Wednesday, November 8, 2017

Fikih Air yang Menjauhi Rakyat



REPUBLIKA, 2 Agustus 2005
Fikih Air yang Menjauhi Rakyat
Oleh Khaeron Sirin


Pada dasawarsa terakhir, kebutuhan masyarakat Indonesia menunjukkan kecenderungan yang kian meningkat. Kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air bersih, akibat kerusakan alam dan pencemaran, menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun.
Wajar, jika kemudian pemanfaatan sumberdaya air telah menjadi komoditi strategis dan memiliki peran penting dalam menunjang kehidupan masyarakat dan segala aktivitas yang dilakukannya. Terutama, sebagai sumber pasokan air bersih untuk keperluan sehari-hari penduduk, proses industri dan irigasi. Bahkan, di beberapa daerah tertentu, keberadaan air telah menjadi komoditi ekonomi.
Lantas, apa jadinya jika air yang kita gunakan untuk keperluan sehari-hari diprivatisasi dan dikomersilkan? Akankah air yang notabenenya menjadi hajat hidup kita semua terkapling-kapling ke dalam hak sekelompok orang?

Privatisasi dan Komersialisasi Air
Munculnya gagasan privatisasi dan komersialisasi air, seperti terkandung dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, jelas akan mengancam hak setiap individu warganegara atas air di Indonesia. Sebab, agenda tersebut memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Melalui privatisasi ini, maka jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak tersebut akhirnya ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar, “siapa ingin membeli atau siapa ingin menjual”.
Sedangkan peran negara, dalam UU ini, dibatasi hanya sebagai pembuat dan pengawas regulasi. Dalam hal ini, peran negara sebagai regulator an sich akan kehilangan kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk memastikan terjaminnya keselamatan, dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna air. Negara tidak dapat menjamin dan memberikan perlindungan pada kelompok-kelompok masyarakat tidak mampu dan rentan dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau.
Ini berarti negara melepaskan tanggungjawabnya dalam mengelola sumber daya untuk memenuhi hak-hak warganya. Jika demikian, dapat dipastikan air akan semakin mahal dan itu akan mempersulit akses orang miskin terhadap air. Sebab, air tidak lagi menjadi hak publik (umum), tetapi menjadi barang privat yang bisa dikomersilkan.
Padahal, hak atas air merupakan hak asasi setiap manusia. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 menjamin hak dasar tersebut. Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Sedangkan, ayat 3 menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ini berarti negara bertanggung jawab untuk menjamin dan menyelengarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warganegara.
Karenanya, dalam perspektif ini, perlu suatu perangkat hukum atau undang-undang yang benar-benar mengatur pengelolaan sumberdaya air secara lebih terpadu dan berwawasan lingkungan, yang bertumpu pada asas fungsi sosial dan fungsi konservasi, kemanfaatan umum, keseimbangan, kelestarian, keadilan, sekaligus tidak didominasi oleh kepentingan kapitalisme dan liberalisme global.

Fikih Air
Memang, air merupakan unsur penting dalam segenap proses dan perubahan kehidupan manusia. Ia menjadi faktor utama yang mendorong manusia untuk menetap, dan secara otomatis mendorong majunya peradaban manusia. Di mana ada air, di situ pula dapat ditemui tanda-tanda kehidupan. Ia juga berfungsi sebagai mediator, pendukung, ataupun zat pokok proses metabolisme alam semesta. Dengan kata lain, air memang mengandung potensi yang bisa membantu terselenggaranya dinamika kehidupan di bumi. Pada titik singgung ini, Allah SWT berfirman, “Dan Allah telah menciptakan semua hewan dari air” (QS. Al-Nur:45). Dalam ayat lain, juga disebutkan, “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (Q.S. Al-Anbiya: 30).
Begitu pentingnya, hingga Allah SWT menjadikannya sebagai hak milik segenap manusia. Hak untuk memanfaatkan air ini adalah milik setiap individu, yang tidak bisa dimonopoli, dirusak, atau dibatalkan, apalagi diprivatisasi. Rasulullah SAW sendiri dengan tegas menyatakan, “Tiga hal yang menjadi milik publik (tidak bisa diprivatisasi) adalah air, tempat berlindung, dan api” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Dengan demikian, seluruh umat manusia memiliki hak kolektif atas air sebagai kebutuhan dasar bagi kehidupan. Karena itulah, manusia sudah semestinya memperlakukan air dengan baik, sebagai salah satu nikmat yang paling besar bagi kehidupan mereka, hewan dan tumbuhan. Artinya, air haruslah dipandang sebagai anugerah yang wajib disyukuri, dijaga, dilestarikan dan dimanfaatkan dengan cara-cara yang adil dan efisien.
Dengan kata lain, dalam mengatur dan memanfaatkan sumberdaya air, hendaknya manusia tidak hanya melihat dalam perspektif kepentingannya sendiri. Akan tetapi, hendaknya bersikap sebagai makhluk Tuhan yang memikul tanggung jawab. Sebab, selain sebagai sebuah anugerah, air --yang notabene menjadi sumber kehidupan di bumi ini-- adalah amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, dan tidak boleh disia-siakan. Ia adalah hak mutlak Allah atas hamba-hamba-Nya dan tidak terkait dengan hak individu atau kelompok tertentu (privatisasi).
Maka, setiap upaya yang bisa menghalang-halangi manusia dan makhluk hidup secara umum untuk mengakses sumber-sumber air dianggap sebagai pelanggaran hak Tuhan dan hak publik (al-maslahah al-mursalah). Artinya, menjaga kelestarian lingkungan, semisal air, sama pentingnya dengan menjaga lima hak dasar manusia (al-dharuriyyah al-khams). Sebab, masalah air sangat berkait dengan pola hidup dan etika keberagamaan yang benar dalam menjaga kelestarian sumberdaya air dari segala pencemaran dan pengrusakan. Sekaligus, memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan psikis manusia dan keberlangsungan generasi di masa depan.
Karena itulah, tujuan diproyeksikannya maqashid al-Syar’iyyah dan al-mashalih al-dharuriyah adalah untuk menjaga kekayaan alam, menjaga sumber-sumbernya, menumbuhkembangkan hasil dan produk-produknya, menyadarkan akibat dari perusakan kawasannya, serta pola pemerataannya pada seluruh lapisan umat manusia. Setiap tindakan yang menafikan tujuan-tujuan tersebut sama halnya menghilangkan tujuan-tujuan syariat Islam dan menodai prinsip-prinsip kepentingan yang terkandung di dalamnya.
Jadi, persoalan air dalam kehidupan kita lebih dari sekadar persoalan hukum dan perundang-undangan semata. Tetapi, lebih merupakan persoalan etika dan moralitas dalam kehidupan kita. Kesadaran akan hak milik Tuhan atas segala sesuatu yang harus dijaga, akan menumbuhkan rasa dan motivasi yang kuat pada diri kita untuk berbuat baik pada seluruh makhluk hidup di bumi ini.

No comments: