REPUBLIKA, 28 Januari 2006
Menuju Komitmen Kebangsaan
Oleh Khaeron Sirin
Setelah 13 tahun Nabi SAW membangun
landasan tauhid sebagai dasar tatanan masyarakat di Mekkah, Allah SWT
memberinya petunjuk untuk hijrah ke Yatsrib. Sesampai di sana, oleh beliau,
Yatsrib diubah namanya menjadi Madinah (kota). Di Madinah itulah, Nabi SAW beserta kelompok-kelompok
masyarakat, secara konkret, meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan
merumuskan ketentuan hidup bersama, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam
Madinah). Upaya Nabi SAW tersebut, secara tidak langsung, adalah sebuah
pernyataan atau proklamasi untuk mendirikan dan membangun sebuah komunitas
negara-kota yang beradab (al-Madinah al-Munawarah), sebagai lawan
terhadap masyarakat jahiliyyah di Mekah. Dalam dokumen itu, umat manusia untuk
pertama kalinya, diperkenalkan wawasan kebebasan, keadilan, pluralisme dan
toleransi. Semua unsur masyarakat tanpa membedakan agama dan suku (SARA) ikut
terlibat merumuskan aturan kemasyarakatan
tersebut. Semuanya terhimpun dalam umat yang satu (ummah wahidah)
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama.
Peristiwa tersebut telah mengubah peta
baru dalam sejarah Islam dan menjadi tonggak awal menata komunitas masyarakat
yang maju dan beradab. Dari sinilah,
konstruksi masyarakat madani, yang dibangun oleh Nabi SAW sejak hijrah
ke Madinah, punya arti penting bagi perkembangan demokrasi, sebagai ciri khas
dari negara bangsa modern. Dengan kata lain, hijrah tidak hanya dimaknai
sebagai proses perpindahan individu atau kelompok dari satu tempat menuju
tempat lain. Ada wacana yang melingkupi saat-saat sebelum dan sesudah hijrah
Nabi SAW, yang oleh Umar ibn al-Khattab, kemudian ditetapkan sebagai awal tahun
baru Islam.
Menuju Komitmen Kebangsaan
Keberhasilan Nabi SAW untuk hijrah,
dari masyarakat jahili menuju masyarakat madani, tidak lepas dari ajaran tauhid
yang dibawanya. Dalam hal ini, doktrin tauhid la ilaha illa Allah (tiada
tuhan selain Allah), seperti diungkap John Obert Voll, adalah bentuk
manifestasi penolakan terhadap segala bentuk loyalitas kelompok dan
kesewenang-wenangan para elite Mekah saat itu. Prinsip inilah yang melandasi
pembentukan masyarakat madani generasi Muslim awal, yang punya implikasi
komitmen manusia kepada Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan hidup dan sumber
nilai.
Dengan semangat inilah, Nabi SAW
berhasil mempersatukan berbagai unsur masyarakat Madinah yang pluralistik ke
dalam satu kekuatan sosial politik, yang oleh Robert N. Bellah, disebut sebagai
lompatan yang luar biasa untuk masa itu. Hal ini tercermin dari komitmen, keterlibatan dan
partisipasi yang tinggi dari anggota masyarakat, serta penghargaannya terhadap
hak-hak individu.
Dari sini, agaknya sikap fanatisme
atau sentimen SARA yang berlebihan, yang kini dipertontonkan oleh masyarakat
kita, khususnya lapisan bawah (grass-root), kiranya menjadi perhatian
yang sangat serius. Karena sikap-sikap seperti ini tidak sekadar sebagai bentuk
persaingan yang akan menetaskan konflik vertikal, tapi bagi keberadaan
masyarakat kita sekarang, fanatisme tersebut bisa menjadi bumerang yang
merugikan semua pihak (horisontal). Apalagi, perjuangan politik yang berakar
pada identitas sektarian dan partikularistik, seperti agama, etnisitas, ras dan
kelas. Hal ini jelas bertentangan dengan pesan perubahan yang tersirat dalam
simbolisasi “hijrah”.
Memang, seperti diungkap Clifford
Geertz, masyarakat yang majemuk sangat rentan terhadap konflik. Dominasi dari
satu pihak terhadap pihak lain seringkali memunculkan konflik sosial yang cukup
tajam. Yang pada akhirnya, akan memicu rusaknya rasa kebangsaan dan penghargaan
terhadap pluralitas masyarakat. Dari sinilah, kemudian masyarakat Indonesia
sangat rentan terhadap disintegrasi sosial, di mana dalam hubungan ras
antaragama yang dominatif, unsur konflik dan perpecahan lebih kentara
ketimbang unsur konsensus dan integrasi.
Banyak peristiwa yang menggambarkan
kondisi kemajemukan masyarakat kita mulai rentan terhadap integritas bangsa,
seperti kekerasan politik, radikalisme massa dan pelanggaran HAM. Kondisi ini
diakibatkan belum tertatanya visi kebersamaan dalam memposisikan nilai
kemajemukan dalam sikap, tindakan, dan perilaku masyarakat dalam kehidupan
berbangsa. Oleh karena itu, dalam konteks semangat hijrah, perlu dicari titik
kesamaan, yang dalam al-Quran disebut kalimatun sawa (pandangan yang
sama), sebagai derivasi doktrin tauhid. Dalam hal ini, kesadaran akan
kemajemukan atau pluralisme tidak sekadar menuntut pengakuan eksistensi dan hak
masing-masing kelompok, tapi juga memahami perbedaan dan persamaan untuk
mencapai kerukunan dan kebhinnekaan. Karenanya, menjadi tanggung jawab kita
bersama membudayakan sikap keterbukaan dan menerima perbedaan, yang dibarengi loyalitas
dan komitmen bersama.
Untuk itulah, perlu dilakukan
pengelolaan kreatif untuk menumbuhkan “kesatuan emosional” dalam bingkai
kebangsaan. Dengam kata lain, tiap komponen bangsa dituntut memiliki kemampuan,
yang oleh Alexis de Tocqueville, di sebut dengan the art of living together
(seni hidup bersama). Lebih dari itu, juga apa yang oleh Erich Fromm di
sebut the art of loving (seni
mencinta) yang baik, sehingga interaksi antarkelompok bisa menumbuhkan rasa
kebersamaan antarkomponen bangsa. Pluralisme bersyarat inilah yang terekam
dalam Piagam Madinah masa Nabi SAW.
Dari sinilah, kita dituntut menggali
semangat esensial di balik “eksperimen“ hijrah Nabi SAW dan para sahabatnya
menuju masyarakat madani. Tentunya, dengan mentransformasikan semangat hijrah
tersebut ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan negara bangsa, dengan
pengkayaan (enrichment) dari pengalaman kesatuan umat (kemanusiaan
universal).
Tatanan Masyarakat Bangsa
Selain kembali kepada doktrin tauhid
(dasar universalitas), makna “hijrah” dalam konteks bangsa kita, juga berarti
hijrah (lepas) dari segala krisis nilai (sistem). Atau seperti yang diungkap
oleh Cak Nur, hijrah dari segala bentuk KKN dan bentuk-bentuk kezaliman, baik
vertikal ataupun horisontal menuju kesatuan bangsa. Dalam hal ini, hijrah
dimaknai sebagai upaya mencari strategi baru menuju kehidupan bangsa dalam
bingkai nasionalisme baru.
Sebab, persoalan bangsa kita ke depan
adalah bagaimana mengelola kemajemukan agar menjadi faktor eskalator
terbangunnya kebersamaan (common platform) bangsa menuju kesatuan
politik. Dari sini, proses nation building menjadi agenda penting yang
harus dibina dan ditumbuhkembangkan. Bung Karno, misalnya, membangun rasa
kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan “suatu
itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu
bangsa”. Bung Hatta, juga menekankan rasa kebangsaan pada keinsyafan persamaan
nasib dan tujuan, serta keinsyafan sama seperuntungan.
Atau
dengan kata lain, keberadaan suatu bangsa, mengacu pendapat Ernest Renan, hanya
mungkin terjadi jika ia memiliki suatu nyawa, suatu asas-akal, yang tumbuh
dalam jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani satu kesatuan riwayat, dan sekarang
memiliki keinginan hidup menjadi satu. Yaitu keinginan hidup yang tidak
didasarkan pada nasionalisme sempit atas kesatuan ras, bahasa, agama, persamaan
butuh, ataupun sekadar batas-batas negeri. Tetapi, lebih didasarkan pada
nasionalisme yang longgar, luhur, dan nasionalisme yang mengutamakan
persahabatan dengan semua kelompok (inklusif).
Dengan demikian, proses pemersatuan
bangsa dalam suatu negara, seperti diungkap Coleman dan Rosberg, mesti
didasarkan pada dua dimensi. Pertama,
integrasi vertikal (politik), bertujuan untuk menjembatani celah
perbedaan yang mungkin ada di antara elite dan massa dalam rangka pengembangan
suatu proses politik terpadu dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Kedua,
integrasi horisontal, yang bertujuan mengurangi diskontinuitas dan ketegangan
kultur kedaerahan menuju masyarakat politik yang homogen.
Karena itulah, untuk membangun masa
depan negeri ini dengan label reformasi yang menghargai dan mengakui
pluralitas, diperlukan penataan kembali
komitmen kebangsaan melalui pematangan budaya dan integrasi. Upaya ini, pada
dasarnya, berkaitan dengan penciptaan rasa kebersamaan, yang antara lain bisa
tercipta ketika sistem politik berfungsi, meminjam istilah David Apter, sebagai
“maximizer”, yang mampu mengalirkan kepuasan kepada masyarakat.
Upaya lain yang juga penting dilakukan
dalam tatanan nasionalisme baru adalah membangun “nilai bersama” pada
masyarakat Indonesia. Hal ini penting untuk memberi pengakuan yang sama atas
keberadaan dan hak-hak golongan, sehingga nilai dominasi suatu kelompok bisa
diminimalisasikan. Dalam konteks ini, pencarian “nilai bersama” perlu
didasarkan pada nilai-nilai, yang oleh Sartono Kartodiarjo, disebut sebagai
prinsip-prinsip integrasi bangsa. Pertama, prinsip equality,
untuk memberikan arahan bagi upaya pemecahan kesenjangan ekonomi (pusat-daerah;
kaya-miskin). Kedua, prinsip unity, untuk menghilangkan
diskriminasi dan kesenjangan antara yang maju dan terbelakang. Ketiga,
prinsip liberty, untuk meningkatkan transparansi dan demokratisasi. Keempat,
prinsip individuality, untuk meneguhkan identitas nasional tanpa harus
menghilangkan identitas lokal. Dan kelima, prinsip performance, untuk
membangun etos kerja bangsa.
Komitmen kebangsaan ataupun tumbuhnya civic
nationalism, yaitu loyalitas terhadap
seperangkat cita-cita politik dan kelembagaan yang adil dan efektif dalam bingkai suatu
negara bangsa, bukanlah sesuatu yang secara taken for granted tersedia. Karenanya, proses nation
building, sejatinya, harus berjalan terus dan tidak boleh terhenti. Dengan
demikian, membangun komitmen kebangsaan berarti kembali kepada cita-cita
masyarakat demokratis, yang pada gilirannya akan menciptakan bangunan dasar
negara bangsa yang modern. Dalam hal ini, pergantian tahun hijriah, bagi umat
Islam, hendaknya menegaskan kembali komitmen reformasi yang telah dicanangkan.
Inilah cita-cita kita dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara saat ini. Wallahu
A’lam.
No comments:
Post a Comment