REPUBLIKA,
2 Agustus 2005
Fikih
Air yang Menjauhi Rakyat
Oleh Khaeron Sirin
Pada dasawarsa terakhir, kebutuhan masyarakat Indonesia
menunjukkan kecenderungan yang kian meningkat. Kelangkaan dan kesulitan
mendapatkan air bersih, akibat kerusakan alam dan pencemaran, menjadi
permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun
ke tahun.
Wajar, jika kemudian pemanfaatan sumberdaya air telah
menjadi komoditi strategis dan memiliki peran penting dalam menunjang kehidupan
masyarakat dan segala aktivitas yang dilakukannya. Terutama, sebagai sumber
pasokan air bersih untuk keperluan sehari-hari penduduk, proses industri dan
irigasi. Bahkan, di beberapa daerah tertentu, keberadaan air telah menjadi
komoditi ekonomi.
Lantas, apa jadinya jika air yang kita gunakan untuk
keperluan sehari-hari diprivatisasi dan dikomersilkan? Akankah air yang
notabenenya menjadi hajat hidup kita semua terkapling-kapling ke dalam hak
sekelompok orang?
Privatisasi dan Komersialisasi Air
Munculnya gagasan privatisasi dan komersialisasi air,
seperti terkandung dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, jelas akan
mengancam hak setiap individu warganegara atas air di Indonesia. Sebab, agenda
tersebut memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan
penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan
sungai) oleh badan usaha dan individu. Melalui privatisasi ini, maka jaminan
pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak tersebut akhirnya ditentukan oleh swasta
dengan mekanisme pasar, “siapa ingin membeli atau siapa ingin menjual”.
Sedangkan peran negara, dalam UU ini, dibatasi hanya
sebagai pembuat dan pengawas regulasi. Dalam hal ini, peran negara sebagai regulator
an sich akan kehilangan kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air
untuk memastikan terjaminnya keselamatan, dan kualitas pelayanan bagi setiap
pengguna air. Negara tidak dapat menjamin dan memberikan perlindungan pada
kelompok-kelompok masyarakat tidak mampu dan rentan dalam mendapatkan akses
terhadap air yang sehat dan terjangkau.
Ini berarti negara melepaskan tanggungjawabnya dalam
mengelola sumber daya untuk memenuhi hak-hak warganya. Jika demikian, dapat
dipastikan air akan semakin mahal dan itu akan mempersulit akses orang miskin
terhadap air. Sebab, air tidak lagi menjadi hak publik (umum), tetapi menjadi
barang privat yang bisa dikomersilkan.
Padahal, hak atas air merupakan hak asasi setiap manusia.
UUD 1945 pasal 33 ayat 2 menjamin hak dasar tersebut. Pasal 33 ayat 2 tersebut
menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Sedangkan, ayat 3
menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ini
berarti negara bertanggung jawab untuk menjamin dan menyelengarakan penyediaan
air yang menjangkau setiap individu warganegara.
Karenanya, dalam perspektif ini, perlu suatu perangkat
hukum atau undang-undang yang benar-benar mengatur pengelolaan sumberdaya air
secara lebih terpadu dan berwawasan lingkungan, yang bertumpu pada asas fungsi
sosial dan fungsi konservasi, kemanfaatan umum, keseimbangan, kelestarian,
keadilan, sekaligus tidak didominasi oleh kepentingan kapitalisme dan
liberalisme global.
Fikih Air
Memang, air merupakan unsur penting dalam segenap proses
dan perubahan kehidupan manusia. Ia menjadi faktor utama yang mendorong manusia
untuk menetap, dan secara otomatis mendorong majunya peradaban manusia. Di mana
ada air, di situ pula dapat ditemui tanda-tanda kehidupan. Ia juga berfungsi
sebagai mediator, pendukung, ataupun zat pokok proses metabolisme alam semesta.
Dengan kata lain, air memang mengandung potensi yang bisa membantu
terselenggaranya dinamika kehidupan di bumi. Pada titik singgung ini, Allah SWT
berfirman, “Dan Allah telah menciptakan semua hewan dari air” (QS.
Al-Nur:45). Dalam ayat lain, juga disebutkan, “Dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup” (Q.S. Al-Anbiya: 30).
Begitu pentingnya, hingga Allah SWT menjadikannya sebagai
hak milik segenap manusia. Hak untuk memanfaatkan air ini adalah milik setiap
individu, yang tidak bisa dimonopoli, dirusak, atau dibatalkan, apalagi diprivatisasi.
Rasulullah SAW sendiri dengan tegas menyatakan, “Tiga hal yang menjadi milik
publik (tidak bisa diprivatisasi) adalah air, tempat berlindung, dan api”
(HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Dengan demikian, seluruh umat manusia memiliki hak kolektif
atas air sebagai kebutuhan dasar bagi kehidupan. Karena itulah, manusia sudah
semestinya memperlakukan air dengan baik, sebagai salah satu nikmat yang paling
besar bagi kehidupan mereka, hewan dan tumbuhan. Artinya, air haruslah
dipandang sebagai anugerah yang wajib disyukuri, dijaga, dilestarikan dan
dimanfaatkan dengan cara-cara yang adil dan efisien.
Dengan kata lain, dalam mengatur dan memanfaatkan
sumberdaya air, hendaknya manusia tidak hanya melihat dalam perspektif
kepentingannya sendiri. Akan tetapi, hendaknya bersikap sebagai makhluk Tuhan
yang memikul tanggung jawab. Sebab, selain sebagai sebuah anugerah, air --yang
notabene menjadi sumber kehidupan di bumi ini-- adalah amanat Tuhan yang
diberikan kepada manusia, dan tidak boleh disia-siakan. Ia adalah hak mutlak
Allah atas hamba-hamba-Nya dan tidak terkait dengan hak individu atau kelompok
tertentu (privatisasi).
Maka, setiap upaya yang bisa menghalang-halangi manusia
dan makhluk hidup secara umum untuk mengakses sumber-sumber air dianggap sebagai
pelanggaran hak Tuhan dan hak publik (al-maslahah al-mursalah). Artinya,
menjaga kelestarian lingkungan, semisal air, sama pentingnya dengan menjaga
lima hak dasar manusia (al-dharuriyyah al-khams). Sebab, masalah air
sangat berkait dengan pola hidup dan etika keberagamaan yang benar dalam
menjaga kelestarian sumberdaya air dari segala pencemaran dan pengrusakan.
Sekaligus, memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan psikis manusia dan
keberlangsungan generasi di masa depan.
Karena itulah, tujuan diproyeksikannya maqashid
al-Syar’iyyah dan al-mashalih al-dharuriyah adalah untuk menjaga
kekayaan alam, menjaga sumber-sumbernya, menumbuhkembangkan hasil dan
produk-produknya, menyadarkan akibat dari perusakan kawasannya, serta pola
pemerataannya pada seluruh lapisan umat manusia. Setiap tindakan yang menafikan
tujuan-tujuan tersebut sama halnya menghilangkan tujuan-tujuan syariat Islam
dan menodai prinsip-prinsip kepentingan yang terkandung di dalamnya.
Jadi, persoalan air dalam kehidupan kita lebih dari sekadar
persoalan hukum dan perundang-undangan semata. Tetapi, lebih merupakan
persoalan etika dan moralitas dalam kehidupan kita. Kesadaran akan hak milik
Tuhan atas segala sesuatu yang harus dijaga, akan menumbuhkan rasa dan motivasi
yang kuat pada diri kita untuk berbuat baik pada seluruh makhluk hidup di bumi
ini.
No comments:
Post a Comment