-->
Kompas, 13 Nopember 2008
Etika Berhaji
Oleh Khaeron Sirin
Suatu ketika Ibrahim bin Adham bermimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang, “Tahun ini ada berapa orang jemaah yang hajinya diterima oleh Allah?” Tanya salah satu malaikat. Malaikat yang lain menjawab, “Dari sekian ribu orang jemaah, tak satu pun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus, bernama Muwaffaq.” Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran akan mimpinya itu. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu dengan Muwaffaq, Ibrahim akhirnya memperoleh jawaban, “Sudah lama aku ingin berhaji, tapi selalu kesulitan dana. Suatu saat bisnisku untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka.”
Kisah teladan tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam di negeri kita. Bayangkan, ratusan ribu umat Islam Indonesia setiap tahunnya pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji. Di antara mereka, dipastikan ada ratusan bahkan ribuan jemaah yang sebelumnya pernah menunaikan haji. Mereka rela menggelontorkan ratusan juta untuk menunaikan ibadah haji hingga berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda pun ikut diangkut untuk menunaikan haji. Tak puas dengan itu, di luar musim haji, mereka sangat antusias menunaikan ibadah umrah hingga puluhan kali.
Mereka tak menyadari kalau di belakang mereka masih banyak orang-orang tua yang mengantri ingin memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tidak menyadari kalau di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak-anak yatim yang secara obyektif tengah menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai jika dana-dana haji tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana itu akan lebih bermakna dan berpengaruh positif.
Wajar jika kemudian mengemuka wacana ‘pengharaman’ haji ulang (lebih dari sekali). Munculnya gugatan moral ini terkait antusiasme sebagian umat Islam yang hendak menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya di saat kondisi sosial masyarakat kita masih terpuruk dalam kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama kita seolah-olah ‘buta’ terhadap fenomena yang sebenarnya sudah lama berlangsung di negeri kita.
Haji ‘Semu’
Jauh sebelumnya, para ulama sebenarnya sudah mengkritik keras perilaku orang-orang yang berkali-kali naik haji (ahlu al-hajj) sebagai orang-orang yang tertipu dalam beribadah. Bahkan, Imam al-Ghazali menyebut ibadah haji yang mereka tunaikan itu adalah haji ghurur atau haji semu, karena tidak punya dampak apa-apa bagi dirinya maupun orang lain. Kritik keras yang dilontarkan para ulama terhadap orang-orang yang suka menunaikan haji lebih dari sekali didasarkan kondisi riil atau perilaku orang-orang pasca menunaikan ibadah haji. Alih-alih meneladani napak tilas Nabi Ibrahim, yang sarat dengan pengorbanan dan keikhlasan, banyak umat Islam yang bergelar haji justru mengambil jarak dengan orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Ciri kemabruran haji sering dimaknai dengan semakin meningkatnya kesalehan ritual pasca menunaikan ibadah haji tanpa mempedulikan kesalehan sosial.
Padahal, dalam beribadah semestinya ada skala prioritas. Ibadah haji yang kedua kali dan seterusnya hanyalah sunah hukumnya, sementara mempedulikan orang-orang miskin dan anak-anak yatim merupakan kebutuhan publik yang wajib dipikul bersama (fardhu kifayah). Karenanya, sebelum menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, umat Islam seharusnya berpikir ulang, apakah sudah tidak ada lagi orang-orang yang kelaparan di sekitarnya atau tidak. Sebab, istilah ‘bagi yang mampu’—sebagai ‘illat wajibnya menunaikan ibadah haji dalam al-Quran—tidak sekadar kesiapan materi dan mental, tapi juga menyangkut kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.
Dengan kata lain, menyerahkan dan mendayagunakan dana-dana haji ulang untuk kepentingan fakir miskin, anak-anak yatim ataupun kepentingan sosial lainnya merupakan maslahat yang jelas dan berimplikasi positif bagi dinamika sosial masyarakat ketimbang berhaji untuk yang kedua, ketiga atau kesekian kalinya.
Fatwa ‘Haram’
Dalam ajaran Islam, seseorang dibolehkan mengulang atau melakukan ibadah haji lebih dari sekali karena dua alasan syar’i (hukum). Pertama, tidak terpenuhinya salah satu syarat dan rukun haji di waktu lalu, sehingga harus mengulang di waktu berikutnya; dan kedua, untuk menghajikan orang lain (yang sudah meninggal) sebagai amanat yang harus ditunaikan. Selain kedua alasan syar’i tersebut, hukum mengulang haji terbilang sunnah. Tapi dalam kondisi tertentu, dengan mempertimbangkan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan 'illat hukum berupa kebutuhan yang bersifat urgen dan mendesak di saat masyarakat kita di landa krisis dan kemiskinan, hukum mengulang haji bisa bergeser menjadi makruh, bahkan haram. Kebijakan hukum ini pernah berlaku di masa pemerintahan Bani Umayah, mengingat aspek maslahat dan kondisi sosial ketika itu. Bahkan, untuk mendukung kebijakan hukum tersebut, Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, ulama yang hidup di masa itu, mengeluarkan fatwa bahwa sedekah itu lebih baik ketimbang berhaji untuk kedua kalinya.
Berkaca dari sejarah tersebut, para ulama (MUI) perlu mengeluarkan fatwa yang melarang umat Islam untuk menunaikan haji lebih dari sekali tanpa alasan hukum yang jelas. Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, dalam kondisi obyektif masyarakat yang dilanda keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan perilaku sia-sia (menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian sosial. Kedua, mengulang haji dalam konteks kepentingan politik berarti telah mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah menunaikan ibadah haji karena terbatasnya kuota jemaah haji. Ketiga, mengulang haji cenderung menyuburkan egoisme dan gengsi beribadah bagi pelakunya dan menafikan ibadah-ibadah sosial, sekaligus akan mempertajam tingkat kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Fatwa ‘haram’ ini sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji di kalangan umat Islam di negeri kita.
Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan yang menggunung, kita harus menahan diri untuk tidak melaksanakan ibadah haji yang kedua kali atau kesekian kalinya. Kita alihkan saja dana-dana haji mengulang tersebut untuk membantu saudara-sudara kita yang miskin dan kelaparan. Di sinilah kemabruran haji kita yang dulu tengah diuji sekarang.
No comments:
Post a Comment