Monday, December 25, 2017

Memaknai Bencana



KORAN TEMPO, 7 Pebruari 2007
Memaknai Bencana
Oleh Khaeron Sirin

Aneka bencana datang silih berganti dan terus terjadi di hampir seluruh wilayah negeri ini. Fenomena di darat, laut, ataupun udara seakan menjadi ladang bencana yang terus melanda negeri kita. Letusan gunung, tanah longsor, banjir bandang, angin topan, badai laut, kabut tebal, kebakaran, semburan lumpur, dan terakhir, banjir besar yang melumpuhkan Jakarta, telah mengakibatkan rangkaian korban dan kerusakan yang sangat besar. Semua itu menimbulkan kesan seakan-akan kehidupan negeri kita diwarnai sejuta bencana yang tak pernah ada habisnya.
Tanpa kita inginkan, semua itu datang begitu saja. Korban pun berjatuhan, baik jiwa maupun harta benda. Tidak hanya itu, bencana alam juga secara tiba-tiba mengubah kultur masyarakat dan bangsa kita. Di jalan-jalan sepanjang daerah yang terkena bencana bisa dijumpai deretan peminta-minta, penghiba, bahkan pemalak. Bangsa yang konon disebut bangsa pekerja keras, kini tak lebih sebagai bangsa penadah bantuan.
Fakta menunjukkan, bencana alam yang sering terjadi di negeri kita ini tidak serta-merta datang. Tapi bencana tersebut senantiasa diawali dengan eksploitasi alam yang merusak keseimbangan ekologis serta kebijakan pembangunan yang tidak memenuhi aspirasi masyarakat. Ketika hutan digunduli, tidak hanya flora dan fauna yang hilang, tapi juga menyebabkan rentetan bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Laut dan udara pun seolah ikut bersimpati atas kondisi daratan yang memprihatinkan. Tidak mengherankan jika bencana secara bertubi-tubi menerpa, datang silih berganti, saling bersahutan satu sama lain. Seolah-olah datangnya bencana di negeri ini sudah direncanakan oleh kita sendiri.
Itu bukanlah takdir. Tapi akibat tangan-tangan kita yang begitu sewenang-wenang menjamah alam. Kitalah yang memicu bencana alam itu terjadi. Kita tidak lagi memandang alam sebagai mitra hidup di bumi. Kita telah menjadikan alam sebagai alat untuk mencapai tujuan konsumtif. Kita telah menelantarkan alam demi kesombongan kita. Kita telah menindas alam karena kemampuan dan kekuasaan yang kita miliki. Alhasil, hubungan manusia dengan alam semakin tidak harmonis, sehingga terjadi perusakan dan penindasan terhadap alam yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Inilah yang diperingatkan oleh Allah, "Sesungguhnya manusia berlaku sewenang-wenang, tatkala merasa dirinya mampu" (QS Al-'Alaq: 6-7).
Di sinilah pentingnya pemahaman kritis kita--sebagai manusia yang dikaruniai kelebihan akal dan pikiran dalam menyikapi bencana, betapa bencana bukanlah takdir azali, melainkan lebih merupakan hukum kausalitas atau hukum sebab-akibat.

Kesadaran teleologis
Allah menciptakan segala sesuatu dalam keseimbangan dan keserasian. Semuanya serba terkait. Jika terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, akan terganggu pula makhluk lainnya. Karena itu, keseimbangan dan keserasian tersebut harus dipelihara agar tidak terjadi kerusakan. Menjadi tugas manusia sebagai khalifah di bumi ini untuk memelihara dan menjaga keseimbangan dan keserasian tersebut (QS Al-Baqarah: 30). Dalam hal ini, hubungan manusia dengan alam bukanlah hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan, antara tuan dan hamba, ataupun antara subyek dan obyek, melainkan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah. Manusia tidak bisa hidup tanpa alam dan sebaliknya, alam sangat membutuhkan manusia.
Bahkan Islam mengajarkan kepada manusia agar menumbuhkan rasa cinta dan hormat terhadap alam sekitar, baik makhluk hidup maupun benda mati, layaknya manusia (QS Al-An'am: 38). Begitu juga seluruh alam berupa benda mati harus dilihat sebagai makhluk Tuhan yang sebenarnya dalam keadaan bersujud kepada Allah (QS Al-Hajj: 18, Al-Isra': 44). Nabi Muhammad sendiri telah mengajarkan kepada kita rasa sayang dan cinta terhadap semua makhluk lewat sebuah ungkapan yang sangat indah, saat kembali dari Perang Tabuk menuju Madinah. Seraya menunjuk Gunung Uhud, beliau berkata, "Ini adalah Thabah dan ini adalah Uhud, gunung yang mencintai kita dan kita mencintainya," (Muttafaq alaih). Hadis tersebut menunjukkan sketsa hubungan yang mencerminkan ketulusan yang mendalam tentang kasih dan cinta terhadap lingkungan (alam).
Karena itulah konsep kekhalifahan dalam Islam menuntut adanya interaksi yang harmonis antara manusia dan sesamanya, sekaligus dengan alam semesta. Islam tidak mengajarkan kepada manusia agar menjadikan alam sebagai alat mencapai tujuan konsumtif, tapi menjadikan alam sebagai mitra hidup yang bisa meningkatkan kualitas pengabdian kita kepada Allah. Semakin baik hubungan atau interaksi manusia dengan alam, akan semakin banyak manfaat yang bisa diperoleh manusia dari alam itu. Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antara manusia dan alam serta keharmonisan hubungan inilah yang menjadi tujuan etika agama. Dalam artian, setiap perusakan terhadap lingkungan (alam) harus dinilai sebagai perusakan terhadap diri manusia itu sendiri.
Inilah yang dimaksud dengan kesadaran teleologis, suatu kesadaran yang memiliki jangkauan masa depan dan berjangka panjang. Ibarat kalimat, alam bukanlah warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu kita yang harus dipelihara dan dijaga. Kesadaran ini bisa muncul tatkala manusia mampu memahami secara makrokosmik eksistensi alam dan kehidupan, tidak hanya saat ini atau masa mendatang, tapi juga masa setelah kehidupan ini.
Akhirnya, bencana telah menjadi pelajaran sekaligus guru bagi kita. Selain tunduk dan berserah diri kepada Allah, mesti ada upaya-upaya konkret yang dilaksanakan secara faktual dalam memahami dan menyikapi bencana saat ini. Kita mesti berbagi peran dalam memelihara dan menjaga lingkungan alam. Pemerintah sebagai pelaksana dan pembuat kebijakan diharapkan bisa mengakomodasi persoalan dan melegitimasi hak-hak rakyat. Adapun masyarakat, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat diharapkan memainkan peran yang tidak bisa ditangani oleh pemerintah.

No comments: