhluk yang mulia di muka bumi ini.

Fikih Perkawinan di Bawah Umur


-->
Lampung Post, 14 Nopember 2008
Fikih Perkawinan di Bawah Umur

Oleh Khaeron Sirin

            Di tengah ancaman krisis ekonomi bangsa, kita dihebohkan dengan berita perkawinan seorang syeikh dengan bocah bernama Lutfiana Ulfa di Semarang. Perkawinan tersebut sontak mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Betapa tidak, Syeikh Puji yang notabene setengah baya menikahi anak umur 12 tahun. Entah apa yang terbersit dalam benaknya, syeikh yang dikenal sebagai pengusaha kaya raya itu berdalih mengikuti sunnah Nabi Saw yang menikahi Aisyah yang konon masih berumur 9 tahun.
Kita tidak tahu persis apakah dalih Syeikh Puji itu sudah didasarkan pada penelitian sejarah (teks) tentang umur Aisyah atau sekadar tahu dari buku-buku yang diragukan keilmiahannya. Yang jelas, dalih yang dikemukakan Syeikh Puji sarat kontroversi dan diragukan.
Antara Gadis (Bikr) dan Belia (Jariyah)
Kasus perkawinan Nabi Saw dengan Aisyah sering dijadikan senjata pamungkas bagi orang-orang yang memusuhi Islam—untuk menjatuhkan citra Islam dan Nabi Saw—ataupun orang Islam sendiri yang ingin mengambil keuntungan sesaat. Dalilnya pun tak tanggung-tanggung, yaitu hadis riwayat Hisyam bin Urwah yang menyebutkan Nabi Saw menikahi Aisyah yang baru berumur 9 tahun.
Padahal, dalam kajian ilmu hadis, riwayat tersebut ternyata kontradiktif dengan riwayat-riwayat lain, sehingga sangat diragukan kebenarannya oleh para ulama. Imam Malik misalnya, secara tegas menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah mengingat usianya yang sudah sangat renta dan diragukan kecerdasan atau daya ingatnya dalam meriwayatkan suatu hadis.
Jika diteliti, banyak indikasi yang menyebutkan bahwa Aisyah berumur lebih dari 9 tahun ketika dinikahi oleh Nabi Saw. Pertama, menurut Imam Thabari, semua anak Abu Bakar, termasuk Aisyah, dilahirkan di masa Jahiliyah atau sebelum Muhammad diutus menjadi nabi (rasul). Ini artinya ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, Aisyah sudah berumur 13-14 tahun. Ini mengindikasikan bahwa ketika Rasulullah menikahi Aisyah setahun setelah hijrah, umur Aisyah diperkirakan 14-15 tahun.
Kedua, menurut riwayat Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), setelah Khadijah meninggal, seorang perempuan bernama Khaulah datang dan meminta Nabi Saw untuk menikah lagi. Lalu, beliau bertanya tentang siapa calon yang diajukannya. Khaulah pun berkata: “Anda bisa menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang janda (tsayyib).” Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis (bikr) tersebut, Khaulah menyebut nama Aisyah. Dalam bahasa Arab, istilah bikr tidak digunakan untuk gadis belia atau di bawah umur (jariyah), tapi disematkan kepada gadis yang belum pernah menikah (perawan) yang rasyidah (bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan).
Ketiga, menurut sebagian besar ahli sejarah, termasuk Ibnu Hajar al-Asqalani, Abdurrahman bin Abi Zannad dan Ibnu Katsir, selisih umur Asma—anak perempuan tertua Abu Bakar—dengan Aisyah adalah 10 tahun. Menurut Ibnu Katsir, dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah (1933), Asma meninggal dunia pada 73 H dalam usia 100 tahun. Dengan demikian, pada awal hijrah Nabi Saw ke Madindah, usia Asma sekitar 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M). Dari indikasi ini, maka usia Aisyah ketika menikah dengan Nabi Saw adalah sekitar 17-18 tahun.
Keempat, riwayat lain menyebutkan, umur Aisyah adalah 5 tahun lebih tua dari Fatimah. Fatimah sendiri lahir ketika Nabi Saw berumur 35 tahun. Ini berarti Aisyah lahir ketika Rasulullah berumur 30 tahun. Sementara Nabi menikahi Aisyah setahun setelah hijrah (atau ketika nabi berumur 53 tahun). Ini mengindikasikan bahwa Aisyah berumur 23-24 tahun ketika menikah dengan beliau.
Selain riwayat-riwayat di atas, pernikahan antara Aisyah dengan Rasulullah secara tradisi dan budaya saat itu tidaklah mengundang cela atau kontra, baik di kalangan kaum Quraisy yang memusuhi Islam maupun di kalangan sahabat Nabi Saw, mengingat usia Aisyah saat itu dianggap pantas oleh masyarakat Arab. Ini menunjukkan batasan usia menikah sangatlah terkait dengan budaya dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat.
Hal ini jelas berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Syeikh Puji saat ini. Tradisi dan budaya bangsa kita jelas masih belum bisa menerima perkawinan Syeikh Puji dengan Ulfa. Dengan usia masih belia ketika menikah (12 tahun), Ulfa masih tergolong anak-anak yang secara psikologis sangat membutuhkan sarana bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Selain itu, hukum kita juga masih menempatkan ulfa sebagai anak di bawah umur yang belum cakap hukum. Apalagi, undang-undang pendidikan kita mewajibkan belajar 12 tahun (SMP).
Mengandung Mudarat
Meski perkawinan Syeikh Puji dengan Ulfa telah mengantongi izin orang tua dan atas kesepakatan kedua belah pihak, hal itu tidaklah serta merta mengindikasikan sahnya suatu perkawinan. Ia bisa dianggap makruh ataupun haram sekiranya perkawinan itu mengandung bahaya secara terselubung bagi salah satu pihak di masa mendatang ataupun memberikan dampak negatif bagi lingkungan masyarakat. Hal ini mengingat dalam hukum Islam, berlaku kaidah “kesepakatan atau persetujuan dalam hal-hal yang mengandung mudarat adalah haram”. Dari sini, bisa diprediksi kalau perkawinan di bawah umur mengandung mudarat bagi si pelaku, masyarakat, negara dan agama itu sendiri, seperti terampasnya hak-hak anak, kekerasan, perdagangan anak, kejahatan pedopilia, dan penyimpangan doktrin agama.
Lebih dari itu, institusi perkawinan merupakan lembaga yang sakral dan suci di mana antara laki-laki dan perempuan terikat dalam ‘mitsaqan ghalidhan’ (ikatan yang sangat kuat) untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Hal ini tidak akan terwujud jika salah satu pasangannya secara fisik, psikis, dan intelektual belum cukup mampu untuk dibebani tanggung jawab itu. Jika ini tetap dipaksakan di suatu masyarakat, maka yang terjadi sebaliknya, pernikahan bukan lagi mendatangkan rahmat melainkan mendatangkan musibah.
Persoalan usia menikah memang persoalan fikih, tapi fikih itu sendiri sangat terikat dengan kondisi sosial dan budaya suatu masyarakat di mana fikih itu diberlakukan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka fikih yang dimaksud adalah undang-undang, sepanjang hal telah diatur atau dikukuhkan oleh negara. Di sini, fikih yang telah dikukuhkan oleh negara tersebut meniadakan keberlakuan fikih-fikih lain sekaligus bersifat mengikat bagi semua warga negara.
Karenanya, setiap perbuatan yang didasarkan pada fikih-fikih tertentu yang berbanding terbalik dengan ketentuan undang-undang negara, maka dalam perspektif syariat Islam, hal itu bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum negara. Dalam hal ini, perkawinan di bawah umur yang dilakukan oleh Syeikh Puji terhadap Ulfa telah melanggar ketentuan UU Perkawinan yang mewajibkan batas minimal usia 16 tahun bagi calon mempelai perempuan. Selain itu, ia juga bisa dikategorikan melanggar UU Perlindungan Anak, UU Ketenagakerjaan dan KUHP. Terhadap perkawinan seperti itu, dalam fikih Islam ataupun undang-undang Perkawinan, bisa dilakukan pembatalan perkawinan dan pelakunya bisa dikenakan hukuman pidana.
Peran Negara
Negara (penguasa) punya kepentingan sekaligus kewajiban untuk menempatkan dan mengarahkan perkawinan sebagai institusi sosial yang melindungi sekaligus mengangkat harkat dan martabat perempuan. Dengan kata lain, peran politik hukum penguasa sangat penting bagi terbangunnya institusi perkawinan yang bisa mendukung tatanan masyarakat yang sehat, religius dan demokratis, tentunya dengan memperhatikan kepentingan, kebutuhan, dan hak-hak kaum perempuan dan masyarakat Indonesia.
Dari sinilah, negara harus bertindak tegas terhadap upaya-upaya yang melemahkan institusi perkawinan kita. Negara harus bisa mewujudkan perangkat hukum yang bisa melindungi perempuan dari tindak kekerasan, eksploitasi, penyimpangan dan kesewenang-wenangan, sekaligus memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelakunya.
Yang jelas, dilihat dari berbagai aspek, perkawinan di bawah umur hanya akan mendatangkan mudarat, baik bagi pelakunya maupun masyarakat. Karenanya, penguasa harus berani mengakhiri persoalan ini. Jangan sampai masalah ini berakhir tanpa kepastian hukum dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan sepihak dengan mengatasnamakan lembaga perkawinan.

Etika Berhaji


-->
Kompas, 13 Nopember 2008
Etika Berhaji

Oleh Khaeron Sirin

Suatu ketika Ibrahim bin Adham bermimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang, “Tahun ini ada berapa orang jemaah yang hajinya diterima oleh Allah?” Tanya salah satu malaikat. Malaikat yang lain menjawab, “Dari sekian ribu orang jemaah, tak satu pun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus, bernama Muwaffaq.” Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran akan mimpinya itu. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu dengan Muwaffaq, Ibrahim akhirnya memperoleh jawaban, “Sudah lama aku ingin berhaji, tapi selalu kesulitan dana. Suatu saat bisnisku untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka.”
Kisah teladan tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam di negeri kita. Bayangkan, ratusan ribu umat Islam Indonesia setiap tahunnya pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji. Di antara mereka, dipastikan ada ratusan bahkan ribuan jemaah yang sebelumnya pernah menunaikan haji. Mereka rela menggelontorkan ratusan juta untuk menunaikan ibadah haji hingga berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda pun ikut diangkut untuk menunaikan haji. Tak puas dengan itu, di luar musim haji, mereka sangat antusias menunaikan ibadah umrah hingga puluhan kali.
Mereka tak menyadari kalau di belakang mereka masih banyak orang-orang tua yang mengantri ingin memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tidak menyadari kalau di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak-anak yatim yang secara obyektif tengah menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai jika dana-dana haji tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana itu akan lebih bermakna dan berpengaruh positif.
Wajar jika kemudian mengemuka wacana ‘pengharaman’ haji ulang (lebih dari sekali). Munculnya gugatan moral ini terkait antusiasme sebagian umat Islam yang hendak menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya di saat kondisi sosial masyarakat kita masih terpuruk dalam kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama kita seolah-olah ‘buta’ terhadap fenomena yang sebenarnya sudah lama berlangsung di negeri kita.
Haji ‘Semu’
Jauh sebelumnya, para ulama sebenarnya sudah mengkritik keras perilaku orang-orang yang berkali-kali naik haji (ahlu al-hajj) sebagai orang-orang yang tertipu dalam beribadah. Bahkan, Imam al-Ghazali menyebut ibadah haji yang mereka tunaikan itu adalah haji ghurur atau haji semu, karena tidak punya dampak apa-apa bagi dirinya maupun orang lain. Kritik keras yang dilontarkan para ulama terhadap orang-orang yang suka menunaikan haji lebih dari sekali didasarkan kondisi riil atau perilaku orang-orang pasca menunaikan ibadah haji. Alih-alih meneladani napak tilas Nabi Ibrahim, yang sarat dengan pengorbanan dan keikhlasan, banyak umat Islam yang bergelar haji justru mengambil jarak dengan orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Ciri kemabruran haji sering dimaknai dengan semakin meningkatnya kesalehan ritual pasca menunaikan ibadah haji tanpa mempedulikan kesalehan sosial.
Padahal, dalam beribadah semestinya ada skala prioritas. Ibadah haji yang kedua kali dan seterusnya hanyalah sunah hukumnya, sementara mempedulikan orang-orang miskin dan anak-anak yatim merupakan kebutuhan publik yang wajib dipikul bersama (fardhu kifayah). Karenanya, sebelum menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, umat Islam seharusnya berpikir ulang, apakah sudah tidak ada lagi orang-orang yang kelaparan di sekitarnya atau tidak. Sebab, istilah ‘bagi yang mampu’—sebagai ‘illat wajibnya menunaikan ibadah haji dalam al-Quran—tidak sekadar kesiapan materi dan mental, tapi juga menyangkut kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.
Dengan kata lain, menyerahkan dan mendayagunakan dana-dana haji ulang untuk kepentingan fakir miskin, anak-anak yatim ataupun kepentingan sosial lainnya merupakan maslahat yang jelas dan berimplikasi positif bagi dinamika sosial masyarakat ketimbang berhaji untuk yang kedua, ketiga atau kesekian kalinya.
Fatwa ‘Haram’
Dalam ajaran Islam, seseorang dibolehkan mengulang atau melakukan ibadah haji lebih dari sekali karena dua alasan syar’i (hukum). Pertama, tidak terpenuhinya salah satu syarat dan rukun haji di waktu lalu, sehingga harus mengulang di waktu berikutnya; dan kedua, untuk menghajikan orang lain (yang sudah meninggal) sebagai amanat yang harus ditunaikan. Selain kedua alasan syar’i tersebut, hukum mengulang haji terbilang sunnah. Tapi dalam kondisi tertentu, dengan mempertimbangkan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan 'illat hukum berupa kebutuhan yang bersifat urgen dan mendesak di saat masyarakat kita di landa krisis dan kemiskinan, hukum mengulang haji bisa bergeser menjadi makruh, bahkan haram. Kebijakan hukum ini pernah berlaku di masa pemerintahan Bani Umayah, mengingat aspek maslahat dan kondisi sosial ketika itu. Bahkan, untuk mendukung kebijakan hukum tersebut, Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, ulama yang hidup di masa itu, mengeluarkan fatwa bahwa sedekah itu lebih baik ketimbang berhaji untuk kedua kalinya.
Berkaca dari sejarah tersebut, para ulama (MUI) perlu mengeluarkan fatwa yang melarang umat Islam untuk menunaikan haji lebih dari sekali tanpa alasan hukum yang jelas. Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, dalam kondisi obyektif masyarakat yang dilanda keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan perilaku sia-sia (menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian sosial. Kedua, mengulang haji dalam konteks kepentingan politik berarti telah mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah menunaikan ibadah haji karena terbatasnya kuota jemaah haji. Ketiga, mengulang haji cenderung menyuburkan egoisme dan gengsi beribadah bagi pelakunya dan menafikan ibadah-ibadah sosial, sekaligus akan mempertajam tingkat kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Fatwa ‘haram’ ini sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji di kalangan umat Islam di negeri kita.
Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan yang menggunung, kita harus menahan diri untuk tidak melaksanakan ibadah haji yang kedua kali atau kesekian kalinya. Kita alihkan saja dana-dana haji mengulang tersebut untuk membantu saudara-sudara kita yang miskin dan kelaparan. Di sinilah kemabruran haji kita yang dulu tengah diuji sekarang.

Jalan Panjang Islam dan Demokrasi

MEDIA INDONESIA, 20 Juli 2007
Jalan Panjang Islam dan Demokrasi

Oleh Khaeron Sirin
Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Salah satu perbincangan yang hingga kini masih menjadi wacana akut dalam soal hubungan Islam dan demokrasi adalah apakah Islam punya relasi positif dengan demokrasi ataukah sebaliknya. Sejumlah kalangan sarjana Islam dengan susah payah terus mengkaji akar dan khazanah Islam guna mencari titik temu antara Islam dan demokrasi. Mereka berharap dari penelitiannya itu bisa ditarik kesimpulan bahwa antara Islam dan Barat bisa saling pengertian dan saling dukung terhadap nilai-nilai demokrasi.
Pada saat yang sama, para sarjana Barat pun mempertanyakan mengapa umat dan agama Islam—sebagai agama yang senantiasa shalih untuk segala jaman dan tempat—selama ini tidak sepenuhnya mendukung demokrasi yang untuk saat ini sangat mengglobal.

Islam dan Demokrasi
Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi ‘pemerintah’ bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Inilah yang menyebabkan keberadaan wakil rakyat (lembaga legislatif) di dunia Barat dianggap sebagai pioner dan pilar utama demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Kondisi seperti itu, menurut Samuel P. Huntington, hanya bisa tumbuh sekiranya didukung oleh sikap, nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku suatu kelompok masyarakat yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi. Artinya, menurut Huntington, ada persyaratan-persyaratan budaya tertentu yang diperlukan guna mendukung tumbuhnya demokrasi, semisal civic culture.
Berpijak dari pandangan seperti itu, samuel Huntington dan juga Bernard Lewis, pesimis kalau demokrasi bisa dijalankan dan ditegakkan di dunia Islam. Sebab, selama ini agama Islam, menurutnya, tidak akomodatif terhadap nilai-nilai demokrasi. Islam juga dianggap bertanggung jawab atas langkanya demokrasi di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Pandangan seperti ini tidak lain karena mereka menganggap watak dan budaya Islam tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme dan juga demokrasi di Barat. Apalagi, Islam sendiri telah menawarkan konsep ummah dalam membangun politik masyarakatnya.
Pada aras yang sama, kalangan umat Islam sendiri juga banyak yang menolak demokrasi, dengan alasan bahwa demokrasi berarti pengakuan akan adanya kedaulatan rakyat (manusia), sedangkan di dalam Islam yang ada hanyalah kedaulatan Tuhan. Mereka juga beralasan bahwa Islam punya konsep politik tersendiri, yaitu konsep ummah dan syura, yang berbeda dengan demokrasi. Dalam perspektif ini, yang menjadi acuan adalah bahwa masyarakat Islam tidak dibolehkan untuk menciptakan kesepakatan- kesepakatan yang dinegosiasikan terhadap segala sesuatu yang dipercaya bertentangan dengan hukum Allah. Pandangan seperti ini, dalam konteks Islam Indonesia, salah satunya diusung oleh Mohammad Natsir yang secara pribadi tidak bisa sepenuhnya menerima pandangan Barat tentang demokrasi.
Memang, antara Islam dan demokrasi adalah dua hal yang jelas berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Agama Islam memiliki dialeketikanya sendiri, begitu juga demokrasi. Demokrasi menekankan adanya kedaulatan manusia, sementara Islam hanya mengakui kedaulatan Tuhan.
Namun demikian, tidak ada halangan bagi Islam untuk berdampingan dengan demokrasi. Tuhan memang memiliki kedaulatan yang mutlak, tapi kedaulatan Tuhan di bumi telah diwakilkan kepada manusia dan dengan sendirinya manusia memiliki kedaulatan untuk menjalankan aturan dan hukum Tuhan di bumi. Selain itu, konsep ataupun prinsip-prinsip politik Islam, semisal syura (musyawarah), musawah (persamaan), ‘adalah (keadilan), amanah (kejujuran/kepercayaan), mas’uliyyah (tanggung jawab) dan hurriyyah (kebebasan), beriring erat dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri, semisal egalite, equality, liberty, human rights, dan sebagainya.
Adanya kesesuaian antara Islam dan demokrasi, secara normatif, sebenarnya bisa kita temukan dalam petunjuk al-Quran, dan dalam realitas sejarah Islam, seperti diungkap Robert N. Bellah, juga bisa kita temukan dalam dinamika dan ekseperimen politik Islam masa Muhammad SAW dan juga al-khulafa al-rasyidun yang bisa dibilang sebagai suatu fenomena demokratis. Artinya, antara Islam dan demokrasi, keduanya memiliki persamaan unsur-unsur dasar dalam politik dan pemerintahan, semisal konstitusional, partisipatoris, dan akuntabilitas.
Hanya saja, bagaimana Islam bisa memberikan topangan budaya—tidak sekadar teks-teks normatif—bagi berkembangnya demokrasi, semisal di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat muslim? Jawabannya tetap akan sulit, mengingat umat Islam saat ini memiliki banyak keragaman dalam memahami teks-teks normatif agama (Islam) dan senderung mendahulukan teks-teks ketimbang kebutuhan dan realitas sosial di masyarakat terhadap setiap persoalan sosial-kemasyarakatan dan politik. Apalagi, masih banyak pemahaman yang berbeda tentang demokrasi itu sendiri antara satu komunitas dengan komunitas muslim lainnya. Tidak jarang apa yang dipraktekkan sebagai demokrasi oleh satu komunitas dipandang lain oleh komunitas yang lain.

Jalan Panjang
Agaknya pembahasan tentang Islam dan demokrasi akan menempuh jalan panjang untuk bisa menemukan titik persinggungan yang positif bagi umat Islam. Hal ini mengingat basis perbedaan pemahaman di kalangan umat Islam lebih didasarkan pada kajian teks normatif yang cenderung menegasikan Islam dengan demokrasi. Butuh waktu untuk memasukkan budaya masyarakat, semisal pemahaman, sikap, dan prilaku masyarakat muslim itu sendiri terhadap politik dan demokrasi.
Kondisi pemahaman seperti itulah yang menyebabkan Saiful Mujani—lewat bukunya Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik (2007)—mencoba memasukkan unsur masyarakat muslim dan identitias sosial dalam memaknai hubungan Islam dan demokrasi. Dalam konteks ini, lanjutnya, Islam sebenarnya tidak memiliki hubungan negatif dengan unsur-unsur demokrasi. Bahkan untuk kasus masyarakat muslim Indonesia, demokrasi bisa diterima dengan positif dan menjadi sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang bisa diterima. Pemilu dalam rentang waktu 1999-2004 adalah contoh betapa masyarakat muslim Indonesia telah mengubah perjuangan keagamaan yang berbau fikih sentris, menuju tema-tema keagamaan yang universal, semisal kejujuran, amanah dan akuntabilitas. Begitu juga dengan diterimanya pemilu legislatif dan pemilu presiden yang dilakukan secara demokratis, secara sadar atau tidak, menunjukkan adanya penerimaan umat Islam atas nilai-nilai demokrasi.
Dengan kata lain, sejak Orde Baru hingga Reformasi saat ini, Islam dan nilai-nilai politik yang terkandung di dalamnya tidak memiliki relasi negatif dengan demokrasi, bahkan antara keduanya saling mendukung. Lebih dari itu, Islam sangat mendorong pembentukan politik demokrasi lewat jalur semisal partai-partai Islam di Indonesia. Dari sinilah, demokrasi bisa dibilang merupakan keniscayaan dan harus dilakukan dalam kehidupan politik Islam modern.
Kita akui, kenyataan menunjukkan ada keunikan dan perbedaan antara Islam dengan demokrasi yang lahir dari sistem sosial budaya Eropa Barat. Namun dalam beberapa hal, demokrasi dan Islam bisa berjalan seiring. Ada nilai-nilai universal dari Islam dan demokrasi yang bisa diterima secara bersamaan oleh masyarakat dan bangsa di dunia ini. Dari nilai-nilai universal inilah sebenarnya Islam dan demokrasi bisa dipertemukan. Kasarnya, kita tidak perlu mengambil hal-hal negatif dalam demokrasi, namun kita juga tidak perlu menolak akan nilai-nilai positif yang dibangun oleh demokrasi itu sendiri. Dan Islam—sebagai agama yang selalu shalih di setiap masa dan tempat—tentunya bisa mengakomodasi pemikiran seperti itu.
Karenanya, untuk kehidupan saat ini, kita tidak perlu lagi mempersoalkan atau mempertentangkan antara Islam dengan demokrasi, karena hanya akan memunculkan konflik baru yang sebenarnya tidak diperlukan oleh umat Islam. Kita hendaknya mencari hal-hal baik yang bisa memajukan kehidupan politik umat Islam, sekaligus membuang hal-hal yang tidak baik dari pertentangan Islam dan demokrasi. Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik. Bahkan, Islam sejatinya mendorong terciptanya ibadah atau kesalehan kolektif pada umat Islam dalam bentuk keterlibatan, partisipasi, dan dukungan terhadap politik dan demokrasi.