Wednesday, November 8, 2017

Geliat MUI dalam Wacana Publik



KORAN TEMPO, 10 AGUSTUS 2005
Geliat MUI dalam Wacana Publik
Khaeron Sirin


Sebanyak 11 fatwa MUI, termasuk soal Ahmadiyah serta fatwa yang memasuki ranah wacana publik seperti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme agama, telah memicu kontroversi. Sebagian kalangan bisa menerimanya, tetapi sebagian lainnya menentang dengan berbagai argumen.
Gebrakan-gebrakan yang dilakukan MUI memang sangat terkait dengan kesadaran akan eksistensinya sebagai ahli waris tugas-tugas para nabi (al-'ulama waratsah al-anbiya'). Mereka harus melanjutkan peran dan fungsi profetiknya di tengah kehidupan umat Islam, seperti yang pernah dilakukan para ulama di masa kolonial dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Selama ini, wacana-wacana keagamaan yang diusung kelompok pembaru (modernis) Islam senantiasa mengambil paham dan paradigma dari luar. Umat Islam Indonesia pun terus dininabobokan dengan tren-tren global yang cenderung dijadikan kiblat dalam etika dan perilaku keberagamaan di Indonesia. Di satu sisi, wacana-wacana seperti itu sangatlah penting dalam mencerahkan pemikiran keberagamaan kita di Indonesia. Namun, di sisi lain, munculnya pemikiran yang cenderung resisten dari kelompok lain juga harus disikapi secara terbuka sebagai bagian dari dialog keagamaan yang mencerdaskan umat.
Dalam sejarahnya, wacana-wacana ideologi, seperti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, lahir dalam konteks dan kultur yang mungkin berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia. Wacana-wacana tersebut bisa dikatakan muncul dan menjelma secara implisit sebagai ideologi (gerakan) perlawanan terhadap otoritas kekuasaan yang telah mapan. Sementara itu, agama sebagai bentuk otoritas kalam Tuhan terhadap manusia yang telah mapan di tengah masyarakat sejak lama juga tidak lepas dari perlawanan ideologi-ideologi tersebut.
Dalam hal ini, masyarakat (Islam) Indonesia tentunya memiliki nilai kesejarahan tersendiri yang berbeda dengan masyarakat bangsa lainnya. Faktor kesejarahan ini, secara sadar atau tidak, akan terus melekat sebagai simbol identitas perjuangan umat Islam di Indonesia. Sebagai masyarakat yang telah lama tunduk pada otoritas agama (Islam), mereka akan sulit menerima wacana atau ideologi-ideologi yang sebenarnya berangkat dari semangat budaya Barat tersebut.
Karena itu, tidak mengherankan kalau banyak kelompok umat Islam Indonesia, termasuk MUI--sebagai garda pengawal Al-Quran dan sunah--memiliki perspektif yang berseberangan dengan kelompok Islam modernis. Bagi MUI, wacana-wacana semacam liberalisme dan pluralisme--yang sebenarnya berpangkal pada ideologi sekularisme--tersebut tidak selamanya harus dipahami apa adanya, karena dapat menggoyahkan batas etika dan moral umat Islam. Akan tetapi, harus dimaknai ke arah yang lebih ber-"keislaman" dan berselera budaya masyarakat bangsa sendiri.
Misalnya saja, MUI memandang bahwa Islam mengakui adanya pluralitas agama, tetapi tidak mengakui adanya pluralisme agama. Soalnya, pluralisme agama hanya akan menisbikan kebenaran agama itu sendiri yang selama ini diyakini oleh masing-masing pemeluknya.
Bagi kalangan modernis, gebrakan yang dilakukan MUI terhadap wacana-wacana publik mungkin dianggap mencemaskan dan merupakan langkah mundur bagi masa depan kehidupan umat beragama di Indonesia. Namun, bagi kalangan lain, gebrakan itu menunjukkan sikap dan pandangan MUI yang maju dan independen. Langkah ini sekaligus menjadi proses pembelajaran yang baik bagi pencerahan umat Islam di Indonesia.
Tidaklah berlebihan jika keterlibatan MUI dalam pertarungan wacana publik lewat mekanisme fatwa justru menjadi menarik untuk diikuti. Di satu sisi, peran-peran seperti inilah yang mungkin seyogianya terus dilakukan MUI dalam menyikapi berbagai persoalan ataupun wacana yang berkembang di tengah umat Islam Indonesia. Di sisi lain, ini adalah tantangan bagi kalangan pemikir Islam modernis untuk terus menggali dan mengembangkan lebih jauh wacana-wacana yang selama ini diusungnya dalam konteks masyarakat dan budaya bangsa. Atau--meminjam istilah Quraish Shihab (1993)--bagaimana membumikan Islam (Al-Quran) di ranah Indonesia.
Memang, dalam konteks negara hukum, munculnya fatwa MUI harus ditempatkan pada kedudukan yang semestinya. Sebagaimana dalam sejarah fikih Islam, fatwa adalah sebuah pendapat hukum yang tidak berlaku mengikat, kecuali bagi orang yang memintanya dan pihak yang mengeluarkan fatwa itu sendiri.
Hanya, fatwa yang dikeluarkan oleh sebuah institusi seperti MUI jelas akan memiliki kekuatan moral yang sangat besar bagi umat Islam di Indonesia. Hal ini mengingat pola keberagamaan umat Islam Indonesia telah menempatkan MUI sebagai wadah penjelmaan ulama-ulama Indonesia sebagai ahli waris tugas-tugas para nabi yang harus ditaati. Sangatlah wajar jika fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI tersebut dianggap sebagai kebenaran syariat (agama) yang bisa dipedomani oleh umat Islam di Indonesia saat ini.
Maka munculnya fatwa-fatwa MUI merupakan proses pembelajaran dan dialektika bagi umat Islam untuk lebih terbuka dalam memahami pentingnya dasar-dasar agama dalam beribadah dan bermuamalah. Hal ini penting guna meneguhkan jati diri dan itikad umat Islam dengan suatu wawasan untuk menghela proses perwujudan peradaban Islam di Indonesia.
Jadi tidak perlu ada apriori ataupun kecemasan--khususnya dari kalangan Islam modernis--dalam membaca masa depan kehidupan umat beragama di Indonesia. Masa depan umat bukan saja tugas yang harus dipikul oleh para pemikir Islam modern, tetapi juga tugas umat Islam secara menyeluruh, termasuk MUI. Maka di mana pun umat Islam berada, di situlah pintu dialog seyogianya terus dibuka.

No comments: