REPUBLIKA, 22 Juli 2005
Ada Apa Dengan Ahmadiyah?
Oleh Khaeron Sirin
Hasan bin Mahmud Audah bekas Direktur Umum Bahasa Arab
Jemaah Ahmadiyah Pusat Landondalam bukunya, al-Ahmadiyah: Aqa’id wa Ahdats
(1998), mengatakan, Persoalan Ahmadiyah tidak usah bikin ruwet umat Islam,
tidak perlu dibesar-besarkan, dan tidak perlu sampai mengerahkan kekuatan fisik
untuk membentak, mencaci atau menekannya. Kita (umat Islam) cukup dengan
membeberkan kesesatannya dan mengajaknya kembali.
Pernyataan ini tentu tidak
diragukan lagi, karena terlontar dari mulut orang yang pernah lahir dan
dibesarkan dalam lingkungan Ahmadiyah. Menurutnya, ini adalah cara yang bijak
dalam menyikapi berkembangnya ajaran ‘menyimpang’ Jemaah Ahmadiyah di belahan
dunia ini. Tak perlu ada kekerasan, selain memberikan penyadaran dan mengajak
kembali ke dalam ajaran Islam yang benar.
Sayang, cara seperti itu tidak
dimanfaatkan oleh umat Islam di Indonesia. Perhelatan tahunan Jemaah Ahmadiyah
Indonesia (JAI) di Parung, Bogor (Jawa Barat) beberapa waktu lalu ternyata
harus berakhir rusuh. Gabungan kelompok umat Islam yang menamakan dirinya
Gerakan Umat Islam Indonesia menggagalkan dengan paksa ajang silaturahmi
tersebut. Tak ayal, korban materi dan fisik pun mewarnai aksi kekerasan
terhadap organisasi Ahmadiyah.
Peristiwa ini bukanlah kali
pertama. Pada September 2002 lalu, juga terjadi aksi penyerangan dan pembakaran
terhadap tempat-tempat ibadah, rumah tinggal, kios dan toko-toko milik jamaah
Ahmadiyah oleh kelompok masyarakat di Pancor Selong, Lombok Timur Nusa Tenggara
Barat. Akibatnya, ratusan anggota jemaah Ahmadiyah pun kehilangan tempat
aktivitas beribadah dan berniaga.
Sulit untuk mengetahui pasti apa
motif aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok umat Islam terhadap jemaah
Ahmadiyah di Indonesia. Awalnya, upaya menghancurkan organisasi Ahmadiyah
karena organisasi tersebut menganut ajaran yang menyimpang dari akidah Islam.
Kemudian, muncul dugaan bahwa kebencian kalangan umat Islam dipicu oleh
berbagai kegiatan Ahmadiyah yang sangat eksklusif dan tertutup, sehingga
menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan di tengah masyarakat sekitar. Belakangan
muncul kekhawatiran kalau kehadiran dan aktivitas Ahmadiyah terkait dengan
upaya (misi) pendangkalan akidah dan penghancuran (syariat) Islam di Indonesia.
Tak pelak, api kebencian umat Islam
Indonesia terhadap jemaah Ahmadiyah pun terus membara. Berbagai aksi dan
intimidasi terus dilakukan. Klimaksnya, kelompok umat Islam secara ‘beringas’
berhasil menggagalkan kegiatan tahunan yang akan dilakukan jemaah Ahmadiyah di
Parung Bogor. Bahkan, untuk melerainya, muncul Surat Pernyataan Bersama yang
dibuat oleh Bupati, Ketua DPRD, Dandim, Kapolres, Kajari dan MUI Bogor untuk
menutup kegiatan jemaah Ahmadiyah tersebut.
Di sini, masalah pun menjadi bias.
Persoalan yang bermula dari pertentangan ajaran, mulai bergeser ke arah kecemburuan
sosial dan politik (hukum). Belum tuntas persoalan klaim ‘kesesatan’ dalam diri
jemaah Ahmadiyah didialogkan, masyarakat sudah menghakimi dengan berbagai aksi
kekerasan. Bahkan, pemerintah pun telah menutup diri dan berlindung di balik
fatwa MUI 1980 dan fatwa MUI Bogor tahun 2005 yang menganggap Ahmadiyah sebagai
jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.
Klaim ‘teologis’ seperti itu
mungkin tidak berlebihan. Mengingat, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia memang
sangat terkait dengan sang pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani, yang
memproklamirkan diri sebagai nabi sekaligus juru selamat akhir zaman (Imam
Mahdi). Secara akidah, ajaran ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam
yang murni. Maka, seiring dengan kelahirannya, aliran ini sudah dianggap
sebagai aliran sesat dan terus dihujat oleh umat Islam dunia.
Tetapi, aksi kekerasan yang
dilakukan massa atau kelompok umat Islam terhadap jemaah Ahmadiyah bagaimanapun
tidak bisa dibenarkan. Tindakan tersebut jelas merupakan suatu pelanggaran
hak-hak warga negara dan menciderai tatanan hukum di Indonesia. Artinya, jemaah
Ahmadiyah memiliki hak untuk dilindungi secara hukum, sekaligus hak hukum untuk
menyelesaikan atau menuntut setiap pelanggaran yang menimpa mereka. Ini adalah
jaminan konstitusi dan bentuk perlindungan hukum dan keadilan yang tidak bisa
dirampas oleh siapa pun.
Selain melanggar hukum, tindakan
anarkis tersebut pada dasarnya telah mencoreng martabat umat dan citra Islam
itu sendiri sebagai agama rahmat, agama cinta dan agama damai. Aksi massa
inisecara tidak langsungjuga menunjukkan betapa pemahaman keagamaan kita
seringkali tidak didialogkan lewat budaya dan peradaban bangsa.
Dalam hal ini, ajaran amar ma’ruf
dan nahi munkar sebagai manifestasi kontrol sosial masyarakat tidak mengalami
kesinambungan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, doktrin ‘mengajak kepada
yang baik (benar) dan mencegah dari kemungkaran’ oleh umat Islam tidak
dikomunikasikan secara kekeluargaan sebagaimana budaya masyarakat Indonesia.
Sejatinya, umat Islam tidak perlu
bersikap antipati, mudah tersinggung dan bereaksi terlalu keras terhadap
perbedaan pemahaman keagamaan. Pendekatan reaktif ataupun represif yang
dilakukan dalam berdakwah tidaklah selalu menjanjikan ‘kemenangan’. Tindakan
seperti itumengutip istilah Muhammad Shahrur (1994)hanya akan menyebabkan
terjadinya tirani keberagamaan, baik pemikiran, pengetahuan ataupun sosial di
tengah kehidupan masyarakat kita. Selain tidak menyentuh akar persoalan, bukan
tidak mungkin, tindakan itu sekadar menimbulkan perpecahan dan kerusakan,
sekaligus menimbulkan semangat ‘membela diri’ di kalangan jemaah yang ditekan.
Pengalaman telah membuktikan, banyak jemaah yang
sebelumnya sempat bertaubat dan ingin kembali ke ajaran Islam semula, justru
balik lagi ke aliran (Ahmadiyah) yang dianggap masyarakat luas sebagai aliran
sesat. Bahkan, banyak jemaah yang justru semakin yakin dengan ajaran yang
dipahaminya sekarang ini. Alhasil, bukan alirannya hilang atau jemaahnya sadar,
tapi sebaliknya kian berkembang dan memiliki militansi di kalangan pengikutnya.
Padahal, dalam beberapa kasus di luar negeri,
sebagaimana pengalaman Hasan bin Mahmud Audah, banyak jemaah Ahmadiyah yang
akhirnya kembali ke ajaran Islam setelah melakukan berbagai dialog dengan umat
Islam.
Artinya, konsep amar ma’ruf dan nahi munkar dalam
konteks saat ini haruslah dikomunikasikan secara dialogis. Kita harus
menampilkan secara tegas identitas keagamaan yang damai, penuh cinta kasih dan
membebaskan. Bila perlu, konsep fastabiq al-khairat (berlomba-lomba dalam
kebaikan) dimaknai tidak hanya mengajak berbuat baik di kalangan sendiri, tapi
sekaligus memberikan kebaikan kepada mereka yang berbeda paham untuk kembali
kepada ajaran Islam secara damai dan penuh kesadaran.
Di sinilah pentingnya
kontrol sosial keagamaan secara dialogis ataupun dakwah bi al-hal (sikap
keteladanan) dengan memperhatikan budaya dan keragaman masyarakat yang ada.
Tentunya, strategi dakwah ataupun dialog-dialog agama yang terbuka dan
bijaksana seperti itu sangat relevan dan bisa menjadi model ideal bagi
perkembangan kehidupan agama-agama di masa depan. Inilah keinginan kita bersama
bahwa agama (Islam) harus dipahami sebagai institusi yang bisa melahirkan
kedamaian, kasih sayang dan kepuasan dalam menghadapi berbagai persoalan saat
ini. Wa Allahu A’lam.
No comments:
Post a Comment