REPUBLIKA, 13 Desember 2005
Menggagas
Kurikulum HAM
Oleh Khaeron Sirin
Di lingkungan perguruan tinggi,
pemahaman tentang wacana dan praksis hak asasi manusia (HAM) masih kurang dan
belum memadai. Padahal, dunia kampus merupakan aset bangsa yang sangat
strategis bagi penanaman dan sosialisasi HAM untuk generasi penerus. Hal ini
terlihat dari minimnya pengetahuan dan implementasi civitas akademika tentang
HAM.
Dalam hal ini, penyikapan civitas
akademika semisal dosen dan mahasiswa terhadap konflik dan kekerasan yang
terjadi selama ini masih menggunakan sentimen agama. Penggunaan paradigma
eksklusif agama seperti ini bukan saja mencederai ajaran agama itu sendiri
seperti toleransi dan perdamaian tetapi juga tidak efektif dan kurang mampu
menarik simpati kalangan masyarakat secara umum, khususnya masyarakat di luar
Islam.
Itulah salah satu yang mendorong
Direktorat HAM mengadakan workshop ujicoba kurikulum HAM di perguruan tinggi,
pada 28-29 September 2005 lalu. Kegiatan tersebut sebagai tindak lanjut dari
perumusan kurikulum HAM tahun 2004, di mana penulis menjadi anggota tim perumus
kurikulum HAM di perguruan tinggi.
Kegiatan tersebut dianggap sangat
penting dan strategis, mengingat para peserta didik adalah para calon
intelektual, sekaligus terkait dengan pilar keempat dalam Rancangan Aksi
Nasional HAM (Ranham) Indonesia 2004-2009 tentang Diseminasi dan Pendidikan
HAM.
Pendidikan HAM di kampus
Selama ini, komitmen bidang pendidikan
di Indonesia kurang mendapat prioritas utama, sehingga yang terjadi adalah mutu
pendidikan anak-anak bangsa tidak menjadi lebih baik. Terkait soal HAM, masalah
yang dihadapi adalah kurang efektifnya pendidikan dalam mengembangkan pribadi
dan watak perguruan tinggi yang berakibat pada hilangnya kepribadian dan
kesadaran akan makna hakiki kehidupan.
Sikap dan perilaku pendidik,
lingkungan pendidikan, dan peranan keluarga merupakan unsur penting dalam
menanamkan nilai-nilai moral dan HAM. Selain itu, matakuliah yang berorientasi
pada moral serta pendidikan HAM kurang diberikan dalam bentuk-bentuk latihan
pengalaman, sehingga tidak tecermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Akibatnya, masyarakat kampus tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun
toleransi, kebersamaan, dan khususnya kurang menyadari keberadaan masyarakat
itu sendiri.
Ini berarti, dunia pendidikan
mengalami kegagalan dari aspek kurikulumnya, dalam menjawab persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat dan bangsa saat ini. Hal tersebut juga secara implisit
menyiratkan betapa rendahnya penghargaan civitas kampus terhadap HAM.
Karena itu diperlukan upaya-upaya yang
serius, kontinyu, dan terpusat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang HAM, yang pada akhirnya bisa menempatkan HAM sebagai bagian
dari budaya bangsa Indonesia. Salah satunya adalah dengan memasukkan kurikulum
HAM ke dalam sistem kurikulum di perguruan tinggi.
Secara konstitusional dan
formal-kurikuler, sebenarnya pendidikan HAM sudah ada sejak tahun 1945 yang
ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tersurat dalam
pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan dalam tatanan pendidikan nasional. Namun
dalam instrumentasi dan praksisnya, perkembangan sistem pendidikan kita begitu
fluktuatif dan kurang mendapat prioritas utama, mulai dari era Orde Lama, Orde
Baru, hingga era reformasi.
Selama itu pula, pendidikan HAM hingga
kini belum memberikan hasil yang menggembirakan. Indikator yang kasat mata
dapat kita amati dan rasakan bahwa sampai hari ini antara lain kebebasan
mengeluarkan pendapat yang cenderung anarkis, pelanggaran HAM di mana-mana,
komunikasi sosial-politik yang cenderung asal menang sendiri, hukum yang
terkalahkan, dan kontrol sosial yang sering lepas tata krama, serta
terdegradasinya kewibawaan para pejabat negara.
Dari sinilah, perlunya
rekonseptualisasi pendidikan HAM untuk Indonesia, agar nantinya dapat diperoleh
paradigma pendidikan HAM, yang bukan hanya secara konstitusional ada, tetapi
secara instrumental dan praksis benar-benar terjadi dan memberikan dampak
sosial-kultural terhadap semakin meningkatnya kualitas kehidupan berdemokrasi
dan ber-HAM di Indonesia.
Dengan kata lain, perlu dibangun
paradigma pendidikan berperspektif HAM yang merupakan bagian integral dari
proses pendidikan secara keseluruhan dan proses kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sebagai suatu keutuhan.
Untuk itu, pada tataran instrumental
makro school-based human rights education dan society-based human rights
education, seyogianya dirancang secara sistemik dengan sistem pendidikan nasional
secara keseluruhan. Selain itu, secara praksis, juga diciptakan jaringan dan
iklim sosial kultural yang memungkinkan terjadinya interaksi fungsional
pedagogis kegiatan-kegiatan di kampus dan di luar kampus.
Kurikulum HAM
Secara tradisional, khususnya di
Indonesia, matakuliah yang terkait langsung dengan HAM terkesan lebih banyak
diajarkan atau tought. Bukan dipelajari atau learned dengan peran dosen yang
lebih dominan. Karenanya, situasi kelasnya pun --meminjam istilah Flanders
(1972)-- lebih bersifat dominative, bukan integrative. Dampak instruksional dan
pengiringnya pun tentu tak bisa dielakkan lagi lebih bersifat pengetahuan atau
knowledge oriented.
Hal tersebut menuntut repositioning
kurikulum pendidikan dalam kerangka berpikir yang baru, yaitu: untuk jangka
pendek, melakukan penyempurnaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang ada
menjadi salah satu acuan pengajaran memberdayakan, dan memberi kemudahan bagi
guru dalam melaksanakan tugas menggairahkan kreativitas dan visi HAM kepada
peserta didik. Misalnya, dengan memasukkan materi HAM ke dalam kurikulum yang
ada.
Sedangkan untuk jangka panjang,
melakukan pengembangan kurikulum ''Pendidikan HAM'' sebagai mata pelajaran
mandiri (monolitik) yang dinamis dan komprehensif dalam rangka membentuk warga
negara Indonesia yang demokratis, berjati diri kokoh, dan penuh penghormatan
terhadap hak-hak asasi orang lain.
Selanjutnya, perlu diupayakan ujicoba
(try out) dan pengembangan kurikulum HAM di lingkungan perguruan tinggi. dalam
jangka satu tahun setelah ujicoba ini, akan dilakukan evaluasi tentang
keberhasilan pendidikan HAM di perguruan tinggi. Baik yang menyangkut
metodologi pengajaran ataupun kurikulum pendidikannya, terhadap pemahaman,
sikap, dan perilaku civitas akademika.
Yang pasti, bila ditampilkan dalam
wujud program kurikulum perguruan tinggi, paradigma pendidikan HAM yang baru
ini menuntut hal-hal sebagai berikut; pertama, memberikan perhatian yang cermat
dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat dan
karakteristik HAM, khususnya dalam perspektif lokal (budaya dan agama).
Kedua, mengembangkan kurikulum atau
paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi kampus agar mampu
mengeksplorasi bagaimana cita-cita HAM telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan
dan praktik di berbagai belahan bumi. Ketiga, tersedianya sumber belajar yang
memungkinkan kampus mampu mengeksplorasi sejarah HAM di negara kita untuk dapat
menjawab persoalan apakah penerapan dan penegakan HAM di negara kita ini sudah
baik atau belum.
Keempat, dikembangkannya kelas sebagai
democratic laboratory, lingkungan kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan
masyarakat luas sebagai open global classroom yang memungkinkan mahasiswa dapat
belajar HAM dalam situasi berdemokrasi.
Nilai-nilai lokal
Hal yang menarik dalam menggagas
kurikulum HAM di perguruan tinggi adalah keinginan untuk memasukkan unsur-unsur
lokal, seperti budaya bangsa dan agama. Hal ini mengingat HAM masih menjadi
wacana yang belum sepenuhnya 'membumi' di ranah Indonesia. Gagasan untuk
memasukkan nilai-nilai lokal tersebut cukup beralasan, mengingat selama ini
universalitas HAM masih bisa diperdebatkan dan belum memiliki ujud yang utuh
dan kontekstual.
Artinya, kita tidak hanya menyiapkan
instrumen HAM internasional dalam kurikulumnya nanti, tetapi juga memasukkan
nilai-nilai atau instrumen lokal (nasional), seperti budaya dan agama. Hal ini
dirasa penting mengingat penerapan HAM selama ini masih 'jauh panggang dari
api'. Diharapkan, dengan memasukkan nilai-nilai lokal, praktik dan penghormatan
HAM bisa menyatu dalam kehidupan masyarakat dan negara kita.
Hal itu demi menghapus kekhawatiran
adanya anggapan bahwa HAM semata-mata lahir dari pemikiran dan angan-angan
manusia an sich, dengan mengabaikan fitrah yang melekat pada jiwa setiap
individu, yaitu keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, juga untuk
menjadikan kampus sebagai agent of change yang bisa mentransformasikan wacana
global, semisal HAM, ke dalam nilai-nilai budaya masyarakat bangsa kita.
Dengan demikian, dimasukkannya
kurikulum HAM di perguruan tinggi HAM akan menjadi wahana diseminasi yang
sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai universalitas manusia di muka bumi
ini, yang pada akhirnya bisa menghantarkan masyarakat kita menjadi good
citizenship dan jauh dari problem disintegrasi bangsa.
No comments:
Post a Comment