Tuesday, May 8, 2007

Mungkinkan Pelaku Korupsi Dihukum Mati?

Kompas: Sabtu, 4 Agustus 2001
Mungkinkah Pelaku Korupsi Dihukum Mati?

Oleh Khaeron Sirin

Di tengah carut -marutnya hukum, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia saat ini, kehilangan seorang Prof Baharuddin Lopa "Sang Pendekar Hukum" dari tanah Mandar, jelas meninggalkan kesan mendalam di hati kita. Berpulangnya Pak Lopa menghadap Ilahi Rabbi sepertinya meredupkan < harapan masyarakat yang kemarin baru saja dinyalakan. Lopa telah memercikkan kesejukan di saat bangsa ini dilanda dahaga akan keadilan dan supremasi hukum. Kepergiannya yang begitu cepat, tentunya masih menyisakan harapan bagi kita untuk tetap bertekad meneruskan apa yang selama ini dirintis Lopa dalam memberantas sekaligus menjebloskan pelaku kejahatan korupsi ke penjara.
Memang, dalam keyakinan Lopa dan juga kita, korupsi adalah musuh besar yang harus diberantas. Sebab, korupsi tidak hanya merugikan bangsa dan negara, tapi juga merusak mental masyarakat, baik aparat pemerintah itu sendiri maupun masyarakat luas.
Selain merusak kinerja birokrasi pemerintahan, kejahatan korupsi juga akan menimbulkan semacam keinginan kuat berupa "dendam kelas" di tengah-tengah masyarakat, yang selama ini merasa terpinggirkan dari arena kekuasaan. Lebih dari itu, kejahatan korupsi ini, pada akhirnya, berimbas lumpuh dan tidak efisiennya seluruh biro-krasi dan administrasi negara.
Kejahatan luar biasa
Dari sinilah, perlu direformasi atau dipertegas kembali upaya penanganan kasus-kasus korupsi secara konkret dan jelas. Kasus korupsi harus ditempatkan sebagai tindak kejahatan yang benar-benar luar biasa. Sebab, kejahatan ini tidak hanya merugikan masyarakat secara umum (kejahatan publik) ataupun bentuk pengkhianatan amanat rakyat, tapi juga kejahatan yang bisa mengancam moral generasi penerus bangsa, sekaligus mengganggu stabilitas, kredibilitas dan citra negara di mata internasional.
Untuk itulah, bangsa Indone-sia harus segera menyusun sebuah strategi nasional untuk memberantas kejahatan korupsi ini. Bahkan, usulan agar dalam forum Sidang Istimewa (SI) MPR tidak sekadar membicarakan soal kepemimpinan nasional sebenarnya merupakan usulan yang perlu dipertimbangkan.
Selain meminta pertanggungjawaban Presiden, SI MPR yang baru lalu seharusnya bisa mencapai konsensus dalam upaya mengatasi berbagai masalah yang melingkupi bangsa ini, yaitu menyatakan perang terhadap korupsi dan mewujudkan atau membentuk komisi yang diberikan wewenang penuh untuk mengawasi sekaligus memberantas tindak pidana korupsi di dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dalam hal ini, perlu dibahas dan dirumuskan semacam kaidah ataupun norma yang konkret sebagai acuan produk legislatif untuk mengawasi perilaku korupsi.
Upaya ini tentunya tidak akan berhasil selama MPR masih berorientasi pada masalah politik an sich seperti yang kita lihat selama ini. Padahal, sudah semestinya MPR lebih berorientasi pada rakyat dan menjalankan fungsinya dalam memberikan arahan dan pengawasan kepada lembaga tinggi negara, khususnya Presiden dalam menjalan-kan amanat Tap MPR No XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Memang, reformasi yang dilakukan sekarang ini belumlah total. Pemerintah yang ada masih bersifat transplacement bukan replacement (mengganti) pemerintah lama dengan orang-orang yang reformis. Sehingga, tidak mengherankan, jika upaya pemberantasan korupsi selalu terganjal oleh kekuatan lama yang tidak mau dosa-dosanya, di masa lalu, terbongkar.
Situasi seperti ini, sering dimanfaatkan oleh mereka yang memahami kelemahan-kelemahan hukum positif yang ada. Para penegak hukum pun tidak berdaya menyelesaikan kasus-kasus kejahatan korupsi yang melibatkan para petinggi negara ini dan kroni-kroninya. Dengan kata lain, undang-undang, penegak hukum, dan budaya kita masih belum mampu memberikan rasa takut orang-orang yang melakukan kejahatan korupsi.
Jika dibiarkan, struktur pemerintah yang diisi oleh pejabat-pejabat bermental seperti itu jelas akan menciptakan dan meningkatkan korupsi yang sistematik dan meluas. Dari sini, bisa kita rasakan betapa besar dan luar biasa bahaya yang ditimbulkan akibat berkembangnya tindak kejahatan korupsi. Karenanya, ia harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Sebenarnya, sudah ada keinginan kuat dari pemerintah untuk memberantas tindak kejahatan korupsi ini, seperti mengamandemen UU No 31/ 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), dan mengajukan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi, sejauh ini belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Karena itulah, pembuat undang-undang, yaitu pemerintah bersama DPR, mesti menyadari dan memperhitungkan adanya kekurangan-kekurangan dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan hukum masyarakat. Yaitu bahwa pemerintah sebagai pencipta dan penegak hukum, harus berusaha menggali dan mengikuti serta memahami nilai hukum yang hidup di masyarakat dalam rangka melengkapi hukum formal, agar sesuai dengan perasaan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam konteks ini, keadilan hanya bisa dilahirkan jika aparat penegak hukum tidak semata-mata menonjolkan procedural justice atau formalitas prosedur penegakan hukum. Hal ini sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum. Hukum harus dikembalikan kepada akar moralitasnya.
Hukuman mati
Jika dilihat dari bahaya yang ditimbulkan, pelaku korupsi memang pantas untuk dihukum sangat berat, jika perlu dihukum mati. Pertimbangannya, kejahatan ini ternyata menyebabkan kehancuran yang luar biasa hebat bagi kelangsungan hidup bangsa. Masyarakat hingga anak cucu bangsa ini di kemudian hari menderita dan me-nanggung akibatnya. Dari sini pula keberadaan bangsa kita menjadi terpojok, dihina dan dipermalukan di dunia internasional karena maraknya budaya korupsi yang tak terkendali.
Indonesia, kini dalam keadaan yang kritis dalam soal korupsi, karena hampir selama 30-an tahun dalam benak pejabat kita, terutama yang menempati 'lahan basah', adalah kata-kata yang tak jauh beda dengan iklan di TV "ambil lagi... ambil lagi...".
Bahkan, seperti yang dilaporkan lembaga Transparency International (TI), dari 91 negara yang diteliti, Indonesia ternyata menempati lima besar negara terkorup di dunia bersama negara Azerbaizan, Ukraina, Yugoslavia dan Nigeria (Kompas, 7/ 7/ 2001). Sedangkan Cina dan Vietnam yang beberapa tahun terakhir bersaing dalam soal korupsi dengan Indonesia, kini sudah jauh lebih baik setelah mengampanyekan gerakan antikorupsi dengan menghukum mati para pejabat teras mereka yang terlibat kejahatan korupsi.
Karena itulah, bangsa Indonesia perlu mengikuti langkah strategis yang dilakukan Cina dan Vietnam tersebut. Bangsa Indonesia perlu menyadarkan masyarakat akan bahaya dari budaya korupsi dan mengkampanyekan sanksi hukum yang sangat berat atau hukuman mati bagi para pelakunya sebagai hukuman yang pantas dan wajar dijatuhkan. Dengan demikian, keputusan hukuman mati bagi pe-laku kejahatan korupsi ini akan diterima dengan lega dan lapang dada oleh mayoritas bangsa.
Selain itu, proses hukum yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan vonis hukuman bagi pelaku kejahatan korupsi, harus bersifat transparan. Hal ini semata-mata agar bisa diikuti dan dipantau oleh masyarakat secara luas, sehingga memenuhi rasa keadilan masyarakat. Proses seperti ini tentunya akan bisa menumbuhkan kepuasan publik, dan semakin menumbuhkan kepercayaan masyarakat Indonesia pada bangsa dan negaranya yang dengan sungguh-sungguh, sekuat tenaga dan cermat menegakkan hukum demi melindungi seluruh masyarakat dan membangun ketertiban bangsa.
Lebih dari itu, keinginan pemerintah untuk segera memberlakukan asas pembuktian terbalik ataupun asas praduga bersalah untuk kasus korupsi harus disambut secara positif, sebagai upaya menjerat sekaligus menyeret para pelaku kejahatan korupsi yang selama ini sulit diungkap. Meski upaya pemerintah menjebloskan pelaku kejahatan korupsi sarat dengan kepentingan politik, tapi lahirnya asas ini harus dilihat dari aspek penegakan supremasi hukum sekalipun berangkat dari keinginan politik.
Pembuktian terbalik ini dimaksudkan untuk membuktikan harta yang diperoleh seseorang, khususnya pejabat, yang diduga melakukan korupsi benar-benar melanggar hukum atau tidak. Di Malaysia dan Singapura, misalnya, terdapat ketentuan hukum yang disebut praduga korupsi, yaitu setiap pemberian kepada pejabat atau pegawai negeri selalu dianggap korupsi, kecuali jika yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.
Memang, dalam asas pembuktian terbalik, seseorang bisa menjadi permainan politik untuk menjatuhkan lawan di dalam ataupun di luar pemerintahan. Karenanya, perlu dipertimbangkan aturan-aturan prosedur selanjutnya. Dalam hal ini, jika yang dituduh dapat membuktikan dirinya tidak bersalah, maka orang yang menuduh harus diberi sanksi. Dan yang terpenting, penerapan asas pembuktian terbalik harus didahului dengan pembersihan 'sampah-sampah' di lingkungan kejaksaan dan peradilan. Sebab, tidak mustahil, penerapan asas ini, justru bisa menjadi sarana pemerasan dan praktik KKN baru.
Dari sinilah, pentingnya pembahasan tentang lembaga yang berwenang penuh dan memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menangani kejahatan korupsi. Tentunya, hal ini harus didukung dengan sistem perundang-undangan dan hukum yang secara tegas dan jelas, baik formil ataupun materil, melarang segala praktik yang merugikan negara dan rakyat. Sekaligus, juga memberikan sanksi hukum yang sangat berat bagi mereka yang berani melakukannya, terutama pejabat pemerintah dan negara.
Selain itu, infrastruktur peradilan perlu diberdayakan dengan tidak ada campur tangan pihak-pihak tertentu dalam mengadili setiap tindak kejahatan korupsi yang terjadi. Begitu pula, birokrasi dan manajemennya perlu diciptakan secara lebih efisien dan efektif sehingga tujuan adanya birokrasi itu sendiri bisa tercapai dengan baik. Jika perlu, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan yang ada dirombak kembali demi tegaknya su-premasi hukum.
Akhirnya, apa yang menjadi harapan kita bersama adalah bagaimana bangsa ini bisa secara konsisten keluar dari belenggu krisis. Bahwa SI MPR nanti tidak sekadar panggung politik, tapi juga panggung rakyat adalah sebuah keniscayaan. Hal ini penting menuju terselenggaranya clean governance dan good governance, dan tegaknya supremasi hukum.
(Khaeron Sirin, Staf Pusat Hukum HAM IAIN Jakarta, mahasiswa Pascasarjana IAIN Jakarta )

Friday, May 4, 2007

Islam dan Relasi Buruh-Majikan

REPUBLIKA: Selasa, 11 April 2006
Islam dan Relasi Buruh-Majikan

Oleh Khaeron Sirin

Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan menyelesaikan persoalan perburuhan. Selama ini aspirasi kaum buruh sangat sulit menembus dinding politik negeri kita. Kesediaan Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sedikit memberikan 'angin segar' bagi buruh untuk memperoleh hak-haknya.
Artinya, revisi Undang-undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan nantinya bisa saja mengakomodasi tuntutan kaum buruh. Sebab revisi tak saja ditentukan pemerintah dan pengusaha, tapi juga kaum buruh. Upaya kaum buruh memperoleh perlindungan kerja, kesejahteraan, dan hak-hak lainnya akan bisa lebih mudah diperjuangkan dan diselesaikan.
Meski belum tentu menghasilkan putusan yang memihak kaum lemah (buruh), pertemuan tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan buruh merupakan langkah yang baik guna menyelesaikan berbagai persoalan pelik. Misalnya soal persepsi berbagai kalangan tentang eksistensi kaum buruh di Indonesia.
Dengan kata lain, kaum buruh di negeri kita adalah bagian dari pelaku-pelaku ekonomi bangsa yang mestinya ditempatkan sejajar dan terhormat seperti pengusaha atau majikan. Seorang buruh harus merasakan hak-hak dan keuntungannya ketika ia bekerja atau mengabdi kepada seorang majikan atau pengusaha, seperti ketika pengusaha mengambil keuntungan dari tetesan keringatnya.
ParadigmaPersoalan buruh selama ini selalu memprihatinkan. Baik menyangkut hubungan pekerja/buruh dengan majikan, upah buruh, efektivitas industri dan peluang kerja, keseimbangan produksi dan konsumsi, ataupun jaminan kesehatan (asuransi). Yang pasti, berbagai ketidakpuasan buruh terhadap manajemen kerja dan industrialisasi telah melahirkan upaya-upaya seperti pemogokan, demonstrasi, bahkan sabotase dalam lapangan industri, yang pada akhirnya merugikan semua pihak.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Mengapa terasa sulit dipecahkan? Apakah persoalan manajemen kerja dan industrialisasi selamanya harus menguntungkan majikan (pemodal) dan menekan eksistensi kaum buruh? Inilah persoalan-persoalan yang hendaknya dilihat dan dipecahkan secara holistik.
Selama ini kita dihadapkan pada perubahan pandangan tentang fungsi dan status buruh dalam dunia kerja. Buruh, misalnya, sering ditempatkan sebagai pihak yang selalu membutuhkan dan harus menerima putusan majikan apa adanya. Buruh adalah pihak yang selalu 'meminta-minta', sementara pengusaha adalah mereka yang selalu mengulurkan tangan membuka lapangan kerja dan mengentaskan kaum buruh dari pengangguran.
Sulitnya mencari kerja dan tingginya angka pengangguran saat ini telah memaksa buruh rela menerima penindasan atau pelecehan demi sesuap nasi dari para pengusaha. Pengeksploitasian secara besar-besaran terhadap tenaga kerja telah menempatkan kaum buruh pada jerat-jerat penindasan teknologi modern ataupun perbudakan gaya baru.
Meski perbudakan secara legal sudah tidak dikenal lagi, bukan tidak mungkin jerat-jerat ataupun nilai-nilai perbudakan itu sendiri terus menjelma. Bisa saja apa yang telah dialami oleh masyarakat dulu terulang kembali di masa-masa sekarang ini, atau bahkan lebih dari sekadar itu.
Karena itulah, pemberdayaan buruh menjadi agenda penting bangsa ke depan. Sebab di samping jumlahnya yang sangat besar, pemberdayaan juga berkaitan dengan peran kaum buruh (masyarakat bawah) di masa depan. Apa yang sedang menimpa kaum buruh saat ini, langsung atau tidak akan berdampak besar pada kesejahteraan bangsa di masa mendatang.
Di sinilah agama (Islam) telah memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia bahwa kerja adalah bentuk bangunan relasi sosial antarmanusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sekaligus bentuk ideal dari pengabdian diri (ibadah) kepada Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT telah menentukan bagi setiap manusia, tanpa kecuali, pekerjaan yang dapat ia kerjakan, sekaligus memberikan tanggung jawab bagi setiap orang untuk memelihara pekerjaan yang benar, sesuai ketentuan agama.
Relasi buruh-majikanSecara teoretis, buruh merupakan faktor produksi yang diakui setiap sistem ekonomi, termasuk Islam. Dalam Islam, buruh bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa abstrak yang bisa diperlakukan sesuka majikan, atau pula bisa berbuat seenaknya tanpa mematuhi aturan majikan. Karena itu, secara prinsipil Islam memberikan hak yang sama antara majikan dan buruh, baik untuk mem-PHK maupun mogok.
Dalam hal ini, Islam sangat menekankan kearifan umatnya melihat persoalan-persoalan yang menyebabkan ketegangan antara majikan dan buruh. Sebab seluruh masalah itu sangat bergantung pada sejumlah variabel seperti tingkat pemusatan tenaga industri yang ada, tingkat dan tahap perkembangan gerakan buruh, tingkat kesenjangan dan pendapatan masyarakat, tingkat kesadaran islami terhadap etika kerja, dan lain-lain.
Bagaimanapun, Islam tidak mengakui praktik eksploitasi buruh oleh majikan. Tapi Islam juga tidak memerintahkan penghapusan masyarakat borjuis dan menciptakan masyarakat tanpa kelas. Islam mengakui adanya perbedaan kemampuan dan bakat tiap-tiap orang yang mengakibatkan perbedaan pendapatan dan imbalan material.Allah SWT berfirman,''...Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.'' (QS Al-Nisa: 33).
Dengan kata lain, asas personalitas dalam etika kerja Islam dibangun di atas semangat tauhid. Hubungan antara manusia sebagai pencari dan penerima rizki yang disediakan Allah SWT adalah kerja, di mana setiap orang memiliki akses terhadap sumber rizki itu. Hanya saja, yang membedakan manusia satu dengan lainnya adalah kemampuan, keahlian, dan kemauan untuk meraih rizki yang telah disediakan oleh Allah SWT.
Dalam hal ini, menurut Ibnu Khaldun (1332-1406), rizki sama artinya dengan penghasilan atau keuntungan yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. Rizki bisa diperoleh apabila seseorang terjun ke lapangan pekerjaan (ma'asy), karena kerja itu sendiri adalah sumber utama keuntungan, pendapatan, maupun pembentukan modal.
Dengan demikian, kedudukan pekerja (buruh), lanjut Ibnu Khaldun, sangat bergantung kepada nilai kerjanya. Nilai kerja itu sangat ditentukan oleh penghasilan atau keuntungan dari hasil kerja. Maka, untuk menumbuhkan hubungan harmonis antara majikan dengan pekerja, Islam telah menggariskan dua prinsip dasar normatif. Pertama, buruh harus setia dan melakukan pekerjaannya dengan baik. Kedua, majikan harus membayar penuh upah buruh atas jasa dan pelayanannya.
Lebih dari itu, Islam juga sangat memperhatikan fungsi keadilan serta mengaitkannya dalam pembagian kekayaan dan pendapatan, sehingga setiap orang berhak mendapatkan tingkat hidup yang layak dan manusiawi. Karena itulah, menurut M Umar Chapra, Islam menempatkan posisi yang seimbang antara buruh dengan majikan: (1) Islam memandang buruh pada penggunaan jasanya di luar pertimbangan keuangan; (2) Buruh tidak secara mutlak bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, karena ia harus bertanggung jawab kepada majikan; (3) Majikan memberikan sistem upah yang pantas untuk memenuhi kehidupan buruh, dan; (4) Majikan harus menyediakan asuransi wajib untuk menanggulangi pengangguran, kecelakaan kerja, tunjangan hari tua, dan hak-hak buruh lainnya.
Dengan pendekatan ini, baik buruh maupun majikan sama-sama tidak diistemewakan dalam Islam. Keduanya tetap berkedudukan sebagai makhluk yang berkewajiban sekaligus berhak memperoleh rizki dari Allah SWT, sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Sebab yang ditekankan Islam kepada manusia adalah sikap ta'awun (tolong-menolong), tidak dirugikan juga tidak merugikan orang lain.
Jadi, tataran wacana buruh-majikan dalam Islam bukan lagi pada level pembahasan hak memecat ataupun mogok, melainkan pada sejauhmana transformasi nilai-nilai Islam ke dalam kerangka pembangunan dan industrialisasi itu sendiri.
Dalam konteks inilah, Islam, sebenarnya mencoba melakukan kompromi yang langgeng antara buruh dan majikan dengan menetapkan nilai-nilai holistik kepada seluruh persoalan mengenai hubungan keduanya, serta menjadikan kewajiban dan hak masing-masing sebagai bagian dari etos tauhid. Dari sinilah, pemerintah hendaknya bisa membaca dan memaham i sejatinya ''bekerja'' dalam hidup ini. Wa Allah A'lam.

Ada Apa Dengan Ahmadiyah?

REPUBLIKA: Rabu, 20 Juli 2005
Ada Apa Dengan Ahmadiyah?

Oleh : Khaeron Sirin

Hasan bin Mahmud Audahbekas Direktur Umum Bahasa Arab Jemaah Ahmadiyah Pusat Landondalam bukunya, al-Ahmadiyah: Aqa’id wa Ahdats (1998), mengatakan, Persoalan Ahmadiyah tidak usah bikin ruwet umat Islam, tidak perlu dibesar-besarkan, dan tidak perlu sampai mengerahkan kekuatan fisik untuk membentak, mencaci atau menekannya. Kita (umat Islam) cukup dengan membeberkan kesesatannya dan mengajaknya kembali.
Pernyataan ini tentu tidak diragukan lagi, karena terlontar dari mulut orang yang pernah lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Ahmadiyah. Menurutnya, ini adalah cara yang bijak dalam menyikapi berkembangnya ajaran ‘menyimpang’ Jemaah Ahmadiyah di belahan dunia ini. Tak perlu ada kekerasan, selain memberikan penyadaran dan mengajak kembali ke dalam ajaran Islam yang benar.
Sayang, cara seperti itu tidak dimanfaatkan oleh umat Islam di Indonesia. Perhelatan tahunan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung, Bogor (Jawa Barat) beberapa waktu lalu ternyata harus berakhir rusuh. Gabungan kelompok umat Islam yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Indonesia menggagalkan dengan paksa ajang silaturahmi tersebut. Tak ayal, korban materi dan fisik pun mewarnai aksi kekerasan terhadap organisasi Ahmadiyah.
Peristiwa ini bukanlah kali pertama. Pada September 2002 lalu, juga terjadi aksi penyerangan dan pembakaran terhadap tempat-tempat ibadah, rumah tinggal, kios dan toko-toko milik jamaah Ahmadiyah oleh kelompok masyarakat di Pancor Selong, Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Akibatnya, ratusan anggota jemaah Ahmadiyah pun kehilangan tempat aktivitas beribadah dan berniaga.
Sulit untuk mengetahui pasti apa motif aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok umat Islam terhadap jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Awalnya, upaya menghancurkan organisasi Ahmadiyah karena organisasi tersebut menganut ajaran yang menyimpang dari akidah Islam. Kemudian, muncul dugaan bahwa kebencian kalangan umat Islam dipicu oleh berbagai kegiatan Ahmadiyah yang sangat eksklusif dan tertutup, sehingga menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan di tengah masyarakat sekitar. Belakangan muncul kekhawatiran kalau kehadiran dan aktivitas Ahmadiyah terkait dengan upaya (misi) pendangkalan akidah dan penghancuran (syariat) Islam di Indonesia.
Tak pelak, api kebencian umat Islam Indonesia terhadap jemaah Ahmadiyah pun terus membara. Berbagai aksi dan intimidasi terus dilakukan. Klimaksnya, kelompok umat Islam secara ‘beringas’ berhasil menggagalkan kegiatan tahunan yang akan dilakukan jemaah Ahmadiyah di Parung Bogor. Bahkan, untuk melerainya, muncul Surat Pernyataan Bersama yang dibuat oleh Bupati, Ketua DPRD, Dandim, Kapolres, Kajari dan MUI Bogor untuk menutup kegiatan jemaah Ahmadiyah tersebut.
Di sini, masalah pun menjadi bias. Persoalan yang bermula dari pertentangan ajaran, mulai bergeser ke arah kecemburuan sosial dan politik (hukum). Belum tuntas persoalan klaim ‘kesesatan’ dalam diri jemaah Ahmadiyah didialogkan, masyarakat sudah menghakimi dengan berbagai aksi kekerasan. Bahkan, pemerintah pun telah menutup diri dan berlindung di balik fatwa MUI 1980 dan fatwa MUI Bogor tahun 2005 yang menganggap Ahmadiyah sebagai jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.
Klaim ‘teologis’ seperti itu mungkin tidak berlebihan. Mengingat, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia memang sangat terkait dengan sang pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani, yang memproklamirkan diri sebagai nabi sekaligus juru selamat akhir zaman (Imam Mahdi). Secara akidah, ajaran ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang murni. Maka, seiring dengan kelahirannya, aliran ini sudah dianggap sebagai aliran sesat dan terus dihujat oleh umat Islam dunia.
Tetapi, aksi kekerasan yang dilakukan massa atau kelompok umat Islam terhadap jemaah Ahmadiyah bagaimanapun tidak bisa dibenarkan. Tindakan tersebut jelas merupakan suatu pelanggaran hak-hak warga negara dan menciderai tatanan hukum di Indonesia. Artinya, jemaah Ahmadiyah memiliki hak untuk dilindungi secara hukum, sekaligus hak hukum untuk menyelesaikan atau menuntut setiap pelanggaran yang menimpa mereka. Ini adalah jaminan konstitusi dan bentuk perlindungan hukum dan keadilan yang tidak bisa dirampas oleh siapa pun.
Selain melanggar hukum, tindakan anarkis tersebut pada dasarnya telah mencoreng martabat umat dan citra Islam itu sendiri sebagai agama rahmat, agama cinta dan agama damai. Aksi massa inisecara tidak langsungjuga menunjukkan betapa pemahaman keagamaan kita seringkali tidak didialogkan lewat budaya dan peradaban bangsa.
Dalam hal ini, ajaran amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai manifestasi kontrol sosial masyarakat tidak mengalami kesinambungan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, doktrin ‘mengajak kepada yang baik (benar) dan mencegah dari kemungkaran’ oleh umat Islam tidak dikomunikasikan secara kekeluargaan sebagaimana budaya masyarakat Indonesia.
Sejatinya, umat Islam tidak perlu bersikap antipati, mudah tersinggung dan bereaksi terlalu keras terhadap perbedaan pemahaman keagamaan. Pendekatan reaktif ataupun represif yang dilakukan dalam berdakwah tidaklah selalu menjanjikan ‘kemenangan’. Tindakan seperti itumengutip istilah Muhammad Shahrur (1994)hanya akan menyebabkan terjadinya tirani keberagamaan, baik pemikiran, pengetahuan ataupun sosial di tengah kehidupan masyarakat kita. Selain tidak menyentuh akar persoalan, bukan tidak mungkin, tindakan itu sekadar menimbulkan perpecahan dan kerusakan, sekaligus menimbulkan semangat ‘membela diri’ di kalangan jemaah yang ditekan.
Pengalaman telah membuktikan, banyak jemaah yang sebelumnya sempat bertaubat dan ingin kembali ke ajaran Islam semula, justru balik lagi ke aliran (Ahmadiyah) yang dianggap masyarakat luas sebagai aliran sesat. Bahkan, banyak jemaah yang justru semakin yakin dengan ajaran yang dipahaminya sekarang ini. Alhasil, bukan alirannya hilang atau jemaahnya sadar, tapi sebaliknya kian berkembang dan memiliki militansi di kalangan pengikutnya.
Padahal, dalam beberapa kasus di luar negeri, sebagaimana pengalaman Hasan bin Mahmud Audah, banyak jemaah Ahmadiyah yang akhirnya kembali ke ajaran Islam setelah melakukan berbagai dialog dengan umat Islam.
Artinya, konsep amar ma’ruf dan nahi munkar dalam konteks saat ini haruslah dikomunikasikan secara dialogis. Kita harus menampilkan secara tegas identitas keagamaan yang damai, penuh cinta kasih dan membebaskan. Bila perlu, konsep fastabiq al-khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) dimaknai tidak hanya mengajak berbuat baik di kalangan sendiri, tapi sekaligus memberikan kebaikan kepada mereka yang berbeda paham untuk kembali kepada ajaran Islam secara damai dan penuh kesadaran.
Di sinilah pentingnya kontrol sosial keagamaan secara dialogis ataupun dakwah bi al-hal (sikap keteladanan) dengan memperhatikan budaya dan keragaman masyarakat yang ada. Tentunya, strategi dakwah ataupun dialog-dialog agama yang terbuka dan bijaksana seperti itu sangat relevan dan bisa menjadi model ideal bagi perkembangan kehidupan agama-agama di masa depan. Inilah keinginan kita bersama bahwa agama (Islam) harus dipahami sebagai institusi yang bisa melahirkan kedamaian, kasih sayang dan kepuasan dalam menghadapi berbagai persoalan saat ini. Wa Allahu A’lam.

Wednesday, May 2, 2007

Pendidikan dan "Mitos" Kekerasan

Lampung Post: Kamis, 3 Mei 2007
Pendidikan dan 'Mitos' Kekerasan

Oleh Khaeron Sirin

Hingga tahun kesembilan perjalanannya, reformasi dunia pendidikan kita masih belum menampakkan hasil yang diharapkan. Berbagai upaya pemberdayaan guna merehabilitasi sistem pendidikan nasional terus saja mengalami kemerosotan idealisasi dalam implementasinya.
Peran pemerintah yang terlalu dominan justru memunculkan kesan bahwa pendidikan hanyalah sarana efektif bagi indoktrinasi politik dan kepentingan penguasa. Klimaksnya, dunia pendidikan kita ternyata masih menyimpan sisa-sisa budaya feodalisme Hindia Belanda yang berujung pada tindak kekerasan.
Tewasnya Cliff Muntu, mahasiswa (praja) IPDN, awal April lalu adalah bukti betapa dunia pendidikan kita masih menyisakan pola-pola pendidikan dan pembinaan militeristme yang pada akhirnya melahirkan sikap-sikap kekerasan di sekolah atau kampus.
IPDN hanyalah satu contoh, masih banyak lembaga pendidikan yang belum terdeteksi yang sebenarnya potensi kekerasan, baik di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ibarat penyakit, kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan adalah cerita akut yang bisa kambuh sewaktu-waktu.
Menghapus Mitos
Kasus kekerasan mengingatkan kita pada sebuah mitos bahwa kekerasan dianggap sebagai instrumen paling efektif guna memenuhi ambisi, kebutuhan, kepentingan, dan tujuan materialisme. Kekerasan seringkali berhasil mendiamkan suara dan aspirasi masyarakat bawah, sehingga eksistensinya menjadi pasif dan marjinal (terpinggirkan).
Pada akhirnya, kekerasan seperti ini sangat potensial menjadi bagian politik teror antar-kekuatan yang bertikai untuk mendorong ketakutan lawan.
Kasus IPDN menjadi ironis dan kontraproduktif di saat bangsa ini tengah menyosialisasikan dan menyerukan budaya anti-kekerasan dan penghormatan HAM. Apalagi, kekerasan tersebut dilakukan dengan memakai atribut mahasiswa yang sejatinya adalah kader intelektual dan kader pembaharuan (reformasi).
Kenyataan itu juga sering terjadi di lembaga-lembaga pendidikan umum dalam bentuk kegiatan-kegiatan sekolah dan kampus, semisal MOS (masa orientasi sekolah) dan ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus), yang mengutamakan olah fisik, seperti lari, push up, sit up, koprol, dan sejenisnya.
Keadaan-keadaan inilah yang secara perlahan memperkokoh ketidakadilan sistemik terhadap orang-orang lemah, semisal adik kelas atau yunior.
Mitos bahwa kekerasan menjadi sarana efektif untuk membentuk pribadi yang kuat dan disiplin sudah seharusnya dihilangkan. Pola-pola pendidikan lama yang menekankan kegiatan fisik tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Hukuman berupa kekerasan fisik guna memotivasi sikap disiplin, patuh dan loyal sudah tidak layak lagi dilakukan dalam pola pendidikan di kampus. Anggapan bahwa kekerasan fisik bisa membuat suasana makin meriah, menjalin keakraban dan membuat kesan mendalam di antara senior dan yunior juga sudah tidak logis lagi.
Kekerasan dalam pola pendidikan seperti itu hanya akan melahirkan sikap dendam kelompok yang tak berkesudahan. Mereka akan membalas apa yang mereka alami dulu setelah menjadi senior. Kekerasan tersebut sulit dihilangkan meski tiap tahun berganti siswa atau mahasiswa.
Biasanya kekerasan di lembaga-lembaga pendidikan bukan semata-mata disebabkan sikap individu atau kelompok, tetapi lebih dari itu didorong oleh pola dan semangat untuk membalas dendam yang secara turun temurun diwariskan dari satu generasi ke generasi sesudahnya.
Dendam tersebut telah menjadi tradisi yang tanpa sadar sudah ditanamkan sejak awal dan sudah menjadi mata rantai yang sulit diputus.
Di lembaga pendidikan yang memang bertujuan mencetak para prajurit atau tentara, kekerasan mungkin dianggap wajar bahkan "wajib" untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Namun, pola kekerasan seperti itu tidak bisa serta merta diterapkan di sekolah atau kampus yang mencetak pada kader intelektual dan birokrat.
Penerapan pola kekerasan dalam kehidupan sipil kampus hanya akan "membunuh" rasa kemanusiaan. Pola kekerasan kekerasan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan yang sedang kita hadapi, bahkan hanya akan menghasilkan kader-kader pejabat dan pemimpin yang bermodalkan kekuatan dan emosi belaka.
Banyak alternatif yang sebenarnya bisa dilakukan. Misalnya, materi pembinaan dan pendidikan dikemas dengan cara-cara yang menyenangkan, menggelitik (kritis) dan berorientasi pada penggalian bakat, pemikiran, dan intelektual.
Memutus Rantai Kekerasan
Gaya-gaya militeristme seperti itu harus segera dihilangkan dari ranah kehidupan sipil kampus (sekolah). Kita mesti melihat kenyataan bahwa mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa yang sangat diharapkan menjadi garda depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, kekerasan dan kekuatan bukanlah jaminan seseorang untuk dihormati dan dihargai saat menjadi pemimpin nanti.
Para kader pemimpin dan intelektual yang dihasilkan oleh lembaga kampus sipil hanya akan dihormati jika memiliki kemampuan persuasif, memiliki keteladanan dan kewibawaan di mata masyarakat, bukan karena sikap otoriter dan kekerasannya.
Apalagi, kita tahu bahwa lulusan kampus atau perguruan tinggi adalah mereka yang nantinya dipastikan akan mengisi pos-pos kekuasaan, birokrasi, dan intelektual di masa mendatang.
Jika sejak awal kuliah mereka sudah "dirasuki" dengan ruh atau semangat kekerasan, bukan tidak mungkin potensi dan semangat (kekerasan) tersebut akan terus berlanjut dan menjadi alat untuk meraih jabatan dan kekuasaan di pemerintahan kelak. Ini adalah preseden buruk bagi dunia pendidikan kita dalam mencetak kader-kader pemimpin yang baik.
Karena itu, kekerasan dan penyiksaan fisik atas nama pembinaan di lembaga pendidikan harus segera dihapus, karena sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi dan kaidah-kaidah pendidikan saat ini. Budaya anti-kekerasan harus menjadi slogan yang harus senantiasa dikampanyekan dalam dinamika kehidupan sipil kampus.
Hubungan antara senior dan yunior dalam kegiatan kemahasiswaan dan pembinaan di kampus harus dilandasi semangat saling asah, asih, dan asuh. Artinya, pembinaan yang baik harus dijalankan dengan menerapkan prinsip dan pola pendidikan yang baik pula.
Sebab, dengan pola pendidikan dan pembinaan yang baik, akan menghasilkan kader-kader pemimpin bangsa yang jauh dari semangat dan hasrat kekerasan di masa depan.
Untuk menciptakan hal itu, mata rantai kekerasan yang saat ini membelenggu pola pendidikan harus segera diputus secara paksa. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah hukum terhadap para pelaku tindak kekerasan dan menuntaskannya secara tegas dan konsisten dengan tetap menjunjung tinggi keadilan dan HAM.
Dalam hal ini, pemerintah harus berani mengutamakan perlindungan dan keadilan hukum ketimbang menjaga citra dan "nama baik" lembaga pendidikan atau kampus.
Sumber:http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2007050302593216

Tuesday, May 1, 2007

Hakim dan Teror Suap

Lampung Post: Jum'at, 9 Maret 2007
Hakim dan Teror Suap
Oleh Khaeron Sirin

Citra lembaga peradilan di Indonesia kembali menjadi sorotan. Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) Februari 2007 menyebutkan lembaga peradilan Indonesia telah melakukan inisiatif suap paling tinggi di antara lembaga atau institusi publik lainnya. Dari surveinya tersebut, TII mensinyalir lembaga peradilan tidak canggung-canggung meminta suap kepada para pihak yang berperkara.
Teror Suap
Dalam bahasa hukum Islam, kata (dalam bahasa Arab disebut kalimat) "hakim" atau al-hakim berarti: (1) membuat sumber hukum; atau (2) menetapkan hukum. Dalam arti pertama, yang dimaksud hakim tidak lain adalah Allah swt., sedangkan dalam arti yang kedua, hakim bisa diartikan orang yang menetapkan atau memutuskan hukum.
Jika istilah hakim dilekatkan pada sebuah profesi, seorang hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi yang diberi wewenang memeriksa dan memutus perkara di antara manusia. Demi menjaga fitrahnya sebagai wakil Tuhan, seorang hakim harus memperhatikan etika dan sopan santun, baik di dalam sidang ataupun di luar sidang.
Salah satunya, seorang hakim dilarang menerima hadiah atau suap sekecil apa pun. Hal ini bisa dilihat dalam surat Khalifah Umar bin Khatab kepada Hakim Abu Musa al-Asy'ari dan surat Khalifah Ali bin Abi Thalib kepada hakim Asytar al-Nakha'i. Sejarah hukum Islam juga menunjukkan setiap hakim atau pejabat yang menerima hadiah sekecil apa pun dianggap sebagai sebuah kejahatan dan pelakunya tidak hanya dipecat, tapi juga dihukum berat.
Nilai-nilai etis seperti itu kurang menjadi nilai masukan bagi lembaga peradilan di Indonesia. Citra lembaga peradilan yang terkesan mudah menerima suap--terlepas dari aksioma yang melekat pada lembaga tersebut--mudah ditengarai dari banyak indikasi, baik praktek maupun kebijakan, yang cenderung memuluskan lajunya transaksi jual beli perkara.
Contoh, Mahkamah Agung (MA) pernah mengizinkan para anggotanya (hakim) menerima hadiah. MA menganggap pemberian atau hadiah bagi hakim adalah hal yang wajar, asalkan hadiah itu tidak dari orang yang punya keterkaitan dengan kasus yang sedang ditanganinya, harganya wajar, dan tidak akan memengaruhi pelaksanaan tugas sebagai hakim.
Kebijakan ini menimbulkan kontroversi sekaligus kekhawatiran bagi banyak kalangan; bolehnya hakim menerima hadiah akan dijadikan pintu masuk para mafia untuk beraksi di peradilan. Kebijakan tersebut juga menjadi kontraproduktif mengingat situasi yang dialami MA saat ini tengah menjadi bulan-bulanan di tengah masyarakat.
Awalnya, dikeluarkannya Pedoman Perilaku Hakim (PPH) oleh MA pada Mei 2006, dimaksukan untuk menjaga citra dan kemandirian hakim dalam membuat keputusan hukum. Dalam PPH tersebut diatur bagaimana hakim harus bersikap dan bertingkah laku, baik di dalam sidang maupun di luar kedinasan. PPH juga memuat 10 prinsip pedoman perilaku, yaitu adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan profesional.
Namun, aturan tersebut memberi tempat khusus terhadap pemberian hadiah kepada hakim. Dalam pedoman tersebut, hakim boleh-boleh saja menerima hadiah jika hadiah itu diberikan pada kesempatan-kesempatan tertentu, seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, ataupun peringatan lainnya.
Seorang hakim dibolehkan menerima hadiah atau penghargaan, asalkan pemberian itu tidak akan memengaruhi sikap hakim dalam menjalankan tugas-tugas peradilan.
Meskipun ada batasan nilai materi bagi hakim yang menerima hadiah, hal itu preseden buruk pada praktik peradilan yang bersih dan berwibawa. Adanya ketentuan tersebut membuka peluang budaya suap meskipun penerimaan hadiah dibatasi hanya pada kesempatan tertentu, seperti perkawinan dan ulang tahun.
Larangan tegas menerima hadiah bagi hakim akan menutup ruang penafsiran dan penyalahgunaan etika oleh oknum-oknum yang mencoba mencari celah aksi suap di pengadilan. Apalagi, dalam situasi mafia peradilan yang merajalela, sudah semestinya segala kemungkinan yang menjadi pintu masuk KKN harus ditutup rapat.
Karena itulah, para hakim dan elite politik sudah seharusnya punya cara pandang dan persepsi yang sama tentang nilai-nilai keadilan, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman itu seharusnya bebas dari kepentingan uang, kekuasaan, dan politik. Masyarakat luas, termasuk pejabat, harus membantu menegakkan kemandirian kekuasaan kehakiman, antara lain, dengan tidak memberikan peluang untuk mengurangi kekuasaan kehakiman dan kemandirian hakim.
Dengan kata lain, harus ada acuan konkret semisal kode etik bagi para hakim guna menopang tegaknya kemandirian kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan kita.
Perlu Kode Etik
Lahirnya PPH merupakan pedoman awal bagi hakim sebelum ada kode etik yang mengatur secara tegas tentang etika dan prilaku hakim, baik di dalam ataupun di luar sidang. Yang ada sekarang sebatas kode etik bagi hakim konstitusi yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi 2/2003 tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konsitusi (Sapta Karsa Hutama)
Karena itu, di tengah kekuasaan kehakiman yang sekarang menjadi sorotan publik dan juga untuk membangun kepercayaan publik terhadap independensi dan kinerja hakim, MA sudah seharusnya menerbitkan kode etik bagi para hakim. Hal ini penting untuk membangun infrastruktur etika internal di tubuh MA, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan perkembangan setelah terbentuknya Komisi Yudisial (KY).
Untuk itu, bangsa ini harus melakukan terobosan baru dalam menyusun kode etik untuk mengembalikan hakim sebagai profesi yang independen, bersih, dan mulia di tengah masyarakat.
Terobosan ini penting guna meretas kembali semangat kebersamaan sebagai satu bangsa (spirit of togetherness) dan semangat untuk bekerja sama (spirit of cooperativeness) yang selama ini luntur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam dunia penegakan hukum kita.
Kedua semangat tersebut akan menjadi spirit baru guna menegakkan dunia hukum yang bersih dan bermartabat, sekaligus untuk membentengi dunia peradilan dari ambisi oknum-oknum tertentu yang selalu ingin memenangkan perkara di pengadilan dengan cara apa pun.
Pembuatan kode etik hakim bisa saja diserahkan kepada sebuah komisi independen yang terdiri dari unsur-unsur yang saling bekerjasama, semisal hakim, jaksa, polisi, KY, masyarakat, akademisi, dan MA itu sendiri. Ini perlu dilakukan agar dapat menyerap semua hal yang dianggap etika oleh masyarakat.
Pembuatan kode etik nantinya harus mengacu pada The Bangalore Principles of Justicial Conduct yang terdiri atas tujuh prinsip utama yakni, independensi, ketakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, kecakapan dan kesaksamaan, serta prinsip arif dan bijaksana.
Tentunya, prinsip-prinsip tersebut bisa dikembangkan atau ditambah dengan nilai-nilai budaya bangsa sepanjang bisa menciptakan dunia penegakan hukum yang bersih dan berwibawa.
Sumber:http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2007030900590664

Mengembalikan Fitrah Ibu

Lampung Post: Jum'at, 22 Desember 2006
Mengembalikan Fitrah Ibu
Oleh Khaeron Sirin

Ibu adalah sentral kehidupan. Di rahimnya kita bersemayam secara nyaman selama sembilan bulan. Dari rahimnya, kita semua dilahirkan, untuk kemudian menghisap saripati kehidupan, menikmati dekapan dan belaian kasih sayangnya agar kita tumbuh dan berkembang dengan baik, lalu belajar menjalani kehidupan di muka bumi sebagai manusia. Dari seorang ibulah, seorang anak mengenal rasa, mengenal warna, mengenal kata, dan mengenal dunia. Dari seorang ibulah pembentukan karakter manusia itu dimulai.
Itulah citra seorang ibu. Sebuah citra yang layak disandang oleh perempuan-perempuan yang dari rahimnya lahir tokoh-tokoh dunia, yang dengan kasih sayangnya mampu menciptakan perdamaian manusia, dan yang dengan kesabarannya telah menjadikan hidup kita dewasa. Bisa dikatakan, peran ibulah yang menentukan masa depan bangsa. Merekalah yang berperan penting mempersiapkan keturunan mereka dalam menghadapi tantangan zaman.
Namun, tidak jarang citra seorang ibu terus "dikotori" oleh tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Kita sering dikejutkan dengan ditemukannya banyak mayat calon manusia akibat aborsi ilegal. Kita juga sering mendengar banyak perempuan yang terlibat dalam perdagangan anak, pembuangan anak dan kekerasan-kekerasan lainnya terhadap anak manusia. Akibatnya, hujatan panjang pun terus diarahkan kepada perempuan-perempuan--terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya--yang telah kehilangan naluri keibuan mereka.
Itulah fenomena yang terjadi di negeri kita. Suatu fenomena yang justru sangat memprihatinkan bagi eksistensi kaum perempuan, berimplikasi pada tatanan moral kaum perempuan yang pada akhirnya mengubah orientasi dan nilai-nilai fungsi perempuan itu sendiri. Apa yang semestinya dilakukan kaum perempuan Indonesia agar perannya tidak menghilangkan citra seorang ibu dan benar-benar memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup suatu bangsa?
Fitrah Ibu
Sebagian besar perempuan sejatinya mempunyai cita-cita menjadi seorang ibu. Menjadi seorang ibu, dalam arti hamil, melahirkan, dan mengasuh anak, tidak saja diperkuat budaya setempat, tetapi fitrah yang dimiliki setiap perempuan. Hampir semua agama, kepercayaan dan peradaban manusia mengajarkan betapa menjadi ibu adalah kewajiban semua perempuan. Manusia dilarang mencegah, menunda, apalagi membatalkan proses reproduksi.
Ini menunjukkan peran perempuan sebagai seorang ibu tak tergantikan. Ia menjadi fasilitator bagi berjalannya sebuah manajemen keluarga. Seorang ibu adalah manager purchasing, manajer keuangan, manajer personalia, manager general affair, termasuk di dalamnya sebagai pengatur nutrisi keluarga. Tidak mengherankan, berkat peran vitalnya itu, memunculkan satu pandangan dan nilai-nilai dalam masyarakat yang mengajari kita untuk meletakkan segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangga ke pundak istri, ibu, atau perempuan. Terlepas dari persoalan gender, eksistensi dan peran tersebut terus melekat seiring naluri dan bakat alami yang dimilikinya.
Sejarah mencatat, banyak bangsa yang mencapai puncak kejayaannya karena peran kaum ibu dan tidak sedikit bangsa yang hancur karena bobroknya kaum ibu. Ini menunjukkan kaum ibu yang berkualitas akan menentukan keberhasilan suatu bangsa. Kemajuan dan peradaban suatu bangsa pasti berawal dari gubahan seorang ibu dalam sebuah keluarga.
Persoalan kemudian, banyak perempuan saat ini menghadapi dilema ataupun ketidakpastian peran dalam keluarga dan masyarakat. Kehadiran mereka di pasaran kerja, seperti kantor, pabrik, perusahaan, industri, hiburan dan sebagainya telah menciptakan ikatan-ikatan baru bagi kaum perempuan itu sendiri. Mereka tertekan untuk menggabungkan peran sebagai ibu rumah tangga dengan perannya dalam sebuah pekerjaan atau karir.
Tarik ulur seperti ini telah membingungkan perempuan dalam menentukan posisi mereka. Dalam sejumlah kasus, mereka sering mengalami kegagalan untuk mencapai keberhasilan pada keduanya. Bahkan, kompleksitas peran dan tanggung jawab semacam ini--yang dialami oleh kaum perempuan--sedikit banyak mengakibatkan frustrasi dan tragedi.
Dengan kata lain, kaum perempuan ditantang untuk menentukan posisinya, apakah mau secara naif menerima dan mempertahankan apa yang disebut oleh aktivis gender sebagai "hegemoni kultural" dan mendapatkan penghormatan sebagai ibu rumah tangga atau sebaliknya bersikap radikal manghadapi ketidakadilan gender ini dan dengan sadar menerima keterasingan dirinya di lingkungan sosialnya.
Yang pasti, memilih untuk menjadi atau menolak menjadi ibu tidak saja berurusan dengan fungsi biologis perempuan, tetapi juga kewajiban perempuan untuk menjaga nilai-nilai moral dan agama yang dianut lingkungan sosialnya. Karena itu, dalam kondisi demikian, kaum perempuan harus segera merenungkan kembali apa yang telah, sedang dan akan terjadi demi mengembalikan citra dan fitrahnya sendiri di tengah keluarga dan masyarakat.
Bagaimana Sebaiknya?
Kaum perempuan semestinya kembali memahami perbedaan-perbedaan fitrah yang tidak mungkin bisa diubah manusia. Kaum perempuan harus memahami perbedaan-perbedaan itu tidak bisa dipaksakan kepada jenis yang berbeda untuk mengemban tugas atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan sifat-sifat alamiahnya.
Bisa saja pemaksaan itu berlangsung, tetapi akan berdampak pada beban mental yang tidak bisa ditanggung oleh masyarakat, khususnya perempuan. Akhirnya, beban mental seperti ini mengakibatkan pribadi yang bersangkutan bersikap apatis, frustrasi, egois, dan perasaan terasing dari masyarakatnya.
Untuk itulah, perjuangan kaum perempuan hendaknya diarahkan mengemban misi kemanusiaan secara proporsional dalam masyarakat. Sekaligus meluruskan persepsi kaum laki-laki untuk menempatkan kaum perempuan pada posisi yang seimbang dan menguntungkan.
Dalam hal ini, upaya mengembalikan citra dan fitrah perempuan, harus dimulai dari unit kehidupan yang paling kecil (keluarga), yaitu bagaimana kaum perempuan memiliki nilai dan peran strategis dalam membuat keputusan-keputusan di tingkat keluarga. Sehingga, peran perempuan selanjutnya akan bisa dibangun secara optimal ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu masyarakat dan bangsa.
Apa pun aktivitas kaum perempuan di ruang publik, sejatinya tidak bisa dan tidak boleh menjadi penghambat bagi tumbuhnya naluri atau jiwa keibuan perempuan itu sendiri. Di manapun, kapan pun, dan bagaimanapun, naluri seorang ibu tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari raga perempuan.
Sumber:http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2006122202083959