Tuesday, May 1, 2007

Hakim dan Teror Suap

Lampung Post: Jum'at, 9 Maret 2007
Hakim dan Teror Suap
Oleh Khaeron Sirin

Citra lembaga peradilan di Indonesia kembali menjadi sorotan. Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) Februari 2007 menyebutkan lembaga peradilan Indonesia telah melakukan inisiatif suap paling tinggi di antara lembaga atau institusi publik lainnya. Dari surveinya tersebut, TII mensinyalir lembaga peradilan tidak canggung-canggung meminta suap kepada para pihak yang berperkara.
Teror Suap
Dalam bahasa hukum Islam, kata (dalam bahasa Arab disebut kalimat) "hakim" atau al-hakim berarti: (1) membuat sumber hukum; atau (2) menetapkan hukum. Dalam arti pertama, yang dimaksud hakim tidak lain adalah Allah swt., sedangkan dalam arti yang kedua, hakim bisa diartikan orang yang menetapkan atau memutuskan hukum.
Jika istilah hakim dilekatkan pada sebuah profesi, seorang hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi yang diberi wewenang memeriksa dan memutus perkara di antara manusia. Demi menjaga fitrahnya sebagai wakil Tuhan, seorang hakim harus memperhatikan etika dan sopan santun, baik di dalam sidang ataupun di luar sidang.
Salah satunya, seorang hakim dilarang menerima hadiah atau suap sekecil apa pun. Hal ini bisa dilihat dalam surat Khalifah Umar bin Khatab kepada Hakim Abu Musa al-Asy'ari dan surat Khalifah Ali bin Abi Thalib kepada hakim Asytar al-Nakha'i. Sejarah hukum Islam juga menunjukkan setiap hakim atau pejabat yang menerima hadiah sekecil apa pun dianggap sebagai sebuah kejahatan dan pelakunya tidak hanya dipecat, tapi juga dihukum berat.
Nilai-nilai etis seperti itu kurang menjadi nilai masukan bagi lembaga peradilan di Indonesia. Citra lembaga peradilan yang terkesan mudah menerima suap--terlepas dari aksioma yang melekat pada lembaga tersebut--mudah ditengarai dari banyak indikasi, baik praktek maupun kebijakan, yang cenderung memuluskan lajunya transaksi jual beli perkara.
Contoh, Mahkamah Agung (MA) pernah mengizinkan para anggotanya (hakim) menerima hadiah. MA menganggap pemberian atau hadiah bagi hakim adalah hal yang wajar, asalkan hadiah itu tidak dari orang yang punya keterkaitan dengan kasus yang sedang ditanganinya, harganya wajar, dan tidak akan memengaruhi pelaksanaan tugas sebagai hakim.
Kebijakan ini menimbulkan kontroversi sekaligus kekhawatiran bagi banyak kalangan; bolehnya hakim menerima hadiah akan dijadikan pintu masuk para mafia untuk beraksi di peradilan. Kebijakan tersebut juga menjadi kontraproduktif mengingat situasi yang dialami MA saat ini tengah menjadi bulan-bulanan di tengah masyarakat.
Awalnya, dikeluarkannya Pedoman Perilaku Hakim (PPH) oleh MA pada Mei 2006, dimaksukan untuk menjaga citra dan kemandirian hakim dalam membuat keputusan hukum. Dalam PPH tersebut diatur bagaimana hakim harus bersikap dan bertingkah laku, baik di dalam sidang maupun di luar kedinasan. PPH juga memuat 10 prinsip pedoman perilaku, yaitu adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan profesional.
Namun, aturan tersebut memberi tempat khusus terhadap pemberian hadiah kepada hakim. Dalam pedoman tersebut, hakim boleh-boleh saja menerima hadiah jika hadiah itu diberikan pada kesempatan-kesempatan tertentu, seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, ataupun peringatan lainnya.
Seorang hakim dibolehkan menerima hadiah atau penghargaan, asalkan pemberian itu tidak akan memengaruhi sikap hakim dalam menjalankan tugas-tugas peradilan.
Meskipun ada batasan nilai materi bagi hakim yang menerima hadiah, hal itu preseden buruk pada praktik peradilan yang bersih dan berwibawa. Adanya ketentuan tersebut membuka peluang budaya suap meskipun penerimaan hadiah dibatasi hanya pada kesempatan tertentu, seperti perkawinan dan ulang tahun.
Larangan tegas menerima hadiah bagi hakim akan menutup ruang penafsiran dan penyalahgunaan etika oleh oknum-oknum yang mencoba mencari celah aksi suap di pengadilan. Apalagi, dalam situasi mafia peradilan yang merajalela, sudah semestinya segala kemungkinan yang menjadi pintu masuk KKN harus ditutup rapat.
Karena itulah, para hakim dan elite politik sudah seharusnya punya cara pandang dan persepsi yang sama tentang nilai-nilai keadilan, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman itu seharusnya bebas dari kepentingan uang, kekuasaan, dan politik. Masyarakat luas, termasuk pejabat, harus membantu menegakkan kemandirian kekuasaan kehakiman, antara lain, dengan tidak memberikan peluang untuk mengurangi kekuasaan kehakiman dan kemandirian hakim.
Dengan kata lain, harus ada acuan konkret semisal kode etik bagi para hakim guna menopang tegaknya kemandirian kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan kita.
Perlu Kode Etik
Lahirnya PPH merupakan pedoman awal bagi hakim sebelum ada kode etik yang mengatur secara tegas tentang etika dan prilaku hakim, baik di dalam ataupun di luar sidang. Yang ada sekarang sebatas kode etik bagi hakim konstitusi yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi 2/2003 tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konsitusi (Sapta Karsa Hutama)
Karena itu, di tengah kekuasaan kehakiman yang sekarang menjadi sorotan publik dan juga untuk membangun kepercayaan publik terhadap independensi dan kinerja hakim, MA sudah seharusnya menerbitkan kode etik bagi para hakim. Hal ini penting untuk membangun infrastruktur etika internal di tubuh MA, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan perkembangan setelah terbentuknya Komisi Yudisial (KY).
Untuk itu, bangsa ini harus melakukan terobosan baru dalam menyusun kode etik untuk mengembalikan hakim sebagai profesi yang independen, bersih, dan mulia di tengah masyarakat.
Terobosan ini penting guna meretas kembali semangat kebersamaan sebagai satu bangsa (spirit of togetherness) dan semangat untuk bekerja sama (spirit of cooperativeness) yang selama ini luntur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam dunia penegakan hukum kita.
Kedua semangat tersebut akan menjadi spirit baru guna menegakkan dunia hukum yang bersih dan bermartabat, sekaligus untuk membentengi dunia peradilan dari ambisi oknum-oknum tertentu yang selalu ingin memenangkan perkara di pengadilan dengan cara apa pun.
Pembuatan kode etik hakim bisa saja diserahkan kepada sebuah komisi independen yang terdiri dari unsur-unsur yang saling bekerjasama, semisal hakim, jaksa, polisi, KY, masyarakat, akademisi, dan MA itu sendiri. Ini perlu dilakukan agar dapat menyerap semua hal yang dianggap etika oleh masyarakat.
Pembuatan kode etik nantinya harus mengacu pada The Bangalore Principles of Justicial Conduct yang terdiri atas tujuh prinsip utama yakni, independensi, ketakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, kecakapan dan kesaksamaan, serta prinsip arif dan bijaksana.
Tentunya, prinsip-prinsip tersebut bisa dikembangkan atau ditambah dengan nilai-nilai budaya bangsa sepanjang bisa menciptakan dunia penegakan hukum yang bersih dan berwibawa.
Sumber:http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2007030900590664

No comments: