Wednesday, November 8, 2017

Puasa dan Spiritualitas Masyarakat



MEDIA INDONESIA, 15 Nopember 2002
Puasa dan Spiritualitas Masyarakat

Oleh Khaeron Sirin

Dalam sejarah agama-agama Samawi, ibadah puasa adalah salah satu bentuk ibadah yang paling universal dan luas tersebar di kalangan umat manusia. Sementara secara antropologi, puasa sudah lama dikenal dan manjadi aktivitas budaya yang tak terpisahkan dalam kehidupan  suatu masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari berbagai ragam puasa yang pernah dilakukan manusia, baik dalam bentuknya ataupun dalam waktu pelaksanaannya. Namun, puasa itu sendiri secara etimologi terlingkup dalam satu esensi, yaitu ‘pengendalian diri’. Dalam hal ini, pokok amalan puasa adalah pengingkaran jasmani dan ruhani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya, terutama dari kebutuhan yang menyenangkan, seperti makan, minum dan seks.
Dalam perspektif Islam, puasa merupakan satu mata rantai yang menunjukkan segi kesinambungan atau kontinuitas agama-agama Samawi. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa agama Islam merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari agama-agama Allah yang diturunkan kepada umat-umat sebelumnya. Kesinambungan ini bisa dilihat dari misi kerasulan yang diemban Nabi Muhammad SAW dalam meneruskan sekaligus menyempurnakan misi suci para nabi terdahulu. (Q.S. al-Nisa:163-166). Artinya, puasa merupakan sebuah proses pendidikan kemanusiaan yang memiliki visi ke depan, yaitu pembentukan tatanan masyarakat yang berketuhanan (bertakwa) (Q.S. Al-Baqarah:183).
Persoalan kemudian, puasa itu sendiri telah mengalami perjalanan yang sangat panjang, dengan pengalaman masyarakat yang beragam. Tak terkecuali, puasa di tengah kehidupan masyarakat yang serba modern. Dalam hal ini, kita dihadapkan pada kehidupan yang serba modern dengan dinamika perubahan sosial yang begitu cepat, sebagai konsekuensi modernisasi dan industrialisasi. Sehingga, masyarakat kita sedikit banyak telah mengalami pergeseran atau ketidakpastian fundamental hukum, nilai, moral dan etika kehidupan. Lantas, bagaimana kita bisa memaknai puasa di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa yang mengalami kekosongan mental spiritual (agama) seperti ini?
Dalam konteks inilah, pemaknaan puasa dari aspek pembentukan nilai-nilai spiritual masyarakat kita saat ini menjadi penting, sebagai sebuah pendekatan holistik dalam meyembuhkan penyakit ruhani masyarakat, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Pembentukan Spiritual
Secara syar’i, puasa adalah sebuah proses ibadah yang diarahkan pada pencapaian nilai takwa. Hal ini bisa berhasil jika seseorang mampu memaknai puasa tidak sekadar menahan makan, minum dan nafsu duniawi. Tetapi, mampu menjaga seluruh anggota badan kita dari ucapan, sikap dan prilaku yang tercela dan dosa. Sekaligus, tidak berorientasi pada janji-janji pahala, melainkan atas dasar keikhlasan karena Allah SWT semata-mata. Wajar, jika tidak semua orang yang berpuasa akan memperoleh derajat ketakwaan yang sempurna di sisi Allah SWT. Itulah sebabnya, Allah menyebut kalimat “la’allakum tattaqun” (semoga kalian menjadi orang-orang yang bertakwa) di akhir ayat 183 surat al-Baqarah, sebagai tujuan akhir diwajibkannya puasa.
Dari sini, ada dua hikmah yang bisa diambil dari ibadah tersebut kaitannya dengan pembentukan spiritualitas. Pertama, kesalehan individu. Secara personal, ibadah puasa merupakan panggilan keimanan seorang hamba dengan Tuhannya. Ia adalah rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Kerahasiaan inilah yang menjadi letak dan sumber hikmah dari ibadah puasa itu sendiri, di mana hal itu sangat terkait dengan makna keikhlasan dan ketulusan seseorang dalam berpuasa. Dalam konteks ini, puasa merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya (eksistensi) Tuhan Yang Maha Hadir. (Q.S. al-Hadid:4).
Kesadaran akan ke-Mahahadir-an inilah yang melandasi ketakwaan seorang muslim yang akan membimbingnya ke arah prilaku individual yang baik dan terpuji. Misalnya saja, dengan berpuasa, membuat kita lebih bersikap jujur, takut berbuat dosa, dan menahan diri dari berbagai emosi dan arogansi. Jadi, puasa adalah ibadah yang berdimensi kerahasiaan atau keprivatan yang amat kuat. Ia merupakan sarana pertama dan utama dalam membentuk suatu kepribadian seorang muslim yang bertanggung jawab dan berintegritas.
Kedua, kesalehan sosial. Adanya tujuan puasa dalam menumbuhkan kesalehan individu, secara tidak langsung,  mengisyaratkan adanya aspek sosial dalam perwujudan kehidupan nyata. Ibarat dua sisi mata uang, kesalehan atau tanggung jawab sosial adalah sisi yang tak bisa dipisahkan dengan tanggung jawab individu dalam masyarakat. Karenanya, dalam ibadah puasa senantiasa disertai dengan anjuran untuk berbuat baik, terutama dalam bentuk solidaritas sosial, persaudaraan ataupun tindakan tolong menolong terhadap sesama umat manusia. Dimensi sosial ini, jelas merupakan derivasi dari makna takwa itu sendiri, sebagai tujuan puasa, di mana untuk mencapai takwa seseorang mesti berbuat baik kepada dirinya sendiri dan juga kepada orang lain.
Selama ini, bisa kita lihat betapa orang yang mencari harta, jabatan dan kedudukan dan kehidupan dunia lainnya secara terus menerus, telah mengalami semacam gangguan mental spiritual. Mereka seakan-akan tidak mampu mengendalikan diri, bahkan dengan berbagai cara selalu mencoba untuk meraih semuanya. Ini adalah akibat dari rasa takut miskin, takut tidak dihargai orang, takut susah dan takut tidak bahagia. Secara tidak sadar, ketakutan seperti inilah yang kemudian menimbulkan kesan bahwa kesejahteraan dan kesenangan hidup hanya bisa dijamin dengan harta kekayaan dan kedudukan. Sehingga orientasi hidupnya hanya dipusatkan pada upaya mencari materi dan penghidupan duniawi (lahiriah) semata. (Q.S. al-Hadid:20).
Ini adalah sebuah fenomena masyarakat modern yang telah mengalami pergeseran-pergeseran, di mana nilai-nilai moral, etika dan agama terabaikan dalam kehidupan mereka. Ini adalah imbas dari modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tengah merasuki kehidupan masyarakat kita. Sayangnya, kemakmuran materi yang diperoleh ternyata tidak selamanya membawa kepada kesejahteraan (well being). Sehingga, dalam kekosongan spiritual seperti inilah yang seringkali menimbulkan persoalan psikososial dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, aspek spiritual merupakan kebutuhan dasar setiap individu, khususnya dalam kehidupan masyarakat yang modern..
Sebagai sebuah proses, ibadah puasa bisa dimaknai sebagai bentuk latihan (riyadhah) ‘pengendalian diri’. Pengendalian diri (self control) inilah yang menjadi ciri utama bagi mental spiritual atau jiwa yang sehat dari seorang muslim. Sehingga, dengan jiwa yang sehat, manusia bisa mengendalikan berbagai macam reaksi patologis (kelainan), baik dalam alam pikir, alam perasaan ataupun prilaku individu dalam kehidupan sosial. Dalam proses selanjutnya, ibadah puasa akan bisa memberi bekas yang lebih mendalam dalam jiwa dan raga orang yang melakukannya. Ia merupakan bentuk perjalanan spiritual seorang hamba menuju ketakwaan kepada Allah SWT, di mana dalam berpuasa, seorang hamba dituntut bisa menghadirkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya, yang tercermin dalam bentuk kesalehan individu dan kesalehan sosial dalam kehidupan nyata.
Di sinilah, pentingnya ibadah puasa dalam membangun mental spiritual di tengah masyarakat yang terbilang maju, yang dilandasi nilai-nilai ilahiah. Puasa tidak saja dimaknai sekadar ibadah ritual keagamaan, tapi juga harus diresepsi ke dalam dimensi yang lebih luas lagi, termasuk pengembangan mental sosial spiritual di masyarakat modern. Sehingga hikmah dan tujuan pensyariatan puasa itu sendiri bisa lebih ‘membumi’ ke dalam praktik kehidupan sosial masyarakat kita saat ini. Wa Allahu A’lam.

No comments: