Sunday, November 15, 2009

Fikih Perkawinan di Bawah Umur


-->
Lampung Post, 14 Nopember 2008
Fikih Perkawinan di Bawah Umur

Oleh Khaeron Sirin

            Di tengah ancaman krisis ekonomi bangsa, kita dihebohkan dengan berita perkawinan seorang syeikh dengan bocah bernama Lutfiana Ulfa di Semarang. Perkawinan tersebut sontak mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Betapa tidak, Syeikh Puji yang notabene setengah baya menikahi anak umur 12 tahun. Entah apa yang terbersit dalam benaknya, syeikh yang dikenal sebagai pengusaha kaya raya itu berdalih mengikuti sunnah Nabi Saw yang menikahi Aisyah yang konon masih berumur 9 tahun.
Kita tidak tahu persis apakah dalih Syeikh Puji itu sudah didasarkan pada penelitian sejarah (teks) tentang umur Aisyah atau sekadar tahu dari buku-buku yang diragukan keilmiahannya. Yang jelas, dalih yang dikemukakan Syeikh Puji sarat kontroversi dan diragukan.
Antara Gadis (Bikr) dan Belia (Jariyah)
Kasus perkawinan Nabi Saw dengan Aisyah sering dijadikan senjata pamungkas bagi orang-orang yang memusuhi Islam—untuk menjatuhkan citra Islam dan Nabi Saw—ataupun orang Islam sendiri yang ingin mengambil keuntungan sesaat. Dalilnya pun tak tanggung-tanggung, yaitu hadis riwayat Hisyam bin Urwah yang menyebutkan Nabi Saw menikahi Aisyah yang baru berumur 9 tahun.
Padahal, dalam kajian ilmu hadis, riwayat tersebut ternyata kontradiktif dengan riwayat-riwayat lain, sehingga sangat diragukan kebenarannya oleh para ulama. Imam Malik misalnya, secara tegas menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah mengingat usianya yang sudah sangat renta dan diragukan kecerdasan atau daya ingatnya dalam meriwayatkan suatu hadis.
Jika diteliti, banyak indikasi yang menyebutkan bahwa Aisyah berumur lebih dari 9 tahun ketika dinikahi oleh Nabi Saw. Pertama, menurut Imam Thabari, semua anak Abu Bakar, termasuk Aisyah, dilahirkan di masa Jahiliyah atau sebelum Muhammad diutus menjadi nabi (rasul). Ini artinya ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, Aisyah sudah berumur 13-14 tahun. Ini mengindikasikan bahwa ketika Rasulullah menikahi Aisyah setahun setelah hijrah, umur Aisyah diperkirakan 14-15 tahun.
Kedua, menurut riwayat Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), setelah Khadijah meninggal, seorang perempuan bernama Khaulah datang dan meminta Nabi Saw untuk menikah lagi. Lalu, beliau bertanya tentang siapa calon yang diajukannya. Khaulah pun berkata: “Anda bisa menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang janda (tsayyib).” Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis (bikr) tersebut, Khaulah menyebut nama Aisyah. Dalam bahasa Arab, istilah bikr tidak digunakan untuk gadis belia atau di bawah umur (jariyah), tapi disematkan kepada gadis yang belum pernah menikah (perawan) yang rasyidah (bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan).
Ketiga, menurut sebagian besar ahli sejarah, termasuk Ibnu Hajar al-Asqalani, Abdurrahman bin Abi Zannad dan Ibnu Katsir, selisih umur Asma—anak perempuan tertua Abu Bakar—dengan Aisyah adalah 10 tahun. Menurut Ibnu Katsir, dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah (1933), Asma meninggal dunia pada 73 H dalam usia 100 tahun. Dengan demikian, pada awal hijrah Nabi Saw ke Madindah, usia Asma sekitar 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M). Dari indikasi ini, maka usia Aisyah ketika menikah dengan Nabi Saw adalah sekitar 17-18 tahun.
Keempat, riwayat lain menyebutkan, umur Aisyah adalah 5 tahun lebih tua dari Fatimah. Fatimah sendiri lahir ketika Nabi Saw berumur 35 tahun. Ini berarti Aisyah lahir ketika Rasulullah berumur 30 tahun. Sementara Nabi menikahi Aisyah setahun setelah hijrah (atau ketika nabi berumur 53 tahun). Ini mengindikasikan bahwa Aisyah berumur 23-24 tahun ketika menikah dengan beliau.
Selain riwayat-riwayat di atas, pernikahan antara Aisyah dengan Rasulullah secara tradisi dan budaya saat itu tidaklah mengundang cela atau kontra, baik di kalangan kaum Quraisy yang memusuhi Islam maupun di kalangan sahabat Nabi Saw, mengingat usia Aisyah saat itu dianggap pantas oleh masyarakat Arab. Ini menunjukkan batasan usia menikah sangatlah terkait dengan budaya dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat.
Hal ini jelas berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Syeikh Puji saat ini. Tradisi dan budaya bangsa kita jelas masih belum bisa menerima perkawinan Syeikh Puji dengan Ulfa. Dengan usia masih belia ketika menikah (12 tahun), Ulfa masih tergolong anak-anak yang secara psikologis sangat membutuhkan sarana bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Selain itu, hukum kita juga masih menempatkan ulfa sebagai anak di bawah umur yang belum cakap hukum. Apalagi, undang-undang pendidikan kita mewajibkan belajar 12 tahun (SMP).
Mengandung Mudarat
Meski perkawinan Syeikh Puji dengan Ulfa telah mengantongi izin orang tua dan atas kesepakatan kedua belah pihak, hal itu tidaklah serta merta mengindikasikan sahnya suatu perkawinan. Ia bisa dianggap makruh ataupun haram sekiranya perkawinan itu mengandung bahaya secara terselubung bagi salah satu pihak di masa mendatang ataupun memberikan dampak negatif bagi lingkungan masyarakat. Hal ini mengingat dalam hukum Islam, berlaku kaidah “kesepakatan atau persetujuan dalam hal-hal yang mengandung mudarat adalah haram”. Dari sini, bisa diprediksi kalau perkawinan di bawah umur mengandung mudarat bagi si pelaku, masyarakat, negara dan agama itu sendiri, seperti terampasnya hak-hak anak, kekerasan, perdagangan anak, kejahatan pedopilia, dan penyimpangan doktrin agama.
Lebih dari itu, institusi perkawinan merupakan lembaga yang sakral dan suci di mana antara laki-laki dan perempuan terikat dalam ‘mitsaqan ghalidhan’ (ikatan yang sangat kuat) untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Hal ini tidak akan terwujud jika salah satu pasangannya secara fisik, psikis, dan intelektual belum cukup mampu untuk dibebani tanggung jawab itu. Jika ini tetap dipaksakan di suatu masyarakat, maka yang terjadi sebaliknya, pernikahan bukan lagi mendatangkan rahmat melainkan mendatangkan musibah.
Persoalan usia menikah memang persoalan fikih, tapi fikih itu sendiri sangat terikat dengan kondisi sosial dan budaya suatu masyarakat di mana fikih itu diberlakukan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka fikih yang dimaksud adalah undang-undang, sepanjang hal telah diatur atau dikukuhkan oleh negara. Di sini, fikih yang telah dikukuhkan oleh negara tersebut meniadakan keberlakuan fikih-fikih lain sekaligus bersifat mengikat bagi semua warga negara.
Karenanya, setiap perbuatan yang didasarkan pada fikih-fikih tertentu yang berbanding terbalik dengan ketentuan undang-undang negara, maka dalam perspektif syariat Islam, hal itu bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum negara. Dalam hal ini, perkawinan di bawah umur yang dilakukan oleh Syeikh Puji terhadap Ulfa telah melanggar ketentuan UU Perkawinan yang mewajibkan batas minimal usia 16 tahun bagi calon mempelai perempuan. Selain itu, ia juga bisa dikategorikan melanggar UU Perlindungan Anak, UU Ketenagakerjaan dan KUHP. Terhadap perkawinan seperti itu, dalam fikih Islam ataupun undang-undang Perkawinan, bisa dilakukan pembatalan perkawinan dan pelakunya bisa dikenakan hukuman pidana.
Peran Negara
Negara (penguasa) punya kepentingan sekaligus kewajiban untuk menempatkan dan mengarahkan perkawinan sebagai institusi sosial yang melindungi sekaligus mengangkat harkat dan martabat perempuan. Dengan kata lain, peran politik hukum penguasa sangat penting bagi terbangunnya institusi perkawinan yang bisa mendukung tatanan masyarakat yang sehat, religius dan demokratis, tentunya dengan memperhatikan kepentingan, kebutuhan, dan hak-hak kaum perempuan dan masyarakat Indonesia.
Dari sinilah, negara harus bertindak tegas terhadap upaya-upaya yang melemahkan institusi perkawinan kita. Negara harus bisa mewujudkan perangkat hukum yang bisa melindungi perempuan dari tindak kekerasan, eksploitasi, penyimpangan dan kesewenang-wenangan, sekaligus memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelakunya.
Yang jelas, dilihat dari berbagai aspek, perkawinan di bawah umur hanya akan mendatangkan mudarat, baik bagi pelakunya maupun masyarakat. Karenanya, penguasa harus berani mengakhiri persoalan ini. Jangan sampai masalah ini berakhir tanpa kepastian hukum dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan sepihak dengan mengatasnamakan lembaga perkawinan.

No comments: