REPUBLIKA: Selasa, 11 April 2006
Islam dan Relasi Buruh-Majikan
Oleh Khaeron Sirin
Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan menyelesaikan persoalan perburuhan. Selama ini aspirasi kaum buruh sangat sulit menembus dinding politik negeri kita. Kesediaan Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sedikit memberikan 'angin segar' bagi buruh untuk memperoleh hak-haknya.
Artinya, revisi Undang-undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan nantinya bisa saja mengakomodasi tuntutan kaum buruh. Sebab revisi tak saja ditentukan pemerintah dan pengusaha, tapi juga kaum buruh. Upaya kaum buruh memperoleh perlindungan kerja, kesejahteraan, dan hak-hak lainnya akan bisa lebih mudah diperjuangkan dan diselesaikan.
Meski belum tentu menghasilkan putusan yang memihak kaum lemah (buruh), pertemuan tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan buruh merupakan langkah yang baik guna menyelesaikan berbagai persoalan pelik. Misalnya soal persepsi berbagai kalangan tentang eksistensi kaum buruh di Indonesia.
Dengan kata lain, kaum buruh di negeri kita adalah bagian dari pelaku-pelaku ekonomi bangsa yang mestinya ditempatkan sejajar dan terhormat seperti pengusaha atau majikan. Seorang buruh harus merasakan hak-hak dan keuntungannya ketika ia bekerja atau mengabdi kepada seorang majikan atau pengusaha, seperti ketika pengusaha mengambil keuntungan dari tetesan keringatnya.
ParadigmaPersoalan buruh selama ini selalu memprihatinkan. Baik menyangkut hubungan pekerja/buruh dengan majikan, upah buruh, efektivitas industri dan peluang kerja, keseimbangan produksi dan konsumsi, ataupun jaminan kesehatan (asuransi). Yang pasti, berbagai ketidakpuasan buruh terhadap manajemen kerja dan industrialisasi telah melahirkan upaya-upaya seperti pemogokan, demonstrasi, bahkan sabotase dalam lapangan industri, yang pada akhirnya merugikan semua pihak.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Mengapa terasa sulit dipecahkan? Apakah persoalan manajemen kerja dan industrialisasi selamanya harus menguntungkan majikan (pemodal) dan menekan eksistensi kaum buruh? Inilah persoalan-persoalan yang hendaknya dilihat dan dipecahkan secara holistik.
Selama ini kita dihadapkan pada perubahan pandangan tentang fungsi dan status buruh dalam dunia kerja. Buruh, misalnya, sering ditempatkan sebagai pihak yang selalu membutuhkan dan harus menerima putusan majikan apa adanya. Buruh adalah pihak yang selalu 'meminta-minta', sementara pengusaha adalah mereka yang selalu mengulurkan tangan membuka lapangan kerja dan mengentaskan kaum buruh dari pengangguran.
Sulitnya mencari kerja dan tingginya angka pengangguran saat ini telah memaksa buruh rela menerima penindasan atau pelecehan demi sesuap nasi dari para pengusaha. Pengeksploitasian secara besar-besaran terhadap tenaga kerja telah menempatkan kaum buruh pada jerat-jerat penindasan teknologi modern ataupun perbudakan gaya baru.
Meski perbudakan secara legal sudah tidak dikenal lagi, bukan tidak mungkin jerat-jerat ataupun nilai-nilai perbudakan itu sendiri terus menjelma. Bisa saja apa yang telah dialami oleh masyarakat dulu terulang kembali di masa-masa sekarang ini, atau bahkan lebih dari sekadar itu.
Karena itulah, pemberdayaan buruh menjadi agenda penting bangsa ke depan. Sebab di samping jumlahnya yang sangat besar, pemberdayaan juga berkaitan dengan peran kaum buruh (masyarakat bawah) di masa depan. Apa yang sedang menimpa kaum buruh saat ini, langsung atau tidak akan berdampak besar pada kesejahteraan bangsa di masa mendatang.
Di sinilah agama (Islam) telah memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia bahwa kerja adalah bentuk bangunan relasi sosial antarmanusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sekaligus bentuk ideal dari pengabdian diri (ibadah) kepada Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT telah menentukan bagi setiap manusia, tanpa kecuali, pekerjaan yang dapat ia kerjakan, sekaligus memberikan tanggung jawab bagi setiap orang untuk memelihara pekerjaan yang benar, sesuai ketentuan agama.
Relasi buruh-majikanSecara teoretis, buruh merupakan faktor produksi yang diakui setiap sistem ekonomi, termasuk Islam. Dalam Islam, buruh bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa abstrak yang bisa diperlakukan sesuka majikan, atau pula bisa berbuat seenaknya tanpa mematuhi aturan majikan. Karena itu, secara prinsipil Islam memberikan hak yang sama antara majikan dan buruh, baik untuk mem-PHK maupun mogok.
Dalam hal ini, Islam sangat menekankan kearifan umatnya melihat persoalan-persoalan yang menyebabkan ketegangan antara majikan dan buruh. Sebab seluruh masalah itu sangat bergantung pada sejumlah variabel seperti tingkat pemusatan tenaga industri yang ada, tingkat dan tahap perkembangan gerakan buruh, tingkat kesenjangan dan pendapatan masyarakat, tingkat kesadaran islami terhadap etika kerja, dan lain-lain.
Bagaimanapun, Islam tidak mengakui praktik eksploitasi buruh oleh majikan. Tapi Islam juga tidak memerintahkan penghapusan masyarakat borjuis dan menciptakan masyarakat tanpa kelas. Islam mengakui adanya perbedaan kemampuan dan bakat tiap-tiap orang yang mengakibatkan perbedaan pendapatan dan imbalan material.Allah SWT berfirman,''...Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.'' (QS Al-Nisa: 33).
Dengan kata lain, asas personalitas dalam etika kerja Islam dibangun di atas semangat tauhid. Hubungan antara manusia sebagai pencari dan penerima rizki yang disediakan Allah SWT adalah kerja, di mana setiap orang memiliki akses terhadap sumber rizki itu. Hanya saja, yang membedakan manusia satu dengan lainnya adalah kemampuan, keahlian, dan kemauan untuk meraih rizki yang telah disediakan oleh Allah SWT.
Dalam hal ini, menurut Ibnu Khaldun (1332-1406), rizki sama artinya dengan penghasilan atau keuntungan yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. Rizki bisa diperoleh apabila seseorang terjun ke lapangan pekerjaan (ma'asy), karena kerja itu sendiri adalah sumber utama keuntungan, pendapatan, maupun pembentukan modal.
Dengan demikian, kedudukan pekerja (buruh), lanjut Ibnu Khaldun, sangat bergantung kepada nilai kerjanya. Nilai kerja itu sangat ditentukan oleh penghasilan atau keuntungan dari hasil kerja. Maka, untuk menumbuhkan hubungan harmonis antara majikan dengan pekerja, Islam telah menggariskan dua prinsip dasar normatif. Pertama, buruh harus setia dan melakukan pekerjaannya dengan baik. Kedua, majikan harus membayar penuh upah buruh atas jasa dan pelayanannya.
Lebih dari itu, Islam juga sangat memperhatikan fungsi keadilan serta mengaitkannya dalam pembagian kekayaan dan pendapatan, sehingga setiap orang berhak mendapatkan tingkat hidup yang layak dan manusiawi. Karena itulah, menurut M Umar Chapra, Islam menempatkan posisi yang seimbang antara buruh dengan majikan: (1) Islam memandang buruh pada penggunaan jasanya di luar pertimbangan keuangan; (2) Buruh tidak secara mutlak bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, karena ia harus bertanggung jawab kepada majikan; (3) Majikan memberikan sistem upah yang pantas untuk memenuhi kehidupan buruh, dan; (4) Majikan harus menyediakan asuransi wajib untuk menanggulangi pengangguran, kecelakaan kerja, tunjangan hari tua, dan hak-hak buruh lainnya.
Dengan pendekatan ini, baik buruh maupun majikan sama-sama tidak diistemewakan dalam Islam. Keduanya tetap berkedudukan sebagai makhluk yang berkewajiban sekaligus berhak memperoleh rizki dari Allah SWT, sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Sebab yang ditekankan Islam kepada manusia adalah sikap ta'awun (tolong-menolong), tidak dirugikan juga tidak merugikan orang lain.
Jadi, tataran wacana buruh-majikan dalam Islam bukan lagi pada level pembahasan hak memecat ataupun mogok, melainkan pada sejauhmana transformasi nilai-nilai Islam ke dalam kerangka pembangunan dan industrialisasi itu sendiri.
Dalam konteks inilah, Islam, sebenarnya mencoba melakukan kompromi yang langgeng antara buruh dan majikan dengan menetapkan nilai-nilai holistik kepada seluruh persoalan mengenai hubungan keduanya, serta menjadikan kewajiban dan hak masing-masing sebagai bagian dari etos tauhid. Dari sinilah, pemerintah hendaknya bisa membaca dan memaham i sejatinya ''bekerja'' dalam hidup ini. Wa Allah A'lam.
No comments:
Post a Comment