-->
Koran Tempo, 25 Nopember 2008
Eksekusi Mati Trio Bom Bali
Oleh Khaeron Sirin
Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya terpidana mati bom Bali I, Amrozi, Ali Gufron alias Mukhlas, dan Abdul Azis alias Imam Samudra, dieksekusi minggu dini hari kemarin (9/11/08). Trio Bom Bali I tersebut dieksekusi mati dengan cara ditembak. Mereka dieksekusi setelah divonis mati oleh pengadilan negeri Denpasar, Bali, lima tahun silam. Dilaksanakannya eksekusi mati terhadap terpidana terorisme itu sekaligus menjawab teka-teki yang berkembang di masyarakat, baik dalam negeri maupun luar negeri, seputar keraguan pemerintah mengeksekusi mati pelaku kejahatan terorisme.
Namun, ada yang menarik dari eksekusi mati Amrozi cs. Dalam liputan petang yang disiarkan stasiun tvOne (9/11/08) diberitakan, setelah dilakukan tembak mati, ternyata Amrozi cs—yang menurut tim dokter memiliki ketahanan tubuh yang kuat—harus meregang nyawa selama beberapa menit. Bahkan, Imam Samudera harus melewati jeda sekitar 13 (tigabelas) menit untuk bisa menghembuskan nafas terakhirnya. Jika berita itu benar, sungguh disayangkan kebijakan hukum eksekusi mati dengan cara ditembak. Sebab, 13 menit adalah waktu yang sangat lama bagi seorang terpidana yang awalnya segar bugar untuk merasakan penderitaan dan siksaan menjelang ajalnya. Kita pun tak tahu apa yang dilakukan oleh tim dokter ketika itu, membiarkannya sampai mati atau melakukan tindakan medis untuk mempercepat kematiannya. Kita pun tak tahu, apakah kematian Amrozi cs karena tembusan peluru ataukah karena tindakan medis tim dokter ketika itu.
Etika Hukuman Mati
Jauh sebelum pelaksanaan eksekusi mati, Amrozi cs lewat pengacaranya sebenarnya telah mengajukan judicial review terhadap UU No. 2 Tahun 1964 tentang Tatacara Pelaksanaan Pidana Mati. Mereka menolak dihukum mati dengan cara ditembak. Alasannya, di samping ingin dihukum berdasarkan hukum Islam, yaitu dipancung atau dipenggal, hukum tembak mati terkadang tidak membuat si terpidana mati seketika. Ada jeda yang cukup lama bagi si terpidana mati untuk merasakan derita dan sakit di saat sakaratul maut.
Pengajuan judicial review tersebut tentu memberikan implikasi baru bagi tatanan hukum pidana di negeri kita ke depan. Sebab, selain tidak diatur dalam hukum pidana kita selama ini, hal itu juga mengundang simpati bagi sebagian kalangan yang bergiat di bidang hukum dan HAM. untuk mengevaluasi tatacara pelaksanan hukuman mati yang berlaku di Indonesia . Adanya rasa sakit dan derita menjelang kematian itulah yang bisa dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Selain itu, adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh terpidana mati juga perlu dipertimbangkan. Selama ini, terpidana mati harus melalui hukuman yang berlapis, yaitu ditahan selama persidangan dan dipenjara selama bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun, sebelum dieksekusi mati. Bisa jadi, dalam kondisi dan kasus tertentu, si terpidana mati lebih memilih segera dieksekusi mati ketimbang harus melalui tahapan-tahapan hukuman tersebut.
Dalam hukum Islam, hukuman mati yang diberlakukan untuk kasus-kasus tertentu, seperti narkoba, terorisme dan korupsi, termasuk kategori hukuman takzir yang disebut dengan ‘al-qatlu al-siyasi’, yaitu hukuman yang tidak diatur oleh al-Quran dan al-Sunnah, tapi diserahkan kepada penguasa atau negara, baik pelaksanaan ataupun tatacara eksekusinya. Hukuman maksimal (mati) tersebut boleh diberlakukan oleh suatu negara jika dipandang sebagai upaya efektif menjaga ketertiban dan kemaslahatan masyarakat.
Tapi, para ulama sepakat bahwa penguasa hendaknya mengeksekusi terpidana mati dengan cara atau alat yang lebih cepat menghabisi nyawa atau alat yang bisa menyegerakan mati. Hal ini dimaksudkan agar penderitaan atau rasa sakit yang dirasakan terpidana mati tidak terlalu lama. Dalam hal ini, berlaku kaidah ‘menyedikitkan derita dan menyegerakan mati’. Sebagai contoh, eksekusi mati terhadap pelaku kejahatan publik (pidana) bisa dilakukan dengan cara dipancung atau dipenggal lehernya dengan pedang. Eksekusi semacam ini terkesan sadis, tapi sejatinya tidak terlalu lama menyakiti atau lebih cepat mati ketimbang dengan cara ditembak.. Secara kasat mata, hal ini bisa dibuktikan ketika kita memotong atau menyembelih hewan ternak. Inilah sejatinya etika yang harus ditegakkan dalam pelaksanaan hukuman mati.
Revisi UU
Munculnya wacana untuk merevisi tatacara eksekusi mati sebenarnya bisa diakomodasi oleh negara sepanjang tidak mengurangi esensi hukuman mati itu sendiri. Ada ruang yang bisa diakomodasi dalam tatacara pelaksanaan eksekusi mati, yaitu si terpidana dapat memilih cara-cara atau prosedur yang bisa membuatnya nyaman dan ikhlas dalam menjalanai eksekusi mati nantinya. Celah tersebut bisa dilihat dari ketentuan UU No. 2/1964 yang menyebutkan dalam waktu 3 hari (3x24 jam) sebelum dilakukan eksekusi mati, si terpidana bisa mengajukan pesan atau permohonan terakhir kepada jaksa eksekutor.
Ini berarti adanya permintaan terpidana untuk dihukum mati dengan cara selain ditembak, semisal dipancung, merupakan hak si terpidana. Permintaan tersebut bisa dikategorikan sebagai pesan terakhir dari si terpidana sebelum dieksekusi mati. Dari aspek nilai kemanusiaan, pesan atau permohonan tersebut semestinya diperhatikan atau bahkan dikabulkan oleh penguasa, agar keluarga ataupun jiwa si terpidana merasakan ketenangan saat menghadapi kematian. Sedangkan dari aspek kebebasan beragama, si terpidana juga punya hak untuk menjalankan ajaran agama yang dipahaminya sepanjang tidak melanggar hak-hak orang lain atau negara, semisal keinginan mati dengan cara dipancung, pengurusan jenazah dan sebagainya.
Bagaimanapun, aturan hukuman tembak mati, sebagaimana pasal 1 UU. 2/PNPS/1964 bukanlah aturan baku yang tak bisa diubah. Apalagi, jika hukuman mati dengan cara ditembak tidak lebih baik dibanding cara-cara yang lain, semisal dipancung atau disuntik mati. Negara atau penguasa sebenarnya bisa saja merevisi aturan-aturan atau tatacara hukuman mati sekiranya terdapat cara-cara yang lebih baik dan lebih manusiawi. Setidaknya, negara bisa memberlakukan beberapa alternatif tatacara eksekusi mati—selain dengan cara ditembak—bagi terpidana yang meminta jalan lain untuk mati, di samping memberlakukan hukum tembak mati bagi terpidana yang tidak mengajukan permintaan alternatif tersebut.
Upaya merevisi UU tersebut tidak saja untuk menjaga hak-hak si terpidana mati, tapi juga untuk menghormati dan menghargai setiap nyawa yang hendak dilenyapkan. Jadi, tidak ada salahnya kalau penguasa atau negara memberi kebijakan baru tentang tatacara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia . Bukankah agama kita melarang umatnya menyembelih hewan dengan cara-cara yang menyakiti? Terlebih lagi manusia sebagai makhluk yang mulia di muka bumi ini.