Wednesday, November 8, 2017

Makna Baru Hari Kartini



KORAN TEMPO, 21 April 2004
Makna Baru Hari Kartini
 Oleh Khaeron Sirin

Kesadaran baru untuk memaknai peringatan Hari Kartini pada setiap 21 April semakin terbuka. Tuntutan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki semakin mengikis pemaknaan Hari Kartini yang sebelumnya sering dimanifestasikan secara sempit.
Kini, Hari Kartini sudah tidak lagi diperingati dengan sekadar mengenakan pakaian-pakaian tradisional atau menggelar lomba-lomba yang sekadar ingin memperkuat eksistensi peran kaum ibu di dapur, di sumur, ataupun di kasur.
Dengan kata lain, upaya memberi makna baru Hari Kartini sekarang semakin kentara. Berbagai wacana dan gerakan untuk menggugah peran nyata kaum perempuan di segala bidang mulai tampak. Isu sentral tentang kuota 30 persen bagi kaum perempuan di lembaga legislatif menjadi contoh wacana yang sekarang hangat diperbincangkan.
Meski begitu, upaya memberi makna baru Hari Kartini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa perempuan Indonesia tidaklah satu. Bukan saja sukunya yang berbeda-beda, tapi kelas sosial dan pengalaman hidupnya juga berbeda. Karenanya, dalam masyarakat atau budaya yang pluralistik, perkembangan suatu persoalan senantiasa berkaitan dengan pemahaman yang sangat luas, seiring heterogenitas pemikiran di masyarakat.
Penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan itulah yang seyogianya mendasari gerakan perempuan Indonesia ke depan. Sebab, sejarah pergerakan perempuan Indonesia menunjukkan beragamnya peran mereka dalam memperbaiki nasib perempuan. Untuk itu, perlu ada peranti yang mampu mencerahkan gerak langkah kaum perempuan itu sendiri dalam konteks kekinian.
Selama ini, kaum perempuan sering dihadapkan pada ketidakpastian peran dalam keluarga dan masyarakat. Gerakan emansipasi, feminisme, ataupun kesetaraan gender yang sedang melanda bangsa ini telah menciptakan ikatan-ikatan baru bagi kaum perempuan Indonesia. Mereka dipaksa untuk melaksanakan lebih dari bagian mereka dalam beban kemasyarakatan. Kehadiran perempuan di pasaran kerja, pabrik-pabrik, dan perlombaan mereka mengejar karier, sedikit banyak, telah mengacaukan peran (role confusion) perempuan itu sendiri.
Dengan kata lain, kaum perempuan senantiasa tertekan untuk menggabungkan peran sebagai ibu rumah tangga dengan perannya dalam sebuah pekerjaan atau karier. Dalam sejumlah kasus, mereka sering mengalami kegagalan untuk mencapai keberhasilan pada keduanya. Hal ini jelas akan berimbas pada kinerja dan peran laki-laki dalam keluarga dan masyarakat. Sehingga, pencampuran tanggung jawab semacam ini, baik laki-laki maupun perempuan, sedikit banyak akan mengakibatkan frustrasi dan tragedi. Inilah yang menyebabkan terurainya tali yang mengikat keluarga dan runtuhnya sendi-sendi dalam rumah tangga. Dalam kondisi seperti ini, perempuanlah yang pada akhirnya harus membayar mahal, baik dengan tenaga atau kehormatan, baik secara psikologis atau material.
Karenanya, citra perempuan harus segera dibenahi kembali, dengan merenungkan kembali apa yang telah, sedang, dan akan terjadi. Perempuan harus kembali kepada fitrah dan mengkaji ulang perbedaan-perbedaan alamiahnya, yang tidak mungkin bisa diubah oleh manusia. Selain itu, kaum perempuan harus memahami pula bahwa perbedaan-perbedaan itu tidak bisa dipaksakan kepada jenis yang berbeda untuk mengemban tugas atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan sifat-sifat alamiahnya. Bisa saja pemaksaan itu berlangsung, tetapi akan berdampak pada beban mental yang tidak bisa ditanggung oleh masyarakat, khususnya perempuan itu sendiri.
Kita akui, tabiat kemanusiaan perempuan dan laki-laki adalah sama. Tuhan telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki, yaitu suatu potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dalam kehidupan ini (Q.S. Al-Ahzab: 35). Tapi, potensi dan kemampuan tersebut tetap berada pada garis perbedaan yang telah ditetapkan oleh hukum alam, agar keseimbangan, sikap ketergantungan dan saling mengisi antara laki-laki dan perempuan tetap terjaga dan aman bagi kedua belah pihak. Inilah yang disebut sunnatullah (hukum alam) yang tidak akan berubah selamanya.
Maka, perjuangan perempuan hendaknya diarahkan untuk mengemban misi kemanusiaan secara proporsional dalam masyarakat sekaligus meluruskan persepsi kaum laki-laki yang menempatkan kaum perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan.
Salah satunya, dengan meredefinisi peran struktural (structural role redefinition), yaitu mencakup kegiatan-kegiatan mendefiniskan kembali peran-peran dari diri dan orang-orang yang terlibat, agar lebih sesuai dengan kondisi yang ada. Sebab, kebanyakan peran perempuan dalam rumah tangga, selama ini, bersifat rangkap tiga: sebagai ibu dengan tugas reproduktif (melahirkan), peran produksi (mencari nafkah keluarga), dan peran sebagai anggota masyarakat.
Dengan kata lain, mengutip pendapat Lamya' al-Faruqi (1996), diperlukan penataan sistem yang mengarah pada pembentukan keluarga besar (extended family) dalam upaya meletakkan struktur dasar menuju sistem kemasyarakatan yang ingin dibangunnya. Dalam sistem keluarga besar ini, meski kaum perempuan dibebani urusan-urusan domestik, tetap memiliki hak untuk mengembangkan karier di luar rumah. Selain itu, sistem ini ditandai dengan pola hubungan yang tingkat heterogenitas anggotanya cukup tinggi, yang memungkinkan adanya dukungan fisik, intelektual, dan emosional dari masing-masing anggota.
Dari sinilah, peran perempuan menjadi sangat strategis dalam konteks budaya bangsa. Sebagai ibu bagi anak-anak bangsa, peran perempuan jelas sangat bermakna dalam menentukan nasib bangsa. Ibulah yang berperan besar mempersiapkan masa depan masyarakat dan bangsanya sebagai pilar bangsa dan agama. Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Inilah keadaan nyata yang hak... tubuh perempuan berbeda dengan tubuh seorang laki-laki. Perbedaan itu berkaitan dengan kodrat perempuan, yaitu menjadi ibu, mengandung anak, melahirkan anak dan sebagainya."

No comments: