KORAN TEMPO, 10 AGUSTUS 2005
Geliat MUI dalam Wacana Publik
Khaeron Sirin
Sebanyak 11 fatwa MUI,
termasuk soal Ahmadiyah serta fatwa yang memasuki ranah wacana publik seperti
sekularisme, pluralisme, dan liberalisme agama, telah memicu kontroversi.
Sebagian kalangan bisa menerimanya, tetapi sebagian lainnya menentang dengan
berbagai argumen.
Gebrakan-gebrakan yang
dilakukan MUI memang sangat terkait dengan kesadaran akan eksistensinya sebagai
ahli waris tugas-tugas para nabi (al-'ulama waratsah al-anbiya'). Mereka harus
melanjutkan peran dan fungsi profetiknya di tengah kehidupan umat Islam,
seperti yang pernah dilakukan para ulama di masa kolonial dan perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Selama ini, wacana-wacana
keagamaan yang diusung kelompok pembaru (modernis) Islam senantiasa mengambil
paham dan paradigma dari luar. Umat Islam Indonesia pun terus dininabobokan
dengan tren-tren global yang cenderung dijadikan kiblat dalam etika dan
perilaku keberagamaan di Indonesia. Di satu sisi, wacana-wacana seperti itu
sangatlah penting dalam mencerahkan pemikiran keberagamaan kita di Indonesia.
Namun, di sisi lain, munculnya pemikiran yang cenderung resisten dari kelompok
lain juga harus disikapi secara terbuka sebagai bagian dari dialog keagamaan
yang mencerdaskan umat.
Dalam sejarahnya,
wacana-wacana ideologi, seperti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, lahir
dalam konteks dan kultur yang mungkin berbeda dengan kondisi masyarakat
Indonesia. Wacana-wacana tersebut bisa dikatakan muncul dan menjelma secara
implisit sebagai ideologi (gerakan) perlawanan terhadap otoritas kekuasaan yang
telah mapan. Sementara itu, agama sebagai bentuk otoritas kalam Tuhan terhadap
manusia yang telah mapan di tengah masyarakat sejak lama juga tidak lepas dari
perlawanan ideologi-ideologi tersebut.
Dalam hal ini, masyarakat
(Islam) Indonesia tentunya memiliki nilai kesejarahan tersendiri yang berbeda
dengan masyarakat bangsa lainnya. Faktor kesejarahan ini, secara sadar atau
tidak, akan terus melekat sebagai simbol identitas perjuangan umat Islam di
Indonesia. Sebagai masyarakat yang telah lama tunduk pada otoritas agama
(Islam), mereka akan sulit menerima wacana atau ideologi-ideologi yang
sebenarnya berangkat dari semangat budaya Barat tersebut.
Karena itu, tidak mengherankan
kalau banyak kelompok umat Islam Indonesia, termasuk MUI--sebagai garda
pengawal Al-Quran dan sunah--memiliki perspektif yang berseberangan dengan
kelompok Islam modernis. Bagi MUI, wacana-wacana semacam liberalisme dan
pluralisme--yang sebenarnya berpangkal pada ideologi sekularisme--tersebut
tidak selamanya harus dipahami apa adanya, karena dapat menggoyahkan batas
etika dan moral umat Islam. Akan tetapi, harus dimaknai ke arah yang lebih
ber-"keislaman" dan berselera budaya masyarakat bangsa sendiri.
Misalnya saja, MUI memandang
bahwa Islam mengakui adanya pluralitas agama, tetapi tidak mengakui adanya
pluralisme agama. Soalnya, pluralisme agama hanya akan menisbikan kebenaran
agama itu sendiri yang selama ini diyakini oleh masing-masing pemeluknya.
Bagi kalangan modernis,
gebrakan yang dilakukan MUI terhadap wacana-wacana publik mungkin dianggap
mencemaskan dan merupakan langkah mundur bagi masa depan kehidupan umat
beragama di Indonesia. Namun, bagi kalangan lain, gebrakan itu menunjukkan
sikap dan pandangan MUI yang maju dan independen. Langkah ini sekaligus menjadi
proses pembelajaran yang baik bagi pencerahan umat Islam di Indonesia.
Tidaklah berlebihan jika
keterlibatan MUI dalam pertarungan wacana publik lewat mekanisme fatwa justru
menjadi menarik untuk diikuti. Di satu sisi, peran-peran seperti inilah yang
mungkin seyogianya terus dilakukan MUI dalam menyikapi berbagai persoalan
ataupun wacana yang berkembang di tengah umat Islam Indonesia. Di sisi lain,
ini adalah tantangan bagi kalangan pemikir Islam modernis untuk terus menggali
dan mengembangkan lebih jauh wacana-wacana yang selama ini diusungnya dalam
konteks masyarakat dan budaya bangsa. Atau--meminjam istilah Quraish Shihab
(1993)--bagaimana membumikan Islam (Al-Quran) di ranah Indonesia.
Memang, dalam konteks negara
hukum, munculnya fatwa MUI harus ditempatkan pada kedudukan yang semestinya.
Sebagaimana dalam sejarah fikih Islam, fatwa adalah sebuah pendapat hukum yang
tidak berlaku mengikat, kecuali bagi orang yang memintanya dan pihak yang
mengeluarkan fatwa itu sendiri.
Hanya, fatwa yang dikeluarkan
oleh sebuah institusi seperti MUI jelas akan memiliki kekuatan moral yang
sangat besar bagi umat Islam di Indonesia. Hal ini mengingat pola keberagamaan
umat Islam Indonesia telah menempatkan MUI sebagai wadah penjelmaan ulama-ulama
Indonesia sebagai ahli waris tugas-tugas para nabi yang harus ditaati.
Sangatlah wajar jika fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI tersebut dianggap sebagai
kebenaran syariat (agama) yang bisa dipedomani oleh umat Islam di Indonesia
saat ini.
Maka munculnya fatwa-fatwa MUI
merupakan proses pembelajaran dan dialektika bagi umat Islam untuk lebih
terbuka dalam memahami pentingnya dasar-dasar agama dalam beribadah dan
bermuamalah. Hal ini penting guna meneguhkan jati diri dan itikad umat Islam
dengan suatu wawasan untuk menghela proses perwujudan peradaban Islam di
Indonesia.
Jadi tidak perlu ada apriori ataupun
kecemasan--khususnya dari kalangan Islam modernis--dalam membaca masa depan
kehidupan umat beragama di Indonesia. Masa depan umat bukan saja tugas yang
harus dipikul oleh para pemikir Islam modern, tetapi juga tugas umat Islam
secara menyeluruh, termasuk MUI. Maka di mana pun umat Islam berada, di situlah
pintu dialog seyogianya terus dibuka.
No comments:
Post a Comment