KORAN TEMPO, 15 Desember 2006
Poligami Mazhab Negara
Oleh Khaeron Sirin
Belakangan ini kita melihat
ada dua fenomena yang menjadi perhatian publik. Pertama, fenomena praktek
poligami yang melibatkan tokoh agama. Kedua, fenomena perselingkuhan
(perzinaan) yang melibatkan tokoh politik. Yang pertama menggunakan cara yang
legal dan halal menurut ajaran agama, sedangkan yang kedua menggunakan cara
yang ilegal dan haram.
Bedanya, para aktivis gender
dan hak asasi manusia justru lebih menyoroti kasus poligami sebagai pemicu
problem sosial di tengah masyarakat. Berbagai komentar dan penelitian menyebut
poligami sebagai tempat bersemainya kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak
dalam keluarga. Sedangkan praktek-praktek perselingkuhan, perzinaan, dan kumpul
kebo--yang justru punya dampak sosial yang sangat besar--tidak cukup menyedot
perhatian mereka.
Ini menunjukkan betapa
poligami di Indonesia kurang mendapat tempat yang proporsional dalam wacana
demokrasi di Indonesia. Karena itulah negara punya kewajiban untuk segera
mengakhiri perdebatan seputar poligami agar tidak mengarah ke konflik agama.
Pro-kontra
Memang poligami (beristri
lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan) adalah isu yang sangat krusial di
tengah masyarakat, terutama kaum perempuan. Bagi kalangan aktivis gender dan
hak asasi manusia, misalnya, poligami tidak saja menunjukkan adanya subordinasi
antara laki-laki dan perempuan. Poligami dalam banyak kasus juga telah
memunculkan kekerasan terhadap perempuan. Bentuk-bentuknya bisa berupa
pemukulan, cemooh, penderitaan batin bagi istri pertama, ditelantarkannya
anak-anak, ataupun berkurangnya nafkah keluarga, bahkan penularan penyakit.
Lebih dari itu, poligami
menimbulkan berbagai stigma yang dilekatkan pada perempuan sebagai istri
pertama ataupun istri berikutnya. Bagi istri pertama, ia dianggap tidak mampu
melayani kebutuhan suami, sehingga suami kawin lagi. Bagi istri kedua, ia
dianggap sebagai perempuan penggoda suami orang. Sementara itu, agama
menempatkan poligami sebagai salah satu solusi yang justru ditawarkan untuk
mengatasi problem sosial di tengah masyarakat. Misalnya saja, poligami merupakan
solusi alternatif dari perbuatan zina, ketelantaran anak-anak yatim dan
perempuan, dan juga ketelantaran suami jika istrinya tidak bisa memberikan
pelayanan sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Tanggung jawab kemanusiaan
inilah yang secara filosofis dan sosiologis melandasi terjadinya
praktek-praktek poligami, sehingga bersih dari risiko menyakiti dan menzalimi
masyarakat, terutama kaum perempuan. Dalam konteks ini, poligami yang dimaksud
adalah poligami bersyarat, yaitu poligami yang didasari keadilan, baik secara
moral maupun materiil. Tentu keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang
terkait dengan kondisi ataupun konteks sosial dan kapasitas kemanusiaan yang
wajar.
Yang jelas, perbedaan
interpretasi terhadap institusi poligami oleh berbagai kelompok, baik yang pro
maupun yang kontra, telah mengakibatkan tarik-menarik dan gesekan kepentingan
yang begitu kuat. Hal ini seiring dengan terbukanya arus demokrasi yang
memberikan peluang yang besar kepada masing-masing kelompok (kepentingan) untuk
menyuarakan aspirasinya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan perbenturan
kepentingan ini akan semakin kuat dan mengakibatkan tertekannya salah satu
kepentingan yang ada.
Mazhab negara
Negara sebenarnya memiliki
kepentingan yang lebih besar untuk mengatur perkawinan dan keluarga dalam
hubungan masyarakat. Dalam hal ini, peran institusi kekuasaan (negara) menjadi
solusi terakhir ketika terjadi kebuntuan dalam pembahasannya. Negara harus
berani memilih atau mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang lebih berdampak
positif atau maslahat bagi masyarakat secara keseluruhan. Inilah yang dalam
ilmu hukum Islam (ushul fiqih) disebut siyasah syar'iyyah (hukum negara atau
undang-undang) yang memiliki kekuatan untuk memaksa.
Meski Pasal 3 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan menyebutkan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri, negara juga tidak bisa menutup mata terhadap kepentingan agama yang
memang membolehkan poligami secara restriktif atau eksepsional dengan beberapa
syarat tertentu. Karena itu, wajar jika negara juga berupaya mengakomodasi
kepentingan tersebut sebagaimana Pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan, "Pengadilan
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan."
Tentu izin berpoligami diberikan
negara setelah dipenuhinya beberapa persyaratan, seperti istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
bisa disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Adanya pengaturan
poligami oleh negara setidaknya akan memberikan beberapa manfaat bagi
masyarakat dan negara itu sendiri.
Pertama, mengangkat harkat dan
martabat perempuan itu sendiri. Hal ini didasari pertimbangan sosial, yakni
banyak terjadi praktek perselingkuhan, perzinaan, dan kumpul kebo. Di sini,
negara berupaya meminimalkan dampak-dampak negatif di tengah masyarakat melalui
pengaturan poligami bersyarat.
Kedua, sebagai bentuk
perlindungan hak-hak perempuan dan anak, negara memberlakukan pencatatan atas
setiap perkawinan yang terjadi. Hal ini untuk mengurangi terjadinya pengabaian
hak-hak perempuan dan anak-anak dalam sebuah perkawinan poligami yang tidak
dicatatkan, misalnya kawin siri atau kawin di bawah tangan. Di sini, suatu
perkawinan (termasuk poligami) dianggap sah jika dicatatkan di kantor urusan
agama atau catatan sipil.
Ketiga, pengaturan poligami
oleh negara juga dalam rangka melakukan tertib administrasi, yang membantu
pemerintah dalam mengamankan strategi pembangunan, terutama yang berkaitan
dengan pengendalian penduduk, dan strategi pertumbuhan ekonomi stabil guna
menjaga keseimbangan antara kapasitas produksi dan populasi yang mengkonsumsi,
sekaligus pemerataan kesejahteraan.
Hanya, pengaturan poligami
secara ketat beserta pengawasannya tersebut selama ini sebatas di kalangan
pegawai negeri sipil. Sedangkan untuk kalangan masyarakat luas, belum ada
peranti hukum yang kuat untuk membatasi sekaligus mengawasi praktek poligami.
Karena itu, negara bisa saja memperluas pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 yang menjangkau
masyarakat umum demi kemaslahatan bersama.
Dengan demikian, persoalan
poligami di Indonesia pada dasarnya sangat terkait dengan peran dan selera
politik penguasa (negara). Tinggal bagaimana penguasa mampu mengakomodasi dan
membangun komunikasi yang harmonis dengan berbagai kelompok kepentingan, guna
menciptakan suatu hukum perkawinan yang berorientasi praktis dan memberikan
manfaat bagi semua pihak.
No comments:
Post a Comment