KORAN TEMPO, 16 JUNI 2006
Celah Mengadili Soeharto
Oleh Khaeron Sirin
Celah untuk mengadili kembali
mantan presiden Soeharto masih terbuka. Ini setelah Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan mengeluarkan keputusan yang menyatakan surat ketetapan penghentian
penuntutan perkara (SKP3) terhadap Soeharto yang dikeluarkan Kejaksaan Agung
tidak sah. Alasannya, terbitnya SKP3 tersebut tidak memenuhi unsur-unsur yang
ditetapkan dalam Pasal 140 ayat 2-b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yaitu tidak ditemukan cukup bukti, perkara itu bukan tindak pidana, dan perkara
ditutup demi hukum. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut
sekaligus membuka peluang untuk menyeret paksa pelaku korupsi lain--yang selama
ini sulit ditangkap dengan berbagai alasan--ke meja hijau.
Memang, salah satu persoalan
besar yang menjadi dilema adalah banyaknya kasus korupsi yang melibatkan
petinggi negeri. Tak sedikit elite politik, yang sejatinya membebaskan bangsa
ini dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru ikut-ikutan terjerumus
dalam praktek tersebut. Tentu hal ini semakin menguras energi masyarakat dan
bangsa ini dalam upaya keluar dari keterpurukan atau krisis yang sedang
berlangsung. Apalagi banyak kasus korupsi yang hingga kini penyelesaiannya
belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Alih-alih keluar dari krisis
hukum, pemerintah malah tidak berdaya dalam mengusut secara tuntas kasus-kasus
korupsi di negeri ini. Karena itu, pemberantasan kejahatan korupsi, kolusi, dan
nepotisme menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi demi penyelamatan
krisis bangsa. Korupsi adalah musuh besar yang harus diberantas secara konkret
dan jelas--sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi tidak hanya merugikan bangsa
dan negara, tapi juga merusak mental masyarakat, baik aparat pemerintah maupun
masyarakat luas.
Selain mengkhianati amanat
rakyat, kejahatan korupsi bisa menimbulkan semacam "dendam kelas" di
tengah-tengah masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan dari arena
kekuasaan. Lebih dari itu, kejahatan ini bisa mengancam moral generasi penerus
bangsa, sekaligus mengganggu stabilitas, kredibilitas, dan citra negara di mata
internasional. Dalam perspektif ini, dukungan sebagian elite politik untuk
menghentikan tuntutan terhadap mantan presiden Soeharto jelas kontraproduktif
dengan semangat reformasi. Ini menunjukkan betapa para elite kita masih
setengah hati dalam menyelesaikan kasus korupsi secara tuntas. Ini akan
memberikan "angin segar" bagi koruptor-koruptor yang selama ini
berlindung di balik dinding politik. Ini juga semakin menyiratkan betapa para
elite politik sangat tidak manusiawi dengan menjadikan kasus Soeharto sebagai
obyek politik yang bisa meningkatkan pamor mereka, dengan cara membiarkan kasus
tersebut menjadi "lubang hitam" yang tak terungkap.
Jika dibiarkan, hal itu jelas
akan berimplikasi secara mendalam bagi moral transisi demokrasi di negeri kita
ini. Bergulirnya reformasi, yang telah memakan banyak korban jiwa dan harta
rakyat, akan kehilangan makna hukum dan politiknya. Itu juga akan semakin
meningkatkan ketidakpercayaan rakyat kepada kepemimpinan saat ini, sekaligus
semakin menguatkan keyakinan kita akan ketidakberdayaan pemerintah mengadili
penguasa yang korup. Itu akan menjadi sejarah hitam dalam perjalanan reformasi
bangsa ini, sekaligus menjadi potret buram yang akan dikenang oleh generasi
yang akan datang.
Karena itu, upaya mencari
terobosan atau upaya hukum baru di tengah transisi demokrasi menjadi perlu
dipertimbangkan. Semestinya pemerintah menyadari dan memperhitungkan adanya
kekurangan dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hukum masyarakat. Pemerintah
sebagai pencipta dan penegak hukum harus berusaha menggali dan mengikuti serta
memahami nilai hukum yang hidup di masyarakat--guna melengkapi hukum formal,
agar sesuai dengan perasaan hukum dan rasa keadilan masyarakat itu sendiri.
Dalam konteks ini, keadilan
hanya bisa lahir jika aparat penegak hukum tidak semata-mata menonjolkan
procedural justice atau formalitas prosedur penegakan hukum. Ini sangat penting
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum. Misalnya, terhadap kasus
mantan presiden Soeharto, bisa saja dilakukan pengadilan in absentia. Dalam
artian, pengadilan ini tidak semata-mata dipahami sebagai pengadilan bagi
terdakwa yang melarikan diri atau tak diketahui rimbanya. Tapi istilah in
absentia bisa juga dipahami sebagai pengadilan terhadap terdakwa yang memang
tidak bisa hadir secara fisik dalam arti umum, karena sakit, kabur, atau lainnya.
Dengan adanya pengadilan in
absentia, bisa diperoleh kepastian hukum demi tegaknya hukum di atas semua
warga negara, sekaligus memenuhi rasa keadilan di tengah masyarakat. Ini juga
dilakukan agar nantinya tidak menjadi beban sejarah bagi generasi mendatang,
sekaligus untuk menyelamatkan sisa-sisa aset milik negara yang selama ini
dipegang oleh mereka yang tidak berhak. Jangan sampai kasus-kasus korupsi yang
telah merugikan rakyat dan negara lenyap begitu saja hanya karena tidak ada
landasan hukum formal yang mengaturnya.
Dari sini, keinginan Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk mengambil alih kasus Soeharto--jika pengadilan
negeri tidak "bersedia"--dan mengadilinya secara in absentia perlu
disambut positif dan harus ditindaklanjuti. Meski upaya ini mungkin sarat
dengan kepentingan politik, lahirnya gagasan ini harus dilihat dari aspek
penegakan supremasi hukum dan pemenuhan rasa keadilan di masyarakat, sekaligus
untuk mengantisipasi adanya upaya "pengadilan rakyat" terhadap kasus
Soeharto.
Jika itu bisa terjadi, Komisi
Pemberantasan Korupsi akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam mengambil
celah hukum, sekaligus membongkar kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan
penguasa negeri ini. Itu jelas akan memberikan kepuasan bagi publik dan semakin
menumbuhkan kepercayaan masyarakat Indonesia kepada bangsa dan negaranya yang
dengan sungguh-sungguh, sekuat tenaga, dan cermat menegakkan hukum demi
melindungi seluruh masyarakat dan membangun ketertiban bangsa, sekaligus
membersihkan negara ini dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Tentu kita tidak ingin kasus
Soeharto menjadi "katebelece" bagi para koruptor lain untuk
menyelamatkan diri atas nama kemanusiaan. Kita tidak ingin kasus Soeharto
menjadi "Supersemar kedua" yang akan menjadi misteri dan beban
sejarah pada masa mendatang. Kita tidak ingin bangsa ini menjadi bangsa pemaaf
bagi para pendosa tapi mengorbankan rasa keadilan di masyarakat. Kita juga
tidak ingin kalau akhirnya bangsa ini menjadi bangsa "tebu", yang
memberikan rasa manis bagi orang lain meski diri kita hancur lebur.
No comments:
Post a Comment