Kompas: Sabtu, 4 Agustus 2001
Mungkinkah Pelaku Korupsi Dihukum Mati?
Oleh Khaeron Sirin
Memang, dalam keyakinan Lopa dan juga kita, korupsi adalah musuh besar yang harus diberantas. Sebab, korupsi tidak hanya merugikan bangsa dan negara, tapi juga merusak mental masyarakat, baik aparat pemerintah itu sendiri maupun masyarakat luas.
Selain merusak kinerja birokrasi pemerintahan, kejahatan korupsi juga akan menimbulkan semacam keinginan kuat berupa "dendam kelas" di tengah-tengah masyarakat, yang selama ini merasa terpinggirkan dari arena kekuasaan. Lebih dari itu, kejahatan korupsi ini, pada akhirnya, berimbas lumpuh dan tidak efisiennya seluruh biro-krasi dan administrasi negara.
Kejahatan luar biasa
Dari sinilah, perlu direformasi atau dipertegas kembali upaya penanganan kasus-kasus korupsi secara konkret dan jelas. Kasus korupsi harus ditempatkan sebagai tindak kejahatan yang benar-benar luar biasa. Sebab, kejahatan ini tidak hanya merugikan masyarakat secara umum (kejahatan publik) ataupun bentuk pengkhianatan amanat rakyat, tapi juga kejahatan yang bisa mengancam moral generasi penerus bangsa, sekaligus mengganggu stabilitas, kredibilitas dan citra negara di mata internasional.
Untuk itulah, bangsa Indone-sia harus segera menyusun sebuah strategi nasional untuk memberantas kejahatan korupsi ini. Bahkan, usulan agar dalam forum Sidang Istimewa (SI) MPR tidak sekadar membicarakan soal kepemimpinan nasional sebenarnya merupakan usulan yang perlu dipertimbangkan.
Selain meminta pertanggungjawaban Presiden, SI MPR yang baru lalu seharusnya bisa mencapai konsensus dalam upaya mengatasi berbagai masalah yang melingkupi bangsa ini, yaitu menyatakan perang terhadap korupsi dan mewujudkan atau membentuk komisi yang diberikan wewenang penuh untuk mengawasi sekaligus memberantas tindak pidana korupsi di dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dalam hal ini, perlu dibahas dan dirumuskan semacam kaidah ataupun norma yang konkret sebagai acuan produk legislatif untuk mengawasi perilaku korupsi.
Upaya ini tentunya tidak akan berhasil selama MPR masih berorientasi pada masalah politik an sich seperti yang kita lihat selama ini. Padahal, sudah semestinya MPR lebih berorientasi pada rakyat dan menjalankan fungsinya dalam memberikan arahan dan pengawasan kepada lembaga tinggi negara, khususnya Presiden dalam menjalan-kan amanat Tap MPR No XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Memang, reformasi yang dilakukan sekarang ini belumlah total. Pemerintah yang ada masih bersifat transplacement bukan replacement (mengganti) pemerintah lama dengan orang-orang yang reformis. Sehingga, tidak mengherankan, jika upaya pemberantasan korupsi selalu terganjal oleh kekuatan lama yang tidak mau dosa-dosanya, di masa lalu, terbongkar.
Situasi seperti ini, sering dimanfaatkan oleh mereka yang memahami kelemahan-kelemahan hukum positif yang ada. Para penegak hukum pun tidak berdaya menyelesaikan kasus-kasus kejahatan korupsi yang melibatkan para petinggi negara ini dan kroni-kroninya. Dengan kata lain, undang-undang, penegak hukum, dan budaya kita masih belum mampu memberikan rasa takut orang-orang yang melakukan kejahatan korupsi.
Jika dibiarkan, struktur pemerintah yang diisi oleh pejabat-pejabat bermental seperti itu jelas akan menciptakan dan meningkatkan korupsi yang sistematik dan meluas. Dari sini, bisa kita rasakan betapa besar dan luar biasa bahaya yang ditimbulkan akibat berkembangnya tindak kejahatan korupsi. Karenanya, ia harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Sebenarnya, sudah ada keinginan kuat dari pemerintah untuk memberantas tindak kejahatan korupsi ini, seperti mengamandemen UU No 31/ 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), dan mengajukan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi, sejauh ini belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Karena itulah, pembuat undang-undang, yaitu pemerintah bersama DPR, mesti menyadari dan memperhitungkan adanya kekurangan-kekurangan dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan hukum masyarakat. Yaitu bahwa pemerintah sebagai pencipta dan penegak hukum, harus berusaha menggali dan mengikuti serta memahami nilai hukum yang hidup di masyarakat dalam rangka melengkapi hukum formal, agar sesuai dengan perasaan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam konteks ini, keadilan hanya bisa dilahirkan jika aparat penegak hukum tidak semata-mata menonjolkan procedural justice atau formalitas prosedur penegakan hukum. Hal ini sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum. Hukum harus dikembalikan kepada akar moralitasnya.
Hukuman mati
Jika dilihat dari bahaya yang ditimbulkan, pelaku korupsi memang pantas untuk dihukum sangat berat, jika perlu dihukum mati. Pertimbangannya, kejahatan ini ternyata menyebabkan kehancuran yang luar biasa hebat bagi kelangsungan hidup bangsa. Masyarakat hingga anak cucu bangsa ini di kemudian hari menderita dan me-nanggung akibatnya. Dari sini pula keberadaan bangsa kita menjadi terpojok, dihina dan dipermalukan di dunia internasional karena maraknya budaya korupsi yang tak terkendali.
Indonesia, kini dalam keadaan yang kritis dalam soal korupsi, karena hampir selama 30-an tahun dalam benak pejabat kita, terutama yang menempati 'lahan basah', adalah kata-kata yang tak jauh beda dengan iklan di TV "ambil lagi... ambil lagi...".
Bahkan, seperti yang dilaporkan lembaga Transparency International (TI), dari 91 negara yang diteliti, Indonesia ternyata menempati lima besar negara terkorup di dunia bersama negara Azerbaizan, Ukraina, Yugoslavia dan Nigeria (Kompas, 7/ 7/ 2001). Sedangkan Cina dan Vietnam yang beberapa tahun terakhir bersaing dalam soal korupsi dengan Indonesia, kini sudah jauh lebih baik setelah mengampanyekan gerakan antikorupsi dengan menghukum mati para pejabat teras mereka yang terlibat kejahatan korupsi.
Karena itulah, bangsa Indonesia perlu mengikuti langkah strategis yang dilakukan Cina dan Vietnam tersebut. Bangsa Indonesia perlu menyadarkan masyarakat akan bahaya dari budaya korupsi dan mengkampanyekan sanksi hukum yang sangat berat atau hukuman mati bagi para pelakunya sebagai hukuman yang pantas dan wajar dijatuhkan. Dengan demikian, keputusan hukuman mati bagi pe-laku kejahatan korupsi ini akan diterima dengan lega dan lapang dada oleh mayoritas bangsa.
Selain itu, proses hukum yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan vonis hukuman bagi pelaku kejahatan korupsi, harus bersifat transparan. Hal ini semata-mata agar bisa diikuti dan dipantau oleh masyarakat secara luas, sehingga memenuhi rasa keadilan masyarakat. Proses seperti ini tentunya akan bisa menumbuhkan kepuasan publik, dan semakin menumbuhkan kepercayaan masyarakat Indonesia pada bangsa dan negaranya yang dengan sungguh-sungguh, sekuat tenaga dan cermat menegakkan hukum demi melindungi seluruh masyarakat dan membangun ketertiban bangsa.
Lebih dari itu, keinginan pemerintah untuk segera memberlakukan asas pembuktian terbalik ataupun asas praduga bersalah untuk kasus korupsi harus disambut secara positif, sebagai upaya menjerat sekaligus menyeret para pelaku kejahatan korupsi yang selama ini sulit diungkap. Meski upaya pemerintah menjebloskan pelaku kejahatan korupsi sarat dengan kepentingan politik, tapi lahirnya asas ini harus dilihat dari aspek penegakan supremasi hukum sekalipun berangkat dari keinginan politik.
Pembuktian terbalik ini dimaksudkan untuk membuktikan harta yang diperoleh seseorang, khususnya pejabat, yang diduga melakukan korupsi benar-benar melanggar hukum atau tidak. Di Malaysia dan Singapura, misalnya, terdapat ketentuan hukum yang disebut praduga korupsi, yaitu setiap pemberian kepada pejabat atau pegawai negeri selalu dianggap korupsi, kecuali jika yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.
Memang, dalam asas pembuktian terbalik, seseorang bisa menjadi permainan politik untuk menjatuhkan lawan di dalam ataupun di luar pemerintahan. Karenanya, perlu dipertimbangkan aturan-aturan prosedur selanjutnya. Dalam hal ini, jika yang dituduh dapat membuktikan dirinya tidak bersalah, maka orang yang menuduh harus diberi sanksi. Dan yang terpenting, penerapan asas pembuktian terbalik harus didahului dengan pembersihan 'sampah-sampah' di lingkungan kejaksaan dan peradilan. Sebab, tidak mustahil, penerapan asas ini, justru bisa menjadi sarana pemerasan dan praktik KKN baru.
Dari sinilah, pentingnya pembahasan tentang lembaga yang berwenang penuh dan memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menangani kejahatan korupsi. Tentunya, hal ini harus didukung dengan sistem perundang-undangan dan hukum yang secara tegas dan jelas, baik formil ataupun materil, melarang segala praktik yang merugikan negara dan rakyat. Sekaligus, juga memberikan sanksi hukum yang sangat berat bagi mereka yang berani melakukannya, terutama pejabat pemerintah dan negara.
Selain itu, infrastruktur peradilan perlu diberdayakan dengan tidak ada campur tangan pihak-pihak tertentu dalam mengadili setiap tindak kejahatan korupsi yang terjadi. Begitu pula, birokrasi dan manajemennya perlu diciptakan secara lebih efisien dan efektif sehingga tujuan adanya birokrasi itu sendiri bisa tercapai dengan baik. Jika perlu, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan yang ada dirombak kembali demi tegaknya su-premasi hukum.
Akhirnya, apa yang menjadi harapan kita bersama adalah bagaimana bangsa ini bisa secara konsisten keluar dari belenggu krisis. Bahwa SI MPR nanti tidak sekadar panggung politik, tapi juga panggung rakyat adalah sebuah keniscayaan. Hal ini penting menuju terselenggaranya clean governance dan good governance, dan tegaknya supremasi hukum.
(Khaeron Sirin, Staf Pusat Hukum HAM IAIN Jakarta, mahasiswa Pascasarjana IAIN Jakarta )