Monday, November 20, 2017

Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia



REPUBLIKA, 29 Agustus 2006
Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia
Oleh Khaeron Sirin

 Konon, Indonesia adalah salah satu negara yang dalam sejarahnya tidak pernah tepat waktu dalam mengeksekusi para terpidana hukuman mati. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu menunda-menunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya. Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut.
Lihat saja dua kasus besar saat ini, setelah pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan grasi ke presiden ditolak, eksekusi terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, masih terus ditunda. Padahal, eksekusi hukuman mati terhadap Tibo cs rencananya dilakukan pada Maret 2006, lalu diundur 12 Agustus 2006. Batal lagi dan akan diputuskan tiga hari setelah HUT RI. Namun, Setelah tiga hari berlalu, pemerintah justru belum memberikan kepastian.
Kejaksaan Negeri Denpasar Bali juga menunda eksekusi mati kasus Bom Bali I, yaitu Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron, yang telah dijadwalkan 22 Agustus lalu. Penundaan dilakukan untuk memberikan kesempatan proses peninjauan kembali (PK) yang tengah diajukan pengacara terpidana.
Dengan mengambangnya putusan eksekusi tersebut, tidak menutup kemungkinan kasus yang sama akan terjadi pada kasus-kasus besar lain, semisal korupsi dan narkoba. Ini jelas berdampak negatif bagi upaya penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Lebih dari itu, penundaan eksekusi dikhawatirkan menjadi pintu masuk bagi upaya kelompok-kelompok tertentu untuk menghapus hukuman mati di Indonesia, seperti yang saat ini tengah digalakkan demi membebaskan Tibo cs.

Mengapa hukuman mati?
Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana kita adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli hukum dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan, bahkan ada gerakan abolisionis yang menentang hukuman mati.
Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya.
Setidaknya, ada beberapa implikasi yang menyebabkan banyak para pakar hukum dan HAM, termasuk di Indonesia, menolak hukuman mati. Pertama, dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum rimba. Kedua, tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah seseorang untuk melakukan pembunuhan.
Ketiga, eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa diubah jika di kemudian hari ternyata tidak memiliki dasar yang kuat. Keempat, berlawanan dengan kebebasan orang (pribadi), karena hidup manusia adalah milik pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain.
Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati dihapuskan, hukuman-hukuman lain pun harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa juga mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih hukuman mati ketimbang menderita seumur hidup di dalam penjara.
Tujuan hukuman, sebagaimana kecenderungan pemikiran hukum positif akhir-akhir ini, lebih berorientasi untuk mendidik dan memperbaiki si terhukum. Tetapi, bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, menunjukkan ia tidak lagi mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya. Apalagi, orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana orang yang membunuhnya.
Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati. Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan nyawanya pula dari kehidupan masyarakat (dunia).
Di sisi lain, kekeliruan putusan hakim pada dasarnya berlaku juga bagi hukuman-hukuman lain. Misalnya, apakah seseorang yang dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara, kemudian setelah menjalani hukuman tersebut ternyata ditemukan bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan pada putusan hakim, maka putusan itu dapat diubah?
Yang jelas, jika ketelitian dan keadilan dapat dijalankan, maka adanya kesalahan dalam menetapkan putusan hukuman mati kemungkinannya akan sangat kecil. Tentunya, pelaksanaan hukuman mati setelah melalui proses pemeriksaan dan pembuktian yang sangat ketat dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat memberikan keyakinan kepada hakim.
Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang lain. Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum, maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.
Di sinilah, sistem hukum kita hendaknya tidak meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, hukum kita ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.

Eksekusi Tibo Cs
Tertundanya eksekusi mati semisal kasus Tibo cs mengisyaratkan, bangsa Indonesia belum bisa menghargai supremasi hukum dan lebih mengedepankan persoalan politik. Besarnya intervensi asing dan politik telah menyebabkan supremasi hukuman mati di Indonesia terasa gamang. Penundaan itu juga menunjukkan, Indonesia adalah negara yang lemah dan tidak mandiri di mata internasional.
Sejatinya, eksekusi mati terhadap pidana mati merupakan keputusan yang telah diambil melalui mekanisme peradilan dan harus dilaksanakan demi tegaknya hukum di Indonesia. Hanya saja, telah menjadi kelaziman berbagai negara bahwa pelaksanaan eksekusi tergantung kepada eksekutif. Maka, pemerintah atas nama negara, hendaknya dapat melakukan eksekusi terhadap terpidana mati seperti Tibo cs. Selain itu, pemerintah sebaiknya tidak perlu mengumumkan jadwal eksekusi, untuk menekan timbulnya kontroversi di tengah masyarakat.
Pemerintah hendaknya tidak mengabaikan tuntutan rasa keadilan yang terus disuarakan oleh ribuan korban kerusuhan Poso yang mayoritas kaum Muslim. Demi menjunjung tinggi rasa keadilan dan supremasi hukum, pemerintah atas nama negara yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa harus segera melaksanakan eksekusi.

No comments: