Saturday, November 11, 2017

Menggagas Kurikulum HAM



REPUBLIKA, 13 Desember 2005
Menggagas Kurikulum HAM
Oleh Khaeron Sirin


Di lingkungan perguruan tinggi, pemahaman tentang wacana dan praksis hak asasi manusia (HAM) masih kurang dan belum memadai. Padahal, dunia kampus merupakan aset bangsa yang sangat strategis bagi penanaman dan sosialisasi HAM untuk generasi penerus. Hal ini terlihat dari minimnya pengetahuan dan implementasi civitas akademika tentang HAM.
Dalam hal ini, penyikapan civitas akademika semisal dosen dan mahasiswa terhadap konflik dan kekerasan yang terjadi selama ini masih menggunakan sentimen agama. Penggunaan paradigma eksklusif agama seperti ini bukan saja mencederai ajaran agama itu sendiri seperti toleransi dan perdamaian tetapi juga tidak efektif dan kurang mampu menarik simpati kalangan masyarakat secara umum, khususnya masyarakat di luar Islam.
Itulah salah satu yang mendorong Direktorat HAM mengadakan workshop ujicoba kurikulum HAM di perguruan tinggi, pada 28-29 September 2005 lalu. Kegiatan tersebut sebagai tindak lanjut dari perumusan kurikulum HAM tahun 2004, di mana penulis menjadi anggota tim perumus kurikulum HAM di perguruan tinggi.
Kegiatan tersebut dianggap sangat penting dan strategis, mengingat para peserta didik adalah para calon intelektual, sekaligus terkait dengan pilar keempat dalam Rancangan Aksi Nasional HAM (Ranham) Indonesia 2004-2009 tentang Diseminasi dan Pendidikan HAM.

Pendidikan HAM di kampus
Selama ini, komitmen bidang pendidikan di Indonesia kurang mendapat prioritas utama, sehingga yang terjadi adalah mutu pendidikan anak-anak bangsa tidak menjadi lebih baik. Terkait soal HAM, masalah yang dihadapi adalah kurang efektifnya pendidikan dalam mengembangkan pribadi dan watak perguruan tinggi yang berakibat pada hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan.
Sikap dan perilaku pendidik, lingkungan pendidikan, dan peranan keluarga merupakan unsur penting dalam menanamkan nilai-nilai moral dan HAM. Selain itu, matakuliah yang berorientasi pada moral serta pendidikan HAM kurang diberikan dalam bentuk-bentuk latihan pengalaman, sehingga tidak tecermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Akibatnya, masyarakat kampus tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, dan khususnya kurang menyadari keberadaan masyarakat itu sendiri.
Ini berarti, dunia pendidikan mengalami kegagalan dari aspek kurikulumnya, dalam menjawab persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa saat ini. Hal tersebut juga secara implisit menyiratkan betapa rendahnya penghargaan civitas kampus terhadap HAM.
Karena itu diperlukan upaya-upaya yang serius, kontinyu, dan terpusat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang HAM, yang pada akhirnya bisa menempatkan HAM sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia. Salah satunya adalah dengan memasukkan kurikulum HAM ke dalam sistem kurikulum di perguruan tinggi.
Secara konstitusional dan formal-kurikuler, sebenarnya pendidikan HAM sudah ada sejak tahun 1945 yang ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tersurat dalam pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan dalam tatanan pendidikan nasional. Namun dalam instrumentasi dan praksisnya, perkembangan sistem pendidikan kita begitu fluktuatif dan kurang mendapat prioritas utama, mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi.
Selama itu pula, pendidikan HAM hingga kini belum memberikan hasil yang menggembirakan. Indikator yang kasat mata dapat kita amati dan rasakan bahwa sampai hari ini antara lain kebebasan mengeluarkan pendapat yang cenderung anarkis, pelanggaran HAM di mana-mana, komunikasi sosial-politik yang cenderung asal menang sendiri, hukum yang terkalahkan, dan kontrol sosial yang sering lepas tata krama, serta terdegradasinya kewibawaan para pejabat negara.
Dari sinilah, perlunya rekonseptualisasi pendidikan HAM untuk Indonesia, agar nantinya dapat diperoleh paradigma pendidikan HAM, yang bukan hanya secara konstitusional ada, tetapi secara instrumental dan praksis benar-benar terjadi dan memberikan dampak sosial-kultural terhadap semakin meningkatnya kualitas kehidupan berdemokrasi dan ber-HAM di Indonesia.
Dengan kata lain, perlu dibangun paradigma pendidikan berperspektif HAM yang merupakan bagian integral dari proses pendidikan secara keseluruhan dan proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai suatu keutuhan.
Untuk itu, pada tataran instrumental makro school-based human rights education dan society-based human rights education, seyogianya dirancang secara sistemik dengan sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Selain itu, secara praksis, juga diciptakan jaringan dan iklim sosial kultural yang memungkinkan terjadinya interaksi fungsional pedagogis kegiatan-kegiatan di kampus dan di luar kampus.
Kurikulum HAM
Secara tradisional, khususnya di Indonesia, matakuliah yang terkait langsung dengan HAM terkesan lebih banyak diajarkan atau tought. Bukan dipelajari atau learned dengan peran dosen yang lebih dominan. Karenanya, situasi kelasnya pun --meminjam istilah Flanders (1972)-- lebih bersifat dominative, bukan integrative. Dampak instruksional dan pengiringnya pun tentu tak bisa dielakkan lagi lebih bersifat pengetahuan atau knowledge oriented.
Hal tersebut menuntut repositioning kurikulum pendidikan dalam kerangka berpikir yang baru, yaitu: untuk jangka pendek, melakukan penyempurnaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang ada menjadi salah satu acuan pengajaran memberdayakan, dan memberi kemudahan bagi guru dalam melaksanakan tugas menggairahkan kreativitas dan visi HAM kepada peserta didik. Misalnya, dengan memasukkan materi HAM ke dalam kurikulum yang ada.
Sedangkan untuk jangka panjang, melakukan pengembangan kurikulum ''Pendidikan HAM'' sebagai mata pelajaran mandiri (monolitik) yang dinamis dan komprehensif dalam rangka membentuk warga negara Indonesia yang demokratis, berjati diri kokoh, dan penuh penghormatan terhadap hak-hak asasi orang lain.
Selanjutnya, perlu diupayakan ujicoba (try out) dan pengembangan kurikulum HAM di lingkungan perguruan tinggi. dalam jangka satu tahun setelah ujicoba ini, akan dilakukan evaluasi tentang keberhasilan pendidikan HAM di perguruan tinggi. Baik yang menyangkut metodologi pengajaran ataupun kurikulum pendidikannya, terhadap pemahaman, sikap, dan perilaku civitas akademika.
Yang pasti, bila ditampilkan dalam wujud program kurikulum perguruan tinggi, paradigma pendidikan HAM yang baru ini menuntut hal-hal sebagai berikut; pertama, memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat dan karakteristik HAM, khususnya dalam perspektif lokal (budaya dan agama).
Kedua, mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi kampus agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita HAM telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktik di berbagai belahan bumi. Ketiga, tersedianya sumber belajar yang memungkinkan kampus mampu mengeksplorasi sejarah HAM di negara kita untuk dapat menjawab persoalan apakah penerapan dan penegakan HAM di negara kita ini sudah baik atau belum.
Keempat, dikembangkannya kelas sebagai democratic laboratory, lingkungan kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom yang memungkinkan mahasiswa dapat belajar HAM dalam situasi berdemokrasi.

Nilai-nilai lokal
Hal yang menarik dalam menggagas kurikulum HAM di perguruan tinggi adalah keinginan untuk memasukkan unsur-unsur lokal, seperti budaya bangsa dan agama. Hal ini mengingat HAM masih menjadi wacana yang belum sepenuhnya 'membumi' di ranah Indonesia. Gagasan untuk memasukkan nilai-nilai lokal tersebut cukup beralasan, mengingat selama ini universalitas HAM masih bisa diperdebatkan dan belum memiliki ujud yang utuh dan kontekstual.
Artinya, kita tidak hanya menyiapkan instrumen HAM internasional dalam kurikulumnya nanti, tetapi juga memasukkan nilai-nilai atau instrumen lokal (nasional), seperti budaya dan agama. Hal ini dirasa penting mengingat penerapan HAM selama ini masih 'jauh panggang dari api'. Diharapkan, dengan memasukkan nilai-nilai lokal, praktik dan penghormatan HAM bisa menyatu dalam kehidupan masyarakat dan negara kita.
Hal itu demi menghapus kekhawatiran adanya anggapan bahwa HAM semata-mata lahir dari pemikiran dan angan-angan manusia an sich, dengan mengabaikan fitrah yang melekat pada jiwa setiap individu, yaitu keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, juga untuk menjadikan kampus sebagai agent of change yang bisa mentransformasikan wacana global, semisal HAM, ke dalam nilai-nilai budaya masyarakat bangsa kita.
Dengan demikian, dimasukkannya kurikulum HAM di perguruan tinggi HAM akan menjadi wahana diseminasi yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai universalitas manusia di muka bumi ini, yang pada akhirnya bisa menghantarkan masyarakat kita menjadi good citizenship dan jauh dari problem disintegrasi bangsa.

No comments: