MEDIA INDONESIA, 23 Oktober 2006
Idul
Fitri dan Pesan Perdamaian
Oleh Khaeron Sirin
Setelah
sebulan berpuasa, umat Islam di seluruh dunia menantikan datangnya Idul Fitri,
saat di mana manusia dikembalikan pada fitrahnya, yaitu kesucian jiwa. Idul
Fitri adalah saat titik tolak ataupun saat yang sangat
menentukan bagi perjalanan hidup seseorang untuk meraih kemuliaan dan kejayaan
di masa mendatang. Idul Fitri misalnya, adalah saat di mana seorang hamba telah
mencapai tingkat kesadaran dan kesucian yang tinggi di hadapan Allah SWT. Fitrah ini hanya bisa
dicapai ketika manusia mampu mengatasi segala godaan dan nafsu duniawi dan
lepas dari ikatan raga, menuju hakikat kemanusiaannya.
Bagi bangsa Indonesia, hal tersebut adalah momen yang
tepat untuk merenungi berbagai peristiwa ataupun persoalan sosial yang menimpa
bangsa kita setahun ke belakang. Khususnya, bagaimana mengajak masyarakat pada
sikap beragama yang benar-benar diilhami nilai-nilai religius yang akan
membimbing umat beragama pada perdamaian dan kerukunan dalam hidup, agar
keberadaan kita sebagai manusia tidak menjadi basis kerusakan di muka bumi.
Dalam konteks ini, Idul Fitri bisa dimaknai sebagai upaya
mengembalikan umat manusia pada tingkat kesejatian hidup beragama,
bermasyarakat dan berbangsa yang pluralis. Yaitu suatu umat yang tidak sekadar
memikirkan kepentingan sendiri (ritualitas), tapi juga memikirkan persoalan
kemasyarakatan. Inilah makna yang mesti kita capai dari esensi dan fitrah
kemanusiaan yang sesungguhnya, yaitu persaudaraan dan kesucian di hadapan Tuhan.
Secara teoretis, beragama adalah proses memahami,
meyakini dan mempraktekkan doktrin-doktrin tekstual-agama dalam kehidupan
seharti-hari. Tapi, seringkali keyakinan akan kebenaran agama ini telah membuat
seseorang menjadi fanatik dan menjadi pengiman single-minded (Nurcholish
Madjid, 1995). Ini adalah sebuah ironi besar dalam sejarah hidup beragama, yang
disebabkan oleh perbedaan cara beragama dan kesalahan dalam memahami teks-teks
ajaran dalam prakteknya. Atau, meminjam istilah Amin Abdullah, disebabkan tidak
seimbangnya aspek normativitas dan
historisitas agama.
Bahkan, maraknya konflik sosial akhir-akhir ini, semisal
di Poso, tidak sekadar bermuatan politis, historis, ekonomis, sosiologis
ataupun kesukuan, tapi warna keagamaan tidak bisa diabaikan dalam melegitimasi
semangat munculnya konflik sosial di Indonesia. Konflik ini menjadi mudah tersulut ketika basis-basis
nilai sosial, kultural, ideologis, historis, etnik dan politik memberikan
pijakan legitimatif dan motivatif. Dengan kata lain, meminjam istilah Arief
Budiman (1993), fanatisme menjadi kuat ketika agama sudah dilembagakan dan
menjadi kekuatan institusional.
Karena itulah, dalam suasana Idul Fitri, perlu perenungan
dan rekonstruksi pemahaman konsep alternatif tentang perdamaian beragama ini secara
lebih proporsional dan kontekstual.
Pertama, mengembangkan sisi
teologis yang memiliki titik kesamaan. Dalam hal ini, perlu dilakukan upaya
menemukan common platform ataupun ‘kalimatun sawa’ (titik temu) untuk
mengembangkan konsep teologi persamaan, yang mengantarkan manusia pada titik
sentral keuniversalannya, Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang oleh Erich Fromm
(1950) disebut sebagai teologi inklusifistik, yaitu teologi yang membawa umat
beragama ke visi yang memperjuangkan kebenaran dan cinta sesamanya. Ini adalah
potensi besar untuk dapat hidup damai dalam suasana pluralitas agama.
Dari sinilah, pluralitas agama akan menumbuhkan
keindahan, kesemarakan, keserasian dan semangat untuk saling berkompetisi
memecahkan persoalan kemanusiaan dan kehidupan. Kini, sudah saatnya agama
mengurusi dan mendialogkan persoalan keadilan, kemiskinan, pendidikan,
demokrasi, ekonomi kerakyatan, dan lain sebagainya.
Untuk itu, diperlukan sikap ketulusan dalam menjalankan
agama, yaitu keikhlasan dan kejujuran untuk mengakui, menghormati dan
mensyukuri pluralitas agama. Selanjutnya, dijadikan acuan untuk saling bekerja
sama menegakkan hak asasi manusia, keadilan dan kerukunan dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
Kedua, upaya memahami agama lain. Memahami
agama orang lain bukan berarti upaya pengaburan keyakinan kita terhadap
kebenaran agama sendiri. Tapi, hal ini dalam rangka menumbuhkan sikap toleransi
dalam keragaman agama. Sebab, fanatisme agama ataupun sempitnya wawasan
keagamaan tidak jarang memicu klaim kebenaran sendiri dan saling menyalahkan
satu sama lain. Karenanya, upaya memahami agama orang lain hanya bisa dicapai
lewat sikap keterbukaan dan pengakuan bahwa agama lain juga memiliki tujuan
yang luhur, yaitu menuju kebahagiaan Tuhan.
Upaya tersebut akan lebih efektif jika diikuti pemahaman
bahwa kebenaran hakiki (absolut) ada pada Tuhan, dan dengan keterbatasannya,
kebenaran manusia tidak lepas dari kenisbiannya. Dari sinilah, manusia akan
akan menyadari dan menghargai adanya perbedaan.
Ketiga, upaya mengembangkan
pesan-pesan agama ke dalam perspektif etika dan tanggung jawab sosial. Selama
ini, agama sering dimaknai sebagai ajaran yang menuntut kepatuhan ataupun
kesalihan individu dalam hubungannya dengan Tuhan. Di sisi lain, perhatian
agama pada upaya mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang adil dan harmonis
kerap dilecehkan. Padahal, ibarat dua sisi mata uang, antara keslehan inidividu
dan kesalehan sosial jelas tidak bisa dipisahkan dalam mengamalkan
doktrin-doktrin agama.
Karena itulah, kita dituntut lebih kritis memahami ajaran
agama pada tataran nilai-nilai religiusitas yang menekankan pentingnya
sisi-sisi tanggung jawab sosial. Yaitu, kesalehan sosial yang tidak saja
terbatas pada lingkungan umat Islam sendiri, tapi juga bagi keuntungan sosial
manusia secara umum.
Selain ketiga hal di atas, masih terdapat jalan lain
untuk menyemarakkan pluralitas dan kerja sama antar-agama, yaitu membangun
kesadaran akan pluralitas sebagai wacana publik yang menjadi kultur nasional.
Sehingga, yang mendesak adalah bagaimana negara menjamin hak dan kewajiban
pemeluk agama dalam pengertian melindungi, menghormati dan menjaga, bukan
mengintervensi.
Dalam suasana yang fitri ini, kita sebagai bangsa
Indonesia hendaknya bisa berbesar hati dengan realitas kehidupan kerukunan
beragama. Sebab, meskipun jalan yang kita tempuh untuk mencapai kebenaran
berbeda, tapi tujuan kita tetaplah kebenaran itu sendiri. Maka, sikap keberagamaan yang inklusif dan mengakui
pluralitas menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera kita wujudkan. Hal ini penting
sebagai salah satu alternatif solusi
meminimalisasi potensi-potensi atau anasir-anasir yang memicu terjadinya
konflik sosial di masyarakat. Min al-‘Aidin wa al-Faizin.
No comments:
Post a Comment