Monday, November 20, 2017

Celah Mengadili Soeharto



KORAN TEMPO, 16 JUNI 2006
Celah Mengadili Soeharto
Oleh Khaeron Sirin

 Celah untuk mengadili kembali mantan presiden Soeharto masih terbuka. Ini setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan keputusan yang menyatakan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKP3) terhadap Soeharto yang dikeluarkan Kejaksaan Agung tidak sah. Alasannya, terbitnya SKP3 tersebut tidak memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan dalam Pasal 140 ayat 2-b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu tidak ditemukan cukup bukti, perkara itu bukan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut sekaligus membuka peluang untuk menyeret paksa pelaku korupsi lain--yang selama ini sulit ditangkap dengan berbagai alasan--ke meja hijau.
Memang, salah satu persoalan besar yang menjadi dilema adalah banyaknya kasus korupsi yang melibatkan petinggi negeri. Tak sedikit elite politik, yang sejatinya membebaskan bangsa ini dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru ikut-ikutan terjerumus dalam praktek tersebut. Tentu hal ini semakin menguras energi masyarakat dan bangsa ini dalam upaya keluar dari keterpurukan atau krisis yang sedang berlangsung. Apalagi banyak kasus korupsi yang hingga kini penyelesaiannya belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Alih-alih keluar dari krisis hukum, pemerintah malah tidak berdaya dalam mengusut secara tuntas kasus-kasus korupsi di negeri ini. Karena itu, pemberantasan kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi demi penyelamatan krisis bangsa. Korupsi adalah musuh besar yang harus diberantas secara konkret dan jelas--sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi tidak hanya merugikan bangsa dan negara, tapi juga merusak mental masyarakat, baik aparat pemerintah maupun masyarakat luas.
Selain mengkhianati amanat rakyat, kejahatan korupsi bisa menimbulkan semacam "dendam kelas" di tengah-tengah masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan dari arena kekuasaan. Lebih dari itu, kejahatan ini bisa mengancam moral generasi penerus bangsa, sekaligus mengganggu stabilitas, kredibilitas, dan citra negara di mata internasional. Dalam perspektif ini, dukungan sebagian elite politik untuk menghentikan tuntutan terhadap mantan presiden Soeharto jelas kontraproduktif dengan semangat reformasi. Ini menunjukkan betapa para elite kita masih setengah hati dalam menyelesaikan kasus korupsi secara tuntas. Ini akan memberikan "angin segar" bagi koruptor-koruptor yang selama ini berlindung di balik dinding politik. Ini juga semakin menyiratkan betapa para elite politik sangat tidak manusiawi dengan menjadikan kasus Soeharto sebagai obyek politik yang bisa meningkatkan pamor mereka, dengan cara membiarkan kasus tersebut menjadi "lubang hitam" yang tak terungkap.
Jika dibiarkan, hal itu jelas akan berimplikasi secara mendalam bagi moral transisi demokrasi di negeri kita ini. Bergulirnya reformasi, yang telah memakan banyak korban jiwa dan harta rakyat, akan kehilangan makna hukum dan politiknya. Itu juga akan semakin meningkatkan ketidakpercayaan rakyat kepada kepemimpinan saat ini, sekaligus semakin menguatkan keyakinan kita akan ketidakberdayaan pemerintah mengadili penguasa yang korup. Itu akan menjadi sejarah hitam dalam perjalanan reformasi bangsa ini, sekaligus menjadi potret buram yang akan dikenang oleh generasi yang akan datang.
Karena itu, upaya mencari terobosan atau upaya hukum baru di tengah transisi demokrasi menjadi perlu dipertimbangkan. Semestinya pemerintah menyadari dan memperhitungkan adanya kekurangan dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hukum masyarakat. Pemerintah sebagai pencipta dan penegak hukum harus berusaha menggali dan mengikuti serta memahami nilai hukum yang hidup di masyarakat--guna melengkapi hukum formal, agar sesuai dengan perasaan hukum dan rasa keadilan masyarakat itu sendiri.
Dalam konteks ini, keadilan hanya bisa lahir jika aparat penegak hukum tidak semata-mata menonjolkan procedural justice atau formalitas prosedur penegakan hukum. Ini sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum. Misalnya, terhadap kasus mantan presiden Soeharto, bisa saja dilakukan pengadilan in absentia. Dalam artian, pengadilan ini tidak semata-mata dipahami sebagai pengadilan bagi terdakwa yang melarikan diri atau tak diketahui rimbanya. Tapi istilah in absentia bisa juga dipahami sebagai pengadilan terhadap terdakwa yang memang tidak bisa hadir secara fisik dalam arti umum, karena sakit, kabur, atau lainnya.
Dengan adanya pengadilan in absentia, bisa diperoleh kepastian hukum demi tegaknya hukum di atas semua warga negara, sekaligus memenuhi rasa keadilan di tengah masyarakat. Ini juga dilakukan agar nantinya tidak menjadi beban sejarah bagi generasi mendatang, sekaligus untuk menyelamatkan sisa-sisa aset milik negara yang selama ini dipegang oleh mereka yang tidak berhak. Jangan sampai kasus-kasus korupsi yang telah merugikan rakyat dan negara lenyap begitu saja hanya karena tidak ada landasan hukum formal yang mengaturnya.
Dari sini, keinginan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengambil alih kasus Soeharto--jika pengadilan negeri tidak "bersedia"--dan mengadilinya secara in absentia perlu disambut positif dan harus ditindaklanjuti. Meski upaya ini mungkin sarat dengan kepentingan politik, lahirnya gagasan ini harus dilihat dari aspek penegakan supremasi hukum dan pemenuhan rasa keadilan di masyarakat, sekaligus untuk mengantisipasi adanya upaya "pengadilan rakyat" terhadap kasus Soeharto.
Jika itu bisa terjadi, Komisi Pemberantasan Korupsi akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam mengambil celah hukum, sekaligus membongkar kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan penguasa negeri ini. Itu jelas akan memberikan kepuasan bagi publik dan semakin menumbuhkan kepercayaan masyarakat Indonesia kepada bangsa dan negaranya yang dengan sungguh-sungguh, sekuat tenaga, dan cermat menegakkan hukum demi melindungi seluruh masyarakat dan membangun ketertiban bangsa, sekaligus membersihkan negara ini dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Tentu kita tidak ingin kasus Soeharto menjadi "katebelece" bagi para koruptor lain untuk menyelamatkan diri atas nama kemanusiaan. Kita tidak ingin kasus Soeharto menjadi "Supersemar kedua" yang akan menjadi misteri dan beban sejarah pada masa mendatang. Kita tidak ingin bangsa ini menjadi bangsa pemaaf bagi para pendosa tapi mengorbankan rasa keadilan di masyarakat. Kita juga tidak ingin kalau akhirnya bangsa ini menjadi bangsa "tebu", yang memberikan rasa manis bagi orang lain meski diri kita hancur lebur.

No comments: