Monday, December 25, 2017

Idul Fitri dan Pesan Perdamaian



MEDIA INDONESIA, 23 Oktober 2006
Idul Fitri dan Pesan Perdamaian
Oleh Khaeron Sirin


Setelah sebulan berpuasa, umat Islam di seluruh dunia menantikan datangnya Idul Fitri, saat di mana manusia dikembalikan pada fitrahnya, yaitu kesucian jiwa. Idul Fitri adalah saat titik tolak ataupun saat yang sangat menentukan bagi perjalanan hidup seseorang untuk meraih kemuliaan dan kejayaan di masa mendatang. Idul Fitri misalnya, adalah saat di mana seorang hamba telah mencapai tingkat kesadaran dan kesucian yang tinggi di hadapan Allah SWT. Fitrah ini hanya bisa dicapai ketika manusia mampu mengatasi segala godaan dan nafsu duniawi dan lepas dari ikatan raga, menuju hakikat kemanusiaannya.
Bagi bangsa Indonesia, hal tersebut adalah momen yang tepat untuk merenungi berbagai peristiwa ataupun persoalan sosial yang menimpa bangsa kita setahun ke belakang. Khususnya, bagaimana mengajak masyarakat pada sikap beragama yang benar-benar diilhami nilai-nilai religius yang akan membimbing umat beragama pada perdamaian dan kerukunan dalam hidup, agar keberadaan kita sebagai manusia tidak menjadi basis kerusakan di muka bumi.
Dalam konteks ini, Idul Fitri bisa dimaknai sebagai upaya mengembalikan umat manusia pada tingkat kesejatian hidup beragama, bermasyarakat dan berbangsa yang pluralis. Yaitu suatu umat yang tidak sekadar memikirkan kepentingan sendiri (ritualitas), tapi juga memikirkan persoalan kemasyarakatan. Inilah makna yang mesti kita capai dari esensi dan fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya, yaitu persaudaraan dan kesucian di hadapan Tuhan.
Secara teoretis, beragama adalah proses memahami, meyakini dan mempraktekkan doktrin-doktrin tekstual-agama dalam kehidupan seharti-hari. Tapi, seringkali keyakinan akan kebenaran agama ini telah membuat seseorang menjadi fanatik dan menjadi pengiman single-minded (Nurcholish Madjid, 1995). Ini adalah sebuah ironi besar dalam sejarah hidup beragama, yang disebabkan oleh perbedaan cara beragama dan kesalahan dalam memahami teks-teks ajaran dalam prakteknya. Atau, meminjam istilah Amin Abdullah, disebabkan tidak seimbangnya  aspek normativitas dan historisitas agama.
Bahkan, maraknya konflik sosial akhir-akhir ini, semisal di Poso, tidak sekadar bermuatan politis, historis, ekonomis, sosiologis ataupun kesukuan, tapi warna keagamaan tidak bisa diabaikan dalam melegitimasi semangat munculnya konflik sosial di Indonesia. Konflik ini  menjadi mudah tersulut ketika basis-basis nilai sosial, kultural, ideologis, historis, etnik dan politik memberikan pijakan legitimatif dan motivatif. Dengan kata lain, meminjam istilah Arief Budiman (1993), fanatisme menjadi kuat ketika agama sudah dilembagakan dan menjadi kekuatan institusional.
Karena itulah, dalam suasana Idul Fitri, perlu perenungan dan rekonstruksi pemahaman konsep alternatif tentang perdamaian beragama ini secara lebih proporsional dan kontekstual.
Pertama, mengembangkan sisi teologis yang memiliki titik kesamaan. Dalam hal ini, perlu dilakukan upaya menemukan common platform ataupun ‘kalimatun sawa’ (titik temu) untuk mengembangkan konsep teologi persamaan, yang mengantarkan manusia pada titik sentral keuniversalannya, Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang oleh Erich Fromm (1950) disebut sebagai teologi inklusifistik, yaitu teologi yang membawa umat beragama ke visi yang memperjuangkan kebenaran dan cinta sesamanya. Ini adalah potensi besar untuk dapat hidup damai dalam suasana pluralitas agama.
Dari sinilah, pluralitas agama akan menumbuhkan keindahan, kesemarakan, keserasian dan semangat untuk saling berkompetisi memecahkan persoalan kemanusiaan dan kehidupan. Kini, sudah saatnya agama mengurusi dan mendialogkan persoalan keadilan, kemiskinan, pendidikan, demokrasi, ekonomi kerakyatan, dan lain sebagainya.
Untuk itu, diperlukan sikap ketulusan dalam menjalankan agama, yaitu keikhlasan dan kejujuran untuk mengakui, menghormati dan mensyukuri pluralitas agama. Selanjutnya, dijadikan acuan untuk saling bekerja sama menegakkan hak asasi manusia, keadilan dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Kedua, upaya memahami agama lain. Memahami agama orang lain bukan berarti upaya pengaburan keyakinan kita terhadap kebenaran agama sendiri. Tapi, hal ini dalam rangka menumbuhkan sikap toleransi dalam keragaman agama. Sebab, fanatisme agama ataupun sempitnya wawasan keagamaan tidak jarang memicu klaim kebenaran sendiri dan saling menyalahkan satu sama lain. Karenanya, upaya memahami agama orang lain hanya bisa dicapai lewat sikap keterbukaan dan pengakuan bahwa agama lain juga memiliki tujuan yang luhur, yaitu menuju kebahagiaan Tuhan.
Upaya tersebut akan lebih efektif jika diikuti pemahaman bahwa kebenaran hakiki (absolut) ada pada Tuhan, dan dengan keterbatasannya, kebenaran manusia tidak lepas dari kenisbiannya. Dari sinilah, manusia akan akan menyadari dan menghargai adanya perbedaan.
Ketiga, upaya mengembangkan pesan-pesan agama ke dalam perspektif etika dan tanggung jawab sosial. Selama ini, agama sering dimaknai sebagai ajaran yang menuntut kepatuhan ataupun kesalihan individu dalam hubungannya dengan Tuhan. Di sisi lain, perhatian agama pada upaya mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang adil dan harmonis kerap dilecehkan. Padahal, ibarat dua sisi mata uang, antara keslehan inidividu dan kesalehan sosial jelas tidak bisa dipisahkan dalam mengamalkan doktrin-doktrin agama.
Karena itulah, kita dituntut lebih kritis memahami ajaran agama pada tataran nilai-nilai religiusitas yang menekankan pentingnya sisi-sisi tanggung jawab sosial. Yaitu, kesalehan sosial yang tidak saja terbatas pada lingkungan umat Islam sendiri, tapi juga bagi keuntungan sosial manusia secara umum.
Selain ketiga hal di atas, masih terdapat jalan lain untuk menyemarakkan pluralitas dan kerja sama antar-agama, yaitu membangun kesadaran akan pluralitas sebagai wacana publik yang menjadi kultur nasional. Sehingga, yang mendesak adalah bagaimana negara menjamin hak dan kewajiban pemeluk agama dalam pengertian melindungi, menghormati dan menjaga, bukan mengintervensi.
Dalam suasana yang fitri ini, kita sebagai bangsa Indonesia hendaknya bisa berbesar hati dengan realitas kehidupan kerukunan beragama. Sebab, meskipun jalan yang kita tempuh untuk mencapai kebenaran berbeda, tapi tujuan kita tetaplah kebenaran itu sendiri. Maka, sikap keberagamaan yang inklusif dan mengakui pluralitas menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera kita wujudkan. Hal ini penting sebagai salah satu alternatif solusi  meminimalisasi potensi-potensi atau anasir-anasir yang memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat. Min al-‘Aidin wa al-Faizin.

No comments: