Sunday, November 15, 2009

Jalan Panjang Islam dan Demokrasi

MEDIA INDONESIA, 20 Juli 2007
Jalan Panjang Islam dan Demokrasi

Oleh Khaeron Sirin
Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Salah satu perbincangan yang hingga kini masih menjadi wacana akut dalam soal hubungan Islam dan demokrasi adalah apakah Islam punya relasi positif dengan demokrasi ataukah sebaliknya. Sejumlah kalangan sarjana Islam dengan susah payah terus mengkaji akar dan khazanah Islam guna mencari titik temu antara Islam dan demokrasi. Mereka berharap dari penelitiannya itu bisa ditarik kesimpulan bahwa antara Islam dan Barat bisa saling pengertian dan saling dukung terhadap nilai-nilai demokrasi.
Pada saat yang sama, para sarjana Barat pun mempertanyakan mengapa umat dan agama Islam—sebagai agama yang senantiasa shalih untuk segala jaman dan tempat—selama ini tidak sepenuhnya mendukung demokrasi yang untuk saat ini sangat mengglobal.

Islam dan Demokrasi
Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi ‘pemerintah’ bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Inilah yang menyebabkan keberadaan wakil rakyat (lembaga legislatif) di dunia Barat dianggap sebagai pioner dan pilar utama demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Kondisi seperti itu, menurut Samuel P. Huntington, hanya bisa tumbuh sekiranya didukung oleh sikap, nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku suatu kelompok masyarakat yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi. Artinya, menurut Huntington, ada persyaratan-persyaratan budaya tertentu yang diperlukan guna mendukung tumbuhnya demokrasi, semisal civic culture.
Berpijak dari pandangan seperti itu, samuel Huntington dan juga Bernard Lewis, pesimis kalau demokrasi bisa dijalankan dan ditegakkan di dunia Islam. Sebab, selama ini agama Islam, menurutnya, tidak akomodatif terhadap nilai-nilai demokrasi. Islam juga dianggap bertanggung jawab atas langkanya demokrasi di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Pandangan seperti ini tidak lain karena mereka menganggap watak dan budaya Islam tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme dan juga demokrasi di Barat. Apalagi, Islam sendiri telah menawarkan konsep ummah dalam membangun politik masyarakatnya.
Pada aras yang sama, kalangan umat Islam sendiri juga banyak yang menolak demokrasi, dengan alasan bahwa demokrasi berarti pengakuan akan adanya kedaulatan rakyat (manusia), sedangkan di dalam Islam yang ada hanyalah kedaulatan Tuhan. Mereka juga beralasan bahwa Islam punya konsep politik tersendiri, yaitu konsep ummah dan syura, yang berbeda dengan demokrasi. Dalam perspektif ini, yang menjadi acuan adalah bahwa masyarakat Islam tidak dibolehkan untuk menciptakan kesepakatan- kesepakatan yang dinegosiasikan terhadap segala sesuatu yang dipercaya bertentangan dengan hukum Allah. Pandangan seperti ini, dalam konteks Islam Indonesia, salah satunya diusung oleh Mohammad Natsir yang secara pribadi tidak bisa sepenuhnya menerima pandangan Barat tentang demokrasi.
Memang, antara Islam dan demokrasi adalah dua hal yang jelas berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Agama Islam memiliki dialeketikanya sendiri, begitu juga demokrasi. Demokrasi menekankan adanya kedaulatan manusia, sementara Islam hanya mengakui kedaulatan Tuhan.
Namun demikian, tidak ada halangan bagi Islam untuk berdampingan dengan demokrasi. Tuhan memang memiliki kedaulatan yang mutlak, tapi kedaulatan Tuhan di bumi telah diwakilkan kepada manusia dan dengan sendirinya manusia memiliki kedaulatan untuk menjalankan aturan dan hukum Tuhan di bumi. Selain itu, konsep ataupun prinsip-prinsip politik Islam, semisal syura (musyawarah), musawah (persamaan), ‘adalah (keadilan), amanah (kejujuran/kepercayaan), mas’uliyyah (tanggung jawab) dan hurriyyah (kebebasan), beriring erat dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri, semisal egalite, equality, liberty, human rights, dan sebagainya.
Adanya kesesuaian antara Islam dan demokrasi, secara normatif, sebenarnya bisa kita temukan dalam petunjuk al-Quran, dan dalam realitas sejarah Islam, seperti diungkap Robert N. Bellah, juga bisa kita temukan dalam dinamika dan ekseperimen politik Islam masa Muhammad SAW dan juga al-khulafa al-rasyidun yang bisa dibilang sebagai suatu fenomena demokratis. Artinya, antara Islam dan demokrasi, keduanya memiliki persamaan unsur-unsur dasar dalam politik dan pemerintahan, semisal konstitusional, partisipatoris, dan akuntabilitas.
Hanya saja, bagaimana Islam bisa memberikan topangan budaya—tidak sekadar teks-teks normatif—bagi berkembangnya demokrasi, semisal di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat muslim? Jawabannya tetap akan sulit, mengingat umat Islam saat ini memiliki banyak keragaman dalam memahami teks-teks normatif agama (Islam) dan senderung mendahulukan teks-teks ketimbang kebutuhan dan realitas sosial di masyarakat terhadap setiap persoalan sosial-kemasyarakatan dan politik. Apalagi, masih banyak pemahaman yang berbeda tentang demokrasi itu sendiri antara satu komunitas dengan komunitas muslim lainnya. Tidak jarang apa yang dipraktekkan sebagai demokrasi oleh satu komunitas dipandang lain oleh komunitas yang lain.

Jalan Panjang
Agaknya pembahasan tentang Islam dan demokrasi akan menempuh jalan panjang untuk bisa menemukan titik persinggungan yang positif bagi umat Islam. Hal ini mengingat basis perbedaan pemahaman di kalangan umat Islam lebih didasarkan pada kajian teks normatif yang cenderung menegasikan Islam dengan demokrasi. Butuh waktu untuk memasukkan budaya masyarakat, semisal pemahaman, sikap, dan prilaku masyarakat muslim itu sendiri terhadap politik dan demokrasi.
Kondisi pemahaman seperti itulah yang menyebabkan Saiful Mujani—lewat bukunya Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik (2007)—mencoba memasukkan unsur masyarakat muslim dan identitias sosial dalam memaknai hubungan Islam dan demokrasi. Dalam konteks ini, lanjutnya, Islam sebenarnya tidak memiliki hubungan negatif dengan unsur-unsur demokrasi. Bahkan untuk kasus masyarakat muslim Indonesia, demokrasi bisa diterima dengan positif dan menjadi sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang bisa diterima. Pemilu dalam rentang waktu 1999-2004 adalah contoh betapa masyarakat muslim Indonesia telah mengubah perjuangan keagamaan yang berbau fikih sentris, menuju tema-tema keagamaan yang universal, semisal kejujuran, amanah dan akuntabilitas. Begitu juga dengan diterimanya pemilu legislatif dan pemilu presiden yang dilakukan secara demokratis, secara sadar atau tidak, menunjukkan adanya penerimaan umat Islam atas nilai-nilai demokrasi.
Dengan kata lain, sejak Orde Baru hingga Reformasi saat ini, Islam dan nilai-nilai politik yang terkandung di dalamnya tidak memiliki relasi negatif dengan demokrasi, bahkan antara keduanya saling mendukung. Lebih dari itu, Islam sangat mendorong pembentukan politik demokrasi lewat jalur semisal partai-partai Islam di Indonesia. Dari sinilah, demokrasi bisa dibilang merupakan keniscayaan dan harus dilakukan dalam kehidupan politik Islam modern.
Kita akui, kenyataan menunjukkan ada keunikan dan perbedaan antara Islam dengan demokrasi yang lahir dari sistem sosial budaya Eropa Barat. Namun dalam beberapa hal, demokrasi dan Islam bisa berjalan seiring. Ada nilai-nilai universal dari Islam dan demokrasi yang bisa diterima secara bersamaan oleh masyarakat dan bangsa di dunia ini. Dari nilai-nilai universal inilah sebenarnya Islam dan demokrasi bisa dipertemukan. Kasarnya, kita tidak perlu mengambil hal-hal negatif dalam demokrasi, namun kita juga tidak perlu menolak akan nilai-nilai positif yang dibangun oleh demokrasi itu sendiri. Dan Islam—sebagai agama yang selalu shalih di setiap masa dan tempat—tentunya bisa mengakomodasi pemikiran seperti itu.
Karenanya, untuk kehidupan saat ini, kita tidak perlu lagi mempersoalkan atau mempertentangkan antara Islam dengan demokrasi, karena hanya akan memunculkan konflik baru yang sebenarnya tidak diperlukan oleh umat Islam. Kita hendaknya mencari hal-hal baik yang bisa memajukan kehidupan politik umat Islam, sekaligus membuang hal-hal yang tidak baik dari pertentangan Islam dan demokrasi. Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik. Bahkan, Islam sejatinya mendorong terciptanya ibadah atau kesalehan kolektif pada umat Islam dalam bentuk keterlibatan, partisipasi, dan dukungan terhadap politik dan demokrasi.

No comments: