KORAN
TEMPO, 21 April 2004
Makna Baru Hari Kartini
Oleh Khaeron Sirin
Kesadaran baru untuk memaknai
peringatan Hari Kartini pada setiap 21 April semakin terbuka. Tuntutan
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki semakin mengikis pemaknaan Hari
Kartini yang sebelumnya sering dimanifestasikan secara sempit.
Kini, Hari Kartini sudah tidak
lagi diperingati dengan sekadar mengenakan pakaian-pakaian tradisional atau
menggelar lomba-lomba yang sekadar ingin memperkuat eksistensi peran kaum ibu
di dapur, di sumur, ataupun di kasur.
Dengan kata lain, upaya
memberi makna baru Hari Kartini sekarang semakin kentara. Berbagai wacana dan
gerakan untuk menggugah peran nyata kaum perempuan di segala bidang mulai
tampak. Isu sentral tentang kuota 30 persen bagi kaum perempuan di lembaga
legislatif menjadi contoh wacana yang sekarang hangat diperbincangkan.
Meski begitu, upaya memberi
makna baru Hari Kartini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa perempuan
Indonesia tidaklah satu. Bukan saja sukunya yang berbeda-beda, tapi kelas
sosial dan pengalaman hidupnya juga berbeda. Karenanya, dalam masyarakat atau
budaya yang pluralistik, perkembangan suatu persoalan senantiasa berkaitan
dengan pemahaman yang sangat luas, seiring heterogenitas pemikiran di
masyarakat.
Penghargaan terhadap
perbedaan-perbedaan itulah yang seyogianya mendasari gerakan perempuan
Indonesia ke depan. Sebab, sejarah pergerakan perempuan Indonesia menunjukkan
beragamnya peran mereka dalam memperbaiki nasib perempuan. Untuk itu, perlu ada
peranti yang mampu mencerahkan gerak langkah kaum perempuan itu sendiri dalam
konteks kekinian.
Selama ini, kaum perempuan
sering dihadapkan pada ketidakpastian peran dalam keluarga dan masyarakat.
Gerakan emansipasi, feminisme, ataupun kesetaraan gender yang sedang melanda
bangsa ini telah menciptakan ikatan-ikatan baru bagi kaum perempuan Indonesia.
Mereka dipaksa untuk melaksanakan lebih dari bagian mereka dalam beban
kemasyarakatan. Kehadiran perempuan di pasaran kerja, pabrik-pabrik, dan
perlombaan mereka mengejar karier, sedikit banyak, telah mengacaukan peran
(role confusion) perempuan itu sendiri.
Dengan kata lain, kaum
perempuan senantiasa tertekan untuk menggabungkan peran sebagai ibu rumah
tangga dengan perannya dalam sebuah pekerjaan atau karier. Dalam sejumlah
kasus, mereka sering mengalami kegagalan untuk mencapai keberhasilan pada
keduanya. Hal ini jelas akan berimbas pada kinerja dan peran laki-laki dalam
keluarga dan masyarakat. Sehingga, pencampuran tanggung jawab semacam ini, baik
laki-laki maupun perempuan, sedikit banyak akan mengakibatkan frustrasi dan
tragedi. Inilah yang menyebabkan terurainya tali yang mengikat keluarga dan
runtuhnya sendi-sendi dalam rumah tangga. Dalam kondisi seperti ini,
perempuanlah yang pada akhirnya harus membayar mahal, baik dengan tenaga atau
kehormatan, baik secara psikologis atau material.
Karenanya, citra perempuan
harus segera dibenahi kembali, dengan merenungkan kembali apa yang telah,
sedang, dan akan terjadi. Perempuan harus kembali kepada fitrah dan mengkaji
ulang perbedaan-perbedaan alamiahnya, yang tidak mungkin bisa diubah oleh manusia.
Selain itu, kaum perempuan harus memahami pula bahwa perbedaan-perbedaan itu
tidak bisa dipaksakan kepada jenis yang berbeda untuk mengemban tugas atau
pekerjaan yang tidak sesuai dengan sifat-sifat alamiahnya. Bisa saja pemaksaan
itu berlangsung, tetapi akan berdampak pada beban mental yang tidak bisa
ditanggung oleh masyarakat, khususnya perempuan itu sendiri.
Kita akui, tabiat kemanusiaan
perempuan dan laki-laki adalah sama. Tuhan telah menganugerahkan kepada
perempuan sebagaimana kepada laki-laki, yaitu suatu potensi dan kemampuan yang
cukup untuk memikul tanggung jawab dalam kehidupan ini (Q.S. Al-Ahzab: 35).
Tapi, potensi dan kemampuan tersebut tetap berada pada garis perbedaan yang
telah ditetapkan oleh hukum alam, agar keseimbangan, sikap ketergantungan dan
saling mengisi antara laki-laki dan perempuan tetap terjaga dan aman bagi kedua
belah pihak. Inilah yang disebut sunnatullah (hukum alam) yang tidak akan
berubah selamanya.
Maka, perjuangan perempuan
hendaknya diarahkan untuk mengemban misi kemanusiaan secara proporsional dalam
masyarakat sekaligus meluruskan persepsi kaum laki-laki yang menempatkan kaum
perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan.
Salah satunya, dengan
meredefinisi peran struktural (structural role redefinition), yaitu mencakup
kegiatan-kegiatan mendefiniskan kembali peran-peran dari diri dan orang-orang
yang terlibat, agar lebih sesuai dengan kondisi yang ada. Sebab, kebanyakan
peran perempuan dalam rumah tangga, selama ini, bersifat rangkap tiga: sebagai
ibu dengan tugas reproduktif (melahirkan), peran produksi (mencari nafkah
keluarga), dan peran sebagai anggota masyarakat.
Dengan kata lain, mengutip
pendapat Lamya' al-Faruqi (1996), diperlukan penataan sistem yang mengarah pada
pembentukan keluarga besar (extended family) dalam upaya meletakkan struktur
dasar menuju sistem kemasyarakatan yang ingin dibangunnya. Dalam sistem
keluarga besar ini, meski kaum perempuan dibebani urusan-urusan domestik, tetap
memiliki hak untuk mengembangkan karier di luar rumah. Selain itu, sistem ini
ditandai dengan pola hubungan yang tingkat heterogenitas anggotanya cukup
tinggi, yang memungkinkan adanya dukungan fisik, intelektual, dan emosional
dari masing-masing anggota.
Dari sinilah, peran perempuan
menjadi sangat strategis dalam konteks budaya bangsa. Sebagai ibu bagi
anak-anak bangsa, peran perempuan jelas sangat bermakna dalam menentukan nasib
bangsa. Ibulah yang berperan besar mempersiapkan masa depan masyarakat dan
bangsanya sebagai pilar bangsa dan agama. Ki Hajar Dewantara pernah berkata,
"Inilah keadaan nyata yang hak... tubuh perempuan berbeda dengan tubuh
seorang laki-laki. Perbedaan itu berkaitan dengan kodrat perempuan, yaitu
menjadi ibu, mengandung anak, melahirkan anak dan sebagainya."
No comments:
Post a Comment