Tuesday, May 1, 2007

Mengembalikan Fitrah Ibu

Lampung Post: Jum'at, 22 Desember 2006
Mengembalikan Fitrah Ibu
Oleh Khaeron Sirin

Ibu adalah sentral kehidupan. Di rahimnya kita bersemayam secara nyaman selama sembilan bulan. Dari rahimnya, kita semua dilahirkan, untuk kemudian menghisap saripati kehidupan, menikmati dekapan dan belaian kasih sayangnya agar kita tumbuh dan berkembang dengan baik, lalu belajar menjalani kehidupan di muka bumi sebagai manusia. Dari seorang ibulah, seorang anak mengenal rasa, mengenal warna, mengenal kata, dan mengenal dunia. Dari seorang ibulah pembentukan karakter manusia itu dimulai.
Itulah citra seorang ibu. Sebuah citra yang layak disandang oleh perempuan-perempuan yang dari rahimnya lahir tokoh-tokoh dunia, yang dengan kasih sayangnya mampu menciptakan perdamaian manusia, dan yang dengan kesabarannya telah menjadikan hidup kita dewasa. Bisa dikatakan, peran ibulah yang menentukan masa depan bangsa. Merekalah yang berperan penting mempersiapkan keturunan mereka dalam menghadapi tantangan zaman.
Namun, tidak jarang citra seorang ibu terus "dikotori" oleh tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Kita sering dikejutkan dengan ditemukannya banyak mayat calon manusia akibat aborsi ilegal. Kita juga sering mendengar banyak perempuan yang terlibat dalam perdagangan anak, pembuangan anak dan kekerasan-kekerasan lainnya terhadap anak manusia. Akibatnya, hujatan panjang pun terus diarahkan kepada perempuan-perempuan--terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya--yang telah kehilangan naluri keibuan mereka.
Itulah fenomena yang terjadi di negeri kita. Suatu fenomena yang justru sangat memprihatinkan bagi eksistensi kaum perempuan, berimplikasi pada tatanan moral kaum perempuan yang pada akhirnya mengubah orientasi dan nilai-nilai fungsi perempuan itu sendiri. Apa yang semestinya dilakukan kaum perempuan Indonesia agar perannya tidak menghilangkan citra seorang ibu dan benar-benar memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup suatu bangsa?
Fitrah Ibu
Sebagian besar perempuan sejatinya mempunyai cita-cita menjadi seorang ibu. Menjadi seorang ibu, dalam arti hamil, melahirkan, dan mengasuh anak, tidak saja diperkuat budaya setempat, tetapi fitrah yang dimiliki setiap perempuan. Hampir semua agama, kepercayaan dan peradaban manusia mengajarkan betapa menjadi ibu adalah kewajiban semua perempuan. Manusia dilarang mencegah, menunda, apalagi membatalkan proses reproduksi.
Ini menunjukkan peran perempuan sebagai seorang ibu tak tergantikan. Ia menjadi fasilitator bagi berjalannya sebuah manajemen keluarga. Seorang ibu adalah manager purchasing, manajer keuangan, manajer personalia, manager general affair, termasuk di dalamnya sebagai pengatur nutrisi keluarga. Tidak mengherankan, berkat peran vitalnya itu, memunculkan satu pandangan dan nilai-nilai dalam masyarakat yang mengajari kita untuk meletakkan segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangga ke pundak istri, ibu, atau perempuan. Terlepas dari persoalan gender, eksistensi dan peran tersebut terus melekat seiring naluri dan bakat alami yang dimilikinya.
Sejarah mencatat, banyak bangsa yang mencapai puncak kejayaannya karena peran kaum ibu dan tidak sedikit bangsa yang hancur karena bobroknya kaum ibu. Ini menunjukkan kaum ibu yang berkualitas akan menentukan keberhasilan suatu bangsa. Kemajuan dan peradaban suatu bangsa pasti berawal dari gubahan seorang ibu dalam sebuah keluarga.
Persoalan kemudian, banyak perempuan saat ini menghadapi dilema ataupun ketidakpastian peran dalam keluarga dan masyarakat. Kehadiran mereka di pasaran kerja, seperti kantor, pabrik, perusahaan, industri, hiburan dan sebagainya telah menciptakan ikatan-ikatan baru bagi kaum perempuan itu sendiri. Mereka tertekan untuk menggabungkan peran sebagai ibu rumah tangga dengan perannya dalam sebuah pekerjaan atau karir.
Tarik ulur seperti ini telah membingungkan perempuan dalam menentukan posisi mereka. Dalam sejumlah kasus, mereka sering mengalami kegagalan untuk mencapai keberhasilan pada keduanya. Bahkan, kompleksitas peran dan tanggung jawab semacam ini--yang dialami oleh kaum perempuan--sedikit banyak mengakibatkan frustrasi dan tragedi.
Dengan kata lain, kaum perempuan ditantang untuk menentukan posisinya, apakah mau secara naif menerima dan mempertahankan apa yang disebut oleh aktivis gender sebagai "hegemoni kultural" dan mendapatkan penghormatan sebagai ibu rumah tangga atau sebaliknya bersikap radikal manghadapi ketidakadilan gender ini dan dengan sadar menerima keterasingan dirinya di lingkungan sosialnya.
Yang pasti, memilih untuk menjadi atau menolak menjadi ibu tidak saja berurusan dengan fungsi biologis perempuan, tetapi juga kewajiban perempuan untuk menjaga nilai-nilai moral dan agama yang dianut lingkungan sosialnya. Karena itu, dalam kondisi demikian, kaum perempuan harus segera merenungkan kembali apa yang telah, sedang dan akan terjadi demi mengembalikan citra dan fitrahnya sendiri di tengah keluarga dan masyarakat.
Bagaimana Sebaiknya?
Kaum perempuan semestinya kembali memahami perbedaan-perbedaan fitrah yang tidak mungkin bisa diubah manusia. Kaum perempuan harus memahami perbedaan-perbedaan itu tidak bisa dipaksakan kepada jenis yang berbeda untuk mengemban tugas atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan sifat-sifat alamiahnya.
Bisa saja pemaksaan itu berlangsung, tetapi akan berdampak pada beban mental yang tidak bisa ditanggung oleh masyarakat, khususnya perempuan. Akhirnya, beban mental seperti ini mengakibatkan pribadi yang bersangkutan bersikap apatis, frustrasi, egois, dan perasaan terasing dari masyarakatnya.
Untuk itulah, perjuangan kaum perempuan hendaknya diarahkan mengemban misi kemanusiaan secara proporsional dalam masyarakat. Sekaligus meluruskan persepsi kaum laki-laki untuk menempatkan kaum perempuan pada posisi yang seimbang dan menguntungkan.
Dalam hal ini, upaya mengembalikan citra dan fitrah perempuan, harus dimulai dari unit kehidupan yang paling kecil (keluarga), yaitu bagaimana kaum perempuan memiliki nilai dan peran strategis dalam membuat keputusan-keputusan di tingkat keluarga. Sehingga, peran perempuan selanjutnya akan bisa dibangun secara optimal ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu masyarakat dan bangsa.
Apa pun aktivitas kaum perempuan di ruang publik, sejatinya tidak bisa dan tidak boleh menjadi penghambat bagi tumbuhnya naluri atau jiwa keibuan perempuan itu sendiri. Di manapun, kapan pun, dan bagaimanapun, naluri seorang ibu tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari raga perempuan.
Sumber:http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2006122202083959

No comments: