Wednesday, May 2, 2007

Pendidikan dan "Mitos" Kekerasan

Lampung Post: Kamis, 3 Mei 2007
Pendidikan dan 'Mitos' Kekerasan

Oleh Khaeron Sirin

Hingga tahun kesembilan perjalanannya, reformasi dunia pendidikan kita masih belum menampakkan hasil yang diharapkan. Berbagai upaya pemberdayaan guna merehabilitasi sistem pendidikan nasional terus saja mengalami kemerosotan idealisasi dalam implementasinya.
Peran pemerintah yang terlalu dominan justru memunculkan kesan bahwa pendidikan hanyalah sarana efektif bagi indoktrinasi politik dan kepentingan penguasa. Klimaksnya, dunia pendidikan kita ternyata masih menyimpan sisa-sisa budaya feodalisme Hindia Belanda yang berujung pada tindak kekerasan.
Tewasnya Cliff Muntu, mahasiswa (praja) IPDN, awal April lalu adalah bukti betapa dunia pendidikan kita masih menyisakan pola-pola pendidikan dan pembinaan militeristme yang pada akhirnya melahirkan sikap-sikap kekerasan di sekolah atau kampus.
IPDN hanyalah satu contoh, masih banyak lembaga pendidikan yang belum terdeteksi yang sebenarnya potensi kekerasan, baik di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ibarat penyakit, kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan adalah cerita akut yang bisa kambuh sewaktu-waktu.
Menghapus Mitos
Kasus kekerasan mengingatkan kita pada sebuah mitos bahwa kekerasan dianggap sebagai instrumen paling efektif guna memenuhi ambisi, kebutuhan, kepentingan, dan tujuan materialisme. Kekerasan seringkali berhasil mendiamkan suara dan aspirasi masyarakat bawah, sehingga eksistensinya menjadi pasif dan marjinal (terpinggirkan).
Pada akhirnya, kekerasan seperti ini sangat potensial menjadi bagian politik teror antar-kekuatan yang bertikai untuk mendorong ketakutan lawan.
Kasus IPDN menjadi ironis dan kontraproduktif di saat bangsa ini tengah menyosialisasikan dan menyerukan budaya anti-kekerasan dan penghormatan HAM. Apalagi, kekerasan tersebut dilakukan dengan memakai atribut mahasiswa yang sejatinya adalah kader intelektual dan kader pembaharuan (reformasi).
Kenyataan itu juga sering terjadi di lembaga-lembaga pendidikan umum dalam bentuk kegiatan-kegiatan sekolah dan kampus, semisal MOS (masa orientasi sekolah) dan ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus), yang mengutamakan olah fisik, seperti lari, push up, sit up, koprol, dan sejenisnya.
Keadaan-keadaan inilah yang secara perlahan memperkokoh ketidakadilan sistemik terhadap orang-orang lemah, semisal adik kelas atau yunior.
Mitos bahwa kekerasan menjadi sarana efektif untuk membentuk pribadi yang kuat dan disiplin sudah seharusnya dihilangkan. Pola-pola pendidikan lama yang menekankan kegiatan fisik tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Hukuman berupa kekerasan fisik guna memotivasi sikap disiplin, patuh dan loyal sudah tidak layak lagi dilakukan dalam pola pendidikan di kampus. Anggapan bahwa kekerasan fisik bisa membuat suasana makin meriah, menjalin keakraban dan membuat kesan mendalam di antara senior dan yunior juga sudah tidak logis lagi.
Kekerasan dalam pola pendidikan seperti itu hanya akan melahirkan sikap dendam kelompok yang tak berkesudahan. Mereka akan membalas apa yang mereka alami dulu setelah menjadi senior. Kekerasan tersebut sulit dihilangkan meski tiap tahun berganti siswa atau mahasiswa.
Biasanya kekerasan di lembaga-lembaga pendidikan bukan semata-mata disebabkan sikap individu atau kelompok, tetapi lebih dari itu didorong oleh pola dan semangat untuk membalas dendam yang secara turun temurun diwariskan dari satu generasi ke generasi sesudahnya.
Dendam tersebut telah menjadi tradisi yang tanpa sadar sudah ditanamkan sejak awal dan sudah menjadi mata rantai yang sulit diputus.
Di lembaga pendidikan yang memang bertujuan mencetak para prajurit atau tentara, kekerasan mungkin dianggap wajar bahkan "wajib" untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Namun, pola kekerasan seperti itu tidak bisa serta merta diterapkan di sekolah atau kampus yang mencetak pada kader intelektual dan birokrat.
Penerapan pola kekerasan dalam kehidupan sipil kampus hanya akan "membunuh" rasa kemanusiaan. Pola kekerasan kekerasan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan yang sedang kita hadapi, bahkan hanya akan menghasilkan kader-kader pejabat dan pemimpin yang bermodalkan kekuatan dan emosi belaka.
Banyak alternatif yang sebenarnya bisa dilakukan. Misalnya, materi pembinaan dan pendidikan dikemas dengan cara-cara yang menyenangkan, menggelitik (kritis) dan berorientasi pada penggalian bakat, pemikiran, dan intelektual.
Memutus Rantai Kekerasan
Gaya-gaya militeristme seperti itu harus segera dihilangkan dari ranah kehidupan sipil kampus (sekolah). Kita mesti melihat kenyataan bahwa mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa yang sangat diharapkan menjadi garda depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, kekerasan dan kekuatan bukanlah jaminan seseorang untuk dihormati dan dihargai saat menjadi pemimpin nanti.
Para kader pemimpin dan intelektual yang dihasilkan oleh lembaga kampus sipil hanya akan dihormati jika memiliki kemampuan persuasif, memiliki keteladanan dan kewibawaan di mata masyarakat, bukan karena sikap otoriter dan kekerasannya.
Apalagi, kita tahu bahwa lulusan kampus atau perguruan tinggi adalah mereka yang nantinya dipastikan akan mengisi pos-pos kekuasaan, birokrasi, dan intelektual di masa mendatang.
Jika sejak awal kuliah mereka sudah "dirasuki" dengan ruh atau semangat kekerasan, bukan tidak mungkin potensi dan semangat (kekerasan) tersebut akan terus berlanjut dan menjadi alat untuk meraih jabatan dan kekuasaan di pemerintahan kelak. Ini adalah preseden buruk bagi dunia pendidikan kita dalam mencetak kader-kader pemimpin yang baik.
Karena itu, kekerasan dan penyiksaan fisik atas nama pembinaan di lembaga pendidikan harus segera dihapus, karena sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi dan kaidah-kaidah pendidikan saat ini. Budaya anti-kekerasan harus menjadi slogan yang harus senantiasa dikampanyekan dalam dinamika kehidupan sipil kampus.
Hubungan antara senior dan yunior dalam kegiatan kemahasiswaan dan pembinaan di kampus harus dilandasi semangat saling asah, asih, dan asuh. Artinya, pembinaan yang baik harus dijalankan dengan menerapkan prinsip dan pola pendidikan yang baik pula.
Sebab, dengan pola pendidikan dan pembinaan yang baik, akan menghasilkan kader-kader pemimpin bangsa yang jauh dari semangat dan hasrat kekerasan di masa depan.
Untuk menciptakan hal itu, mata rantai kekerasan yang saat ini membelenggu pola pendidikan harus segera diputus secara paksa. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah hukum terhadap para pelaku tindak kekerasan dan menuntaskannya secara tegas dan konsisten dengan tetap menjunjung tinggi keadilan dan HAM.
Dalam hal ini, pemerintah harus berani mengutamakan perlindungan dan keadilan hukum ketimbang menjaga citra dan "nama baik" lembaga pendidikan atau kampus.
Sumber:http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2007050302593216

No comments: