KORAN TEMPO, 7 Pebruari 2007
Memaknai Bencana
Oleh Khaeron Sirin
Aneka bencana datang silih
berganti dan terus terjadi di hampir seluruh wilayah negeri ini. Fenomena di
darat, laut, ataupun udara seakan menjadi ladang bencana yang terus melanda
negeri kita. Letusan gunung, tanah longsor, banjir bandang, angin topan, badai
laut, kabut tebal, kebakaran, semburan lumpur, dan terakhir, banjir besar yang
melumpuhkan Jakarta, telah mengakibatkan rangkaian korban dan kerusakan yang
sangat besar. Semua itu menimbulkan kesan seakan-akan kehidupan negeri kita
diwarnai sejuta bencana yang tak pernah ada habisnya.
Tanpa kita inginkan, semua itu
datang begitu saja. Korban pun berjatuhan, baik jiwa maupun harta benda. Tidak
hanya itu, bencana alam juga secara tiba-tiba mengubah kultur masyarakat dan
bangsa kita. Di jalan-jalan sepanjang daerah yang terkena bencana bisa dijumpai
deretan peminta-minta, penghiba, bahkan pemalak. Bangsa yang konon disebut
bangsa pekerja keras, kini tak lebih sebagai bangsa penadah bantuan.
Fakta menunjukkan, bencana
alam yang sering terjadi di negeri kita ini tidak serta-merta datang. Tapi
bencana tersebut senantiasa diawali dengan eksploitasi alam yang merusak
keseimbangan ekologis serta kebijakan pembangunan yang tidak memenuhi aspirasi
masyarakat. Ketika hutan digunduli, tidak hanya flora dan fauna yang hilang,
tapi juga menyebabkan rentetan bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Laut dan udara pun seolah ikut bersimpati atas kondisi daratan yang
memprihatinkan. Tidak mengherankan jika bencana secara bertubi-tubi menerpa,
datang silih berganti, saling bersahutan satu sama lain. Seolah-olah datangnya
bencana di negeri ini sudah direncanakan oleh kita sendiri.
Itu bukanlah takdir. Tapi
akibat tangan-tangan kita yang begitu sewenang-wenang menjamah alam. Kitalah
yang memicu bencana alam itu terjadi. Kita tidak lagi memandang alam sebagai
mitra hidup di bumi. Kita telah menjadikan alam sebagai alat untuk mencapai
tujuan konsumtif. Kita telah menelantarkan alam demi kesombongan kita. Kita
telah menindas alam karena kemampuan dan kekuasaan yang kita miliki. Alhasil,
hubungan manusia dengan alam semakin tidak harmonis, sehingga terjadi perusakan
dan penindasan terhadap alam yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Inilah
yang diperingatkan oleh Allah, "Sesungguhnya manusia berlaku
sewenang-wenang, tatkala merasa dirinya mampu" (QS Al-'Alaq: 6-7).
Di sinilah pentingnya
pemahaman kritis kita--sebagai manusia yang dikaruniai kelebihan akal dan
pikiran dalam menyikapi bencana, betapa bencana bukanlah takdir azali,
melainkan lebih merupakan hukum kausalitas atau hukum sebab-akibat.
Kesadaran teleologis
Allah menciptakan segala
sesuatu dalam keseimbangan dan keserasian. Semuanya serba terkait. Jika terjadi
gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, akan terganggu pula makhluk
lainnya. Karena itu, keseimbangan dan keserasian tersebut harus dipelihara agar
tidak terjadi kerusakan. Menjadi tugas manusia sebagai khalifah di bumi ini
untuk memelihara dan menjaga keseimbangan dan keserasian tersebut (QS
Al-Baqarah: 30). Dalam hal ini, hubungan manusia dengan alam bukanlah hubungan
antara penakluk dan yang ditaklukkan, antara tuan dan hamba, ataupun antara
subyek dan obyek, melainkan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah.
Manusia tidak bisa hidup tanpa alam dan sebaliknya, alam sangat membutuhkan
manusia.
Bahkan Islam mengajarkan
kepada manusia agar menumbuhkan rasa cinta dan hormat terhadap alam sekitar,
baik makhluk hidup maupun benda mati, layaknya manusia (QS Al-An'am: 38).
Begitu juga seluruh alam berupa benda mati harus dilihat sebagai makhluk Tuhan
yang sebenarnya dalam keadaan bersujud kepada Allah (QS Al-Hajj: 18, Al-Isra':
44). Nabi Muhammad sendiri telah mengajarkan kepada kita rasa sayang dan cinta
terhadap semua makhluk lewat sebuah ungkapan yang sangat indah, saat kembali
dari Perang Tabuk menuju Madinah. Seraya menunjuk Gunung Uhud, beliau berkata,
"Ini adalah Thabah dan ini adalah Uhud, gunung yang mencintai kita dan kita
mencintainya," (Muttafaq alaih). Hadis tersebut menunjukkan sketsa
hubungan yang mencerminkan ketulusan yang mendalam tentang kasih dan cinta
terhadap lingkungan (alam).
Karena itulah konsep
kekhalifahan dalam Islam menuntut adanya interaksi yang harmonis antara manusia
dan sesamanya, sekaligus dengan alam semesta. Islam tidak mengajarkan kepada
manusia agar menjadikan alam sebagai alat mencapai tujuan konsumtif, tapi
menjadikan alam sebagai mitra hidup yang bisa meningkatkan kualitas pengabdian
kita kepada Allah. Semakin baik hubungan atau interaksi manusia dengan alam,
akan semakin banyak manfaat yang bisa diperoleh manusia dari alam itu. Inilah
prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antara manusia dan alam serta
keharmonisan hubungan inilah yang menjadi tujuan etika agama. Dalam artian,
setiap perusakan terhadap lingkungan (alam) harus dinilai sebagai perusakan
terhadap diri manusia itu sendiri.
Inilah yang dimaksud dengan
kesadaran teleologis, suatu kesadaran yang memiliki jangkauan masa depan dan
berjangka panjang. Ibarat kalimat, alam bukanlah warisan nenek moyang,
melainkan titipan anak cucu kita yang harus dipelihara dan dijaga. Kesadaran
ini bisa muncul tatkala manusia mampu memahami secara makrokosmik eksistensi
alam dan kehidupan, tidak hanya saat ini atau masa mendatang, tapi juga masa
setelah kehidupan ini.
Akhirnya, bencana telah
menjadi pelajaran sekaligus guru bagi kita. Selain tunduk dan berserah diri
kepada Allah, mesti ada upaya-upaya konkret yang dilaksanakan secara faktual
dalam memahami dan menyikapi bencana saat ini. Kita mesti berbagi peran dalam
memelihara dan menjaga lingkungan alam. Pemerintah sebagai pelaksana dan
pembuat kebijakan diharapkan bisa mengakomodasi persoalan dan melegitimasi
hak-hak rakyat. Adapun masyarakat, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat
diharapkan memainkan peran yang tidak bisa ditangani oleh pemerintah.