Monday, December 25, 2017

Poligami Mazhab Negara


                                              KORAN TEMPO, 15 Desember 2006
Poligami Mazhab Negara
Oleh Khaeron Sirin


Belakangan ini kita melihat ada dua fenomena yang menjadi perhatian publik. Pertama, fenomena praktek poligami yang melibatkan tokoh agama. Kedua, fenomena perselingkuhan (perzinaan) yang melibatkan tokoh politik. Yang pertama menggunakan cara yang legal dan halal menurut ajaran agama, sedangkan yang kedua menggunakan cara yang ilegal dan haram.
Bedanya, para aktivis gender dan hak asasi manusia justru lebih menyoroti kasus poligami sebagai pemicu problem sosial di tengah masyarakat. Berbagai komentar dan penelitian menyebut poligami sebagai tempat bersemainya kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak dalam keluarga. Sedangkan praktek-praktek perselingkuhan, perzinaan, dan kumpul kebo--yang justru punya dampak sosial yang sangat besar--tidak cukup menyedot perhatian mereka.
Ini menunjukkan betapa poligami di Indonesia kurang mendapat tempat yang proporsional dalam wacana demokrasi di Indonesia. Karena itulah negara punya kewajiban untuk segera mengakhiri perdebatan seputar poligami agar tidak mengarah ke konflik agama.

Pro-kontra
Memang poligami (beristri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan) adalah isu yang sangat krusial di tengah masyarakat, terutama kaum perempuan. Bagi kalangan aktivis gender dan hak asasi manusia, misalnya, poligami tidak saja menunjukkan adanya subordinasi antara laki-laki dan perempuan. Poligami dalam banyak kasus juga telah memunculkan kekerasan terhadap perempuan. Bentuk-bentuknya bisa berupa pemukulan, cemooh, penderitaan batin bagi istri pertama, ditelantarkannya anak-anak, ataupun berkurangnya nafkah keluarga, bahkan penularan penyakit.
Lebih dari itu, poligami menimbulkan berbagai stigma yang dilekatkan pada perempuan sebagai istri pertama ataupun istri berikutnya. Bagi istri pertama, ia dianggap tidak mampu melayani kebutuhan suami, sehingga suami kawin lagi. Bagi istri kedua, ia dianggap sebagai perempuan penggoda suami orang. Sementara itu, agama menempatkan poligami sebagai salah satu solusi yang justru ditawarkan untuk mengatasi problem sosial di tengah masyarakat. Misalnya saja, poligami merupakan solusi alternatif dari perbuatan zina, ketelantaran anak-anak yatim dan perempuan, dan juga ketelantaran suami jika istrinya tidak bisa memberikan pelayanan sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Tanggung jawab kemanusiaan inilah yang secara filosofis dan sosiologis melandasi terjadinya praktek-praktek poligami, sehingga bersih dari risiko menyakiti dan menzalimi masyarakat, terutama kaum perempuan. Dalam konteks ini, poligami yang dimaksud adalah poligami bersyarat, yaitu poligami yang didasari keadilan, baik secara moral maupun materiil. Tentu keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang terkait dengan kondisi ataupun konteks sosial dan kapasitas kemanusiaan yang wajar.
Yang jelas, perbedaan interpretasi terhadap institusi poligami oleh berbagai kelompok, baik yang pro maupun yang kontra, telah mengakibatkan tarik-menarik dan gesekan kepentingan yang begitu kuat. Hal ini seiring dengan terbukanya arus demokrasi yang memberikan peluang yang besar kepada masing-masing kelompok (kepentingan) untuk menyuarakan aspirasinya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan perbenturan kepentingan ini akan semakin kuat dan mengakibatkan tertekannya salah satu kepentingan yang ada.

Mazhab negara
Negara sebenarnya memiliki kepentingan yang lebih besar untuk mengatur perkawinan dan keluarga dalam hubungan masyarakat. Dalam hal ini, peran institusi kekuasaan (negara) menjadi solusi terakhir ketika terjadi kebuntuan dalam pembahasannya. Negara harus berani memilih atau mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang lebih berdampak positif atau maslahat bagi masyarakat secara keseluruhan. Inilah yang dalam ilmu hukum Islam (ushul fiqih) disebut siyasah syar'iyyah (hukum negara atau undang-undang) yang memiliki kekuatan untuk memaksa.
Meski Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, negara juga tidak bisa menutup mata terhadap kepentingan agama yang memang membolehkan poligami secara restriktif atau eksepsional dengan beberapa syarat tertentu. Karena itu, wajar jika negara juga berupaya mengakomodasi kepentingan tersebut sebagaimana Pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan, "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan."
Tentu izin berpoligami diberikan negara setelah dipenuhinya beberapa persyaratan, seperti istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Adanya pengaturan poligami oleh negara setidaknya akan memberikan beberapa manfaat bagi masyarakat dan negara itu sendiri.
Pertama, mengangkat harkat dan martabat perempuan itu sendiri. Hal ini didasari pertimbangan sosial, yakni banyak terjadi praktek perselingkuhan, perzinaan, dan kumpul kebo. Di sini, negara berupaya meminimalkan dampak-dampak negatif di tengah masyarakat melalui pengaturan poligami bersyarat.
Kedua, sebagai bentuk perlindungan hak-hak perempuan dan anak, negara memberlakukan pencatatan atas setiap perkawinan yang terjadi. Hal ini untuk mengurangi terjadinya pengabaian hak-hak perempuan dan anak-anak dalam sebuah perkawinan poligami yang tidak dicatatkan, misalnya kawin siri atau kawin di bawah tangan. Di sini, suatu perkawinan (termasuk poligami) dianggap sah jika dicatatkan di kantor urusan agama atau catatan sipil.
Ketiga, pengaturan poligami oleh negara juga dalam rangka melakukan tertib administrasi, yang membantu pemerintah dalam mengamankan strategi pembangunan, terutama yang berkaitan dengan pengendalian penduduk, dan strategi pertumbuhan ekonomi stabil guna menjaga keseimbangan antara kapasitas produksi dan populasi yang mengkonsumsi, sekaligus pemerataan kesejahteraan.
Hanya, pengaturan poligami secara ketat beserta pengawasannya tersebut selama ini sebatas di kalangan pegawai negeri sipil. Sedangkan untuk kalangan masyarakat luas, belum ada peranti hukum yang kuat untuk membatasi sekaligus mengawasi praktek poligami. Karena itu, negara bisa saja memperluas pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 yang menjangkau masyarakat umum demi kemaslahatan bersama.
Dengan demikian, persoalan poligami di Indonesia pada dasarnya sangat terkait dengan peran dan selera politik penguasa (negara). Tinggal bagaimana penguasa mampu mengakomodasi dan membangun komunikasi yang harmonis dengan berbagai kelompok kepentingan, guna menciptakan suatu hukum perkawinan yang berorientasi praktis dan memberikan manfaat bagi semua pihak.

No comments: