Saturday, November 11, 2017

Menuju Komitmen Kebangsaan



REPUBLIKA, 28 Januari 2006

Menuju Komitmen Kebangsaan

Oleh Khaeron Sirin


 Setelah 13 tahun Nabi SAW membangun landasan tauhid sebagai dasar tatanan masyarakat di Mekkah, Allah SWT memberinya petunjuk untuk hijrah ke Yatsrib. Sesampai di sana, oleh beliau, Yatsrib diubah namanya menjadi Madinah (kota). Di Madinah itulah,  Nabi SAW beserta kelompok-kelompok masyarakat, secara konkret, meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan merumuskan ketentuan hidup bersama, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah). Upaya Nabi SAW tersebut, secara tidak langsung, adalah sebuah pernyataan atau proklamasi untuk mendirikan dan membangun sebuah komunitas negara-kota yang beradab (al-Madinah al-Munawarah), sebagai lawan terhadap masyarakat jahiliyyah di Mekah. Dalam dokumen itu, umat manusia untuk pertama kalinya, diperkenalkan wawasan kebebasan, keadilan, pluralisme dan toleransi. Semua unsur masyarakat tanpa membedakan agama dan suku (SARA) ikut terlibat merumuskan aturan kemasyarakatan  tersebut. Semuanya terhimpun dalam umat yang satu (ummah wahidah) dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama.
Peristiwa tersebut telah mengubah peta baru dalam sejarah Islam dan menjadi tonggak awal menata komunitas masyarakat yang maju dan beradab. Dari sinilah,  konstruksi masyarakat madani, yang dibangun oleh Nabi SAW sejak hijrah ke Madinah, punya arti penting bagi perkembangan demokrasi, sebagai ciri khas dari negara bangsa modern. Dengan kata lain, hijrah tidak hanya dimaknai sebagai proses perpindahan individu atau kelompok dari satu tempat menuju tempat lain. Ada wacana yang melingkupi saat-saat sebelum dan sesudah hijrah Nabi SAW, yang oleh Umar ibn al-Khattab, kemudian ditetapkan sebagai awal tahun baru Islam.

Menuju Komitmen Kebangsaan

Keberhasilan Nabi SAW untuk hijrah, dari masyarakat jahili menuju masyarakat madani, tidak lepas dari ajaran tauhid yang dibawanya. Dalam hal ini, doktrin tauhid la ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah), seperti diungkap John Obert Voll, adalah bentuk manifestasi penolakan terhadap segala bentuk loyalitas kelompok dan kesewenang-wenangan para elite Mekah saat itu. Prinsip inilah yang melandasi pembentukan masyarakat madani generasi Muslim awal, yang punya implikasi komitmen manusia kepada Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan hidup dan sumber nilai.
Dengan semangat inilah, Nabi SAW berhasil mempersatukan berbagai unsur masyarakat Madinah yang pluralistik ke dalam satu kekuatan sosial politik, yang oleh Robert N. Bellah, disebut sebagai lompatan yang luar biasa untuk masa itu. Hal ini  tercermin dari komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang tinggi dari anggota masyarakat, serta penghargaannya terhadap hak-hak individu.
Dari sini, agaknya sikap fanatisme atau sentimen SARA yang berlebihan, yang kini dipertontonkan oleh masyarakat kita, khususnya lapisan bawah (grass-root), kiranya menjadi perhatian yang sangat serius. Karena sikap-sikap seperti ini tidak sekadar sebagai bentuk persaingan yang akan menetaskan konflik vertikal, tapi bagi keberadaan masyarakat kita sekarang, fanatisme tersebut bisa menjadi bumerang yang merugikan semua pihak (horisontal). Apalagi, perjuangan politik yang berakar pada identitas sektarian dan partikularistik, seperti agama, etnisitas, ras dan kelas. Hal ini jelas bertentangan dengan pesan perubahan yang tersirat dalam simbolisasi “hijrah”.
Memang, seperti diungkap Clifford Geertz, masyarakat yang majemuk sangat rentan terhadap konflik. Dominasi dari satu pihak terhadap pihak lain seringkali memunculkan konflik sosial yang cukup tajam. Yang pada akhirnya, akan memicu rusaknya rasa kebangsaan dan penghargaan terhadap pluralitas masyarakat. Dari sinilah, kemudian masyarakat Indonesia sangat rentan terhadap disintegrasi sosial, di mana dalam hubungan ras antaragama yang dominatif, unsur konflik dan perpecahan lebih kentara ketimbang  unsur konsensus dan integrasi.
Banyak peristiwa yang menggambarkan kondisi kemajemukan masyarakat kita mulai rentan terhadap integritas bangsa, seperti kekerasan politik, radikalisme massa dan pelanggaran HAM. Kondisi ini diakibatkan belum tertatanya visi kebersamaan dalam memposisikan nilai kemajemukan dalam sikap, tindakan, dan perilaku masyarakat dalam kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, dalam konteks semangat hijrah, perlu dicari titik kesamaan, yang dalam al-Quran disebut kalimatun sawa (pandangan yang sama), sebagai derivasi doktrin tauhid. Dalam hal ini, kesadaran akan kemajemukan atau pluralisme tidak sekadar menuntut pengakuan eksistensi dan hak masing-masing kelompok, tapi juga memahami perbedaan dan persamaan untuk mencapai kerukunan dan kebhinnekaan. Karenanya, menjadi tanggung jawab kita bersama membudayakan sikap keterbukaan dan menerima perbedaan, yang dibarengi loyalitas dan komitmen bersama.
Untuk itulah, perlu dilakukan pengelolaan kreatif untuk menumbuhkan “kesatuan emosional” dalam bingkai kebangsaan. Dengam kata lain, tiap komponen bangsa dituntut memiliki kemampuan, yang oleh Alexis de Tocqueville, di sebut dengan the art of living together (seni hidup bersama). Lebih dari itu, juga apa yang oleh Erich Fromm di sebut  the art of loving (seni mencinta) yang baik, sehingga interaksi antarkelompok bisa menumbuhkan rasa kebersamaan antarkomponen bangsa. Pluralisme bersyarat inilah yang terekam dalam Piagam Madinah masa Nabi SAW.
Dari sinilah, kita dituntut menggali semangat esensial di balik “eksperimen“ hijrah Nabi SAW dan para sahabatnya menuju masyarakat madani. Tentunya, dengan mentransformasikan semangat hijrah tersebut ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan negara bangsa, dengan pengkayaan (enrichment) dari pengalaman kesatuan umat (kemanusiaan universal).

Tatanan Masyarakat Bangsa

Selain kembali kepada doktrin tauhid (dasar universalitas), makna “hijrah” dalam konteks bangsa kita, juga berarti hijrah (lepas) dari segala krisis nilai (sistem). Atau seperti yang diungkap oleh Cak Nur, hijrah dari segala bentuk KKN dan bentuk-bentuk kezaliman, baik vertikal ataupun horisontal menuju kesatuan bangsa. Dalam hal ini, hijrah dimaknai sebagai upaya mencari strategi baru menuju kehidupan bangsa dalam bingkai nasionalisme baru.
Sebab, persoalan bangsa kita ke depan adalah bagaimana mengelola kemajemukan agar menjadi faktor eskalator terbangunnya kebersamaan (common platform) bangsa menuju kesatuan politik. Dari sini, proses nation building menjadi agenda penting yang harus dibina dan ditumbuhkembangkan. Bung Karno, misalnya, membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan “suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa”. Bung Hatta, juga menekankan rasa kebangsaan pada keinsyafan persamaan nasib dan tujuan, serta keinsyafan sama seperuntungan.
Atau dengan kata lain, keberadaan suatu bangsa, mengacu pendapat Ernest Renan, hanya mungkin terjadi jika ia memiliki suatu nyawa, suatu asas-akal, yang tumbuh dalam jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani satu kesatuan riwayat, dan sekarang memiliki keinginan hidup menjadi satu. Yaitu keinginan hidup yang tidak didasarkan pada nasionalisme sempit atas kesatuan ras, bahasa, agama, persamaan butuh, ataupun sekadar batas-batas negeri. Tetapi, lebih didasarkan pada nasionalisme yang longgar, luhur, dan nasionalisme yang mengutamakan persahabatan dengan semua kelompok (inklusif).
Dengan demikian, proses pemersatuan bangsa dalam suatu negara, seperti diungkap Coleman dan Rosberg, mesti didasarkan pada dua dimensi. Pertama,  integrasi vertikal (politik), bertujuan untuk menjembatani celah perbedaan yang mungkin ada di antara elite dan massa dalam rangka pengembangan suatu proses politik terpadu dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Kedua, integrasi horisontal, yang bertujuan mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan menuju masyarakat politik yang homogen.
Karena itulah, untuk membangun masa depan negeri ini dengan label reformasi yang menghargai dan mengakui pluralitas, diperlukan penataan  kembali komitmen kebangsaan melalui pematangan budaya dan integrasi. Upaya ini, pada dasarnya, berkaitan dengan penciptaan rasa kebersamaan, yang antara lain bisa tercipta ketika sistem politik berfungsi, meminjam istilah David Apter, sebagai “maximizer”, yang mampu mengalirkan kepuasan kepada masyarakat.
Upaya lain yang juga penting dilakukan dalam tatanan nasionalisme baru adalah membangun “nilai bersama” pada masyarakat Indonesia. Hal ini penting untuk memberi pengakuan yang sama atas keberadaan dan hak-hak golongan, sehingga nilai dominasi suatu kelompok bisa diminimalisasikan. Dalam konteks ini, pencarian “nilai bersama” perlu didasarkan pada nilai-nilai, yang oleh Sartono Kartodiarjo, disebut sebagai prinsip-prinsip integrasi bangsa. Pertama, prinsip equality, untuk memberikan arahan bagi upaya pemecahan kesenjangan ekonomi (pusat-daerah; kaya-miskin). Kedua, prinsip unity, untuk menghilangkan diskriminasi dan kesenjangan antara yang maju dan terbelakang. Ketiga, prinsip liberty, untuk meningkatkan transparansi dan demokratisasi. Keempat, prinsip individuality, untuk meneguhkan identitas nasional tanpa harus menghilangkan identitas lokal. Dan kelima, prinsip performance, untuk membangun etos kerja bangsa.
Komitmen kebangsaan ataupun tumbuhnya civic nationalism, yaitu loyalitas terhadap  seperangkat cita-cita politik dan kelembagaan  yang adil dan efektif dalam bingkai suatu negara bangsa, bukanlah sesuatu yang secara taken for granted  tersedia. Karenanya, proses nation building, sejatinya, harus berjalan terus dan tidak boleh terhenti. Dengan demikian, membangun komitmen kebangsaan berarti kembali kepada cita-cita masyarakat demokratis, yang pada gilirannya akan menciptakan bangunan dasar negara bangsa yang modern. Dalam hal ini, pergantian tahun hijriah, bagi umat Islam, hendaknya menegaskan kembali komitmen reformasi yang telah dicanangkan. Inilah cita-cita kita dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara saat ini. Wallahu A’lam.

No comments: