MEDIA INDONESIA, 15 Nopember 2002
Puasa dan
Spiritualitas Masyarakat
Oleh Khaeron Sirin
Dalam sejarah agama-agama Samawi, ibadah puasa
adalah salah satu bentuk ibadah yang paling universal dan luas tersebar di
kalangan umat manusia. Sementara secara antropologi, puasa sudah lama dikenal
dan manjadi aktivitas budaya yang tak terpisahkan dalam kehidupan suatu masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari
berbagai ragam puasa yang pernah dilakukan manusia, baik dalam bentuknya
ataupun dalam waktu pelaksanaannya. Namun, puasa itu sendiri secara etimologi
terlingkup dalam satu esensi, yaitu ‘pengendalian diri’. Dalam hal ini, pokok
amalan puasa adalah pengingkaran jasmani dan ruhani secara sukarela dari
sebagian kebutuhannya, terutama dari kebutuhan yang menyenangkan, seperti
makan, minum dan seks.
Dalam perspektif Islam, puasa merupakan satu
mata rantai yang menunjukkan segi kesinambungan atau kontinuitas agama-agama
Samawi. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa agama Islam merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari agama-agama Allah yang diturunkan kepada umat-umat
sebelumnya. Kesinambungan ini bisa dilihat dari misi kerasulan yang diemban
Nabi Muhammad SAW dalam meneruskan sekaligus menyempurnakan misi suci para nabi
terdahulu. (Q.S. al-Nisa:163-166). Artinya, puasa merupakan sebuah proses
pendidikan kemanusiaan yang memiliki visi ke depan, yaitu pembentukan tatanan
masyarakat yang berketuhanan (bertakwa) (Q.S. Al-Baqarah:183).
Persoalan kemudian, puasa itu sendiri telah
mengalami perjalanan yang sangat panjang, dengan pengalaman masyarakat yang
beragam. Tak terkecuali, puasa di tengah kehidupan masyarakat yang serba
modern. Dalam hal ini, kita dihadapkan pada kehidupan yang serba modern dengan
dinamika perubahan sosial yang begitu cepat, sebagai konsekuensi modernisasi
dan industrialisasi. Sehingga, masyarakat kita sedikit banyak telah mengalami
pergeseran atau ketidakpastian fundamental hukum, nilai, moral dan etika
kehidupan. Lantas, bagaimana kita bisa memaknai puasa di tengah kehidupan
masyarakat dan bangsa yang mengalami kekosongan mental spiritual (agama)
seperti ini?
Dalam konteks inilah, pemaknaan puasa dari aspek
pembentukan nilai-nilai spiritual masyarakat kita saat ini menjadi penting,
sebagai sebuah pendekatan holistik dalam meyembuhkan penyakit ruhani
masyarakat, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Pembentukan Spiritual
Secara syar’i, puasa adalah sebuah proses ibadah
yang diarahkan pada pencapaian nilai takwa. Hal ini bisa berhasil jika
seseorang mampu memaknai puasa tidak sekadar menahan makan, minum dan nafsu
duniawi. Tetapi, mampu menjaga seluruh anggota badan kita dari ucapan, sikap
dan prilaku yang tercela dan dosa. Sekaligus, tidak berorientasi pada
janji-janji pahala, melainkan atas dasar keikhlasan karena Allah SWT
semata-mata. Wajar, jika tidak
semua orang yang berpuasa akan memperoleh derajat ketakwaan yang sempurna di
sisi Allah SWT. Itulah sebabnya, Allah menyebut kalimat “la’allakum tattaqun”
(semoga kalian menjadi orang-orang yang bertakwa) di akhir ayat 183 surat
al-Baqarah, sebagai tujuan akhir diwajibkannya puasa.
Dari sini, ada dua hikmah yang bisa diambil dari
ibadah tersebut kaitannya dengan pembentukan spiritualitas. Pertama,
kesalehan individu. Secara personal, ibadah puasa merupakan panggilan keimanan
seorang hamba dengan Tuhannya. Ia adalah rahasia antara seorang manusia dengan
Tuhannya. Kerahasiaan inilah yang menjadi letak dan sumber hikmah dari ibadah
puasa itu sendiri, di mana hal itu sangat terkait dengan makna keikhlasan dan
ketulusan seseorang dalam berpuasa. Dalam konteks ini, puasa merupakan latihan
dan ujian kesadaran akan adanya (eksistensi) Tuhan Yang Maha Hadir. (Q.S.
al-Hadid:4).
Kesadaran akan ke-Mahahadir-an inilah yang
melandasi ketakwaan seorang muslim yang akan membimbingnya ke arah prilaku
individual yang baik dan terpuji. Misalnya saja, dengan berpuasa, membuat kita
lebih bersikap jujur, takut berbuat dosa, dan menahan diri dari berbagai emosi
dan arogansi. Jadi, puasa adalah ibadah yang berdimensi kerahasiaan atau
keprivatan yang amat kuat. Ia merupakan sarana pertama dan utama dalam
membentuk suatu kepribadian seorang muslim yang bertanggung jawab dan
berintegritas.
Kedua,
kesalehan sosial. Adanya tujuan puasa dalam menumbuhkan kesalehan individu,
secara tidak langsung, mengisyaratkan
adanya aspek sosial dalam perwujudan kehidupan nyata. Ibarat dua sisi mata
uang, kesalehan atau tanggung jawab sosial adalah sisi yang tak bisa dipisahkan
dengan tanggung jawab individu dalam masyarakat. Karenanya, dalam ibadah puasa
senantiasa disertai dengan anjuran untuk berbuat baik, terutama dalam bentuk
solidaritas sosial, persaudaraan ataupun tindakan tolong menolong terhadap
sesama umat manusia. Dimensi sosial ini, jelas merupakan derivasi dari makna
takwa itu sendiri, sebagai tujuan puasa, di mana untuk mencapai takwa seseorang
mesti berbuat baik kepada dirinya sendiri dan juga kepada orang lain.
Selama
ini, bisa kita lihat betapa orang yang mencari harta, jabatan dan kedudukan dan
kehidupan dunia lainnya secara terus menerus, telah mengalami semacam gangguan mental
spiritual. Mereka seakan-akan tidak mampu mengendalikan diri, bahkan dengan
berbagai cara selalu mencoba untuk meraih semuanya. Ini adalah akibat dari rasa
takut miskin, takut tidak dihargai orang, takut susah dan takut tidak bahagia.
Secara tidak sadar, ketakutan seperti inilah yang kemudian menimbulkan kesan
bahwa kesejahteraan dan kesenangan hidup hanya bisa dijamin dengan harta
kekayaan dan kedudukan. Sehingga orientasi hidupnya hanya dipusatkan pada upaya
mencari materi dan penghidupan duniawi (lahiriah) semata. (Q.S. al-Hadid:20).
Ini
adalah sebuah fenomena masyarakat modern yang telah mengalami
pergeseran-pergeseran, di mana nilai-nilai moral, etika dan agama terabaikan
dalam kehidupan mereka. Ini adalah imbas dari modernisasi, industrialisasi,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tengah merasuki kehidupan
masyarakat kita. Sayangnya, kemakmuran materi yang diperoleh ternyata tidak
selamanya membawa kepada kesejahteraan (well being). Sehingga, dalam
kekosongan spiritual seperti inilah yang seringkali menimbulkan persoalan
psikososial dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, aspek spiritual
merupakan kebutuhan dasar setiap individu, khususnya dalam kehidupan masyarakat
yang modern..
Sebagai
sebuah proses, ibadah puasa bisa dimaknai sebagai bentuk latihan (riyadhah) ‘pengendalian
diri’. Pengendalian diri (self control) inilah yang menjadi ciri utama
bagi mental spiritual atau jiwa yang sehat dari seorang muslim. Sehingga,
dengan jiwa yang sehat, manusia bisa mengendalikan berbagai macam reaksi
patologis (kelainan), baik dalam alam pikir, alam perasaan ataupun prilaku
individu dalam kehidupan sosial. Dalam proses selanjutnya, ibadah puasa akan
bisa memberi bekas yang lebih mendalam dalam jiwa dan raga orang yang
melakukannya. Ia merupakan bentuk perjalanan spiritual seorang hamba menuju
ketakwaan kepada Allah SWT, di mana dalam berpuasa, seorang hamba dituntut bisa
menghadirkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya, yang tercermin dalam bentuk
kesalehan individu dan kesalehan sosial dalam kehidupan nyata.
Di sinilah, pentingnya
ibadah puasa dalam membangun mental spiritual di tengah masyarakat yang
terbilang maju, yang dilandasi nilai-nilai ilahiah. Puasa tidak saja dimaknai
sekadar ibadah ritual keagamaan, tapi juga harus diresepsi ke dalam dimensi
yang lebih luas lagi, termasuk pengembangan mental sosial spiritual di
masyarakat modern. Sehingga hikmah dan tujuan pensyariatan puasa itu sendiri
bisa lebih ‘membumi’ ke dalam praktik kehidupan sosial masyarakat kita saat
ini. Wa Allahu A’lam.
No comments:
Post a Comment