KORAN TEMPO, 13 Nopember 2004
Lebaran dan Rekonsiliasi Spiritual
Oleh Khaeron Sirin
Idul Fitri adalah saat yang
paling dinantikan oleh umat Islam setelah sebulan berpuasa. Pada hari itu,
segala emosi dan pikiran umat Islam di seluruh penjuru dunia melebur ke dalam
kekhidmatan suasana "kemenangan" dan "kesucian" di hadapan
Allah SWT. Berbagai ungkapan kebahagiaan tumpah-ruah dalam berbagai kata,
kalimat, dan kreasi umat manusia seiring dengan berkumandangnya gema takbir
Ilahi.
Inilah hari kemenangan yang
dirayakan setiap akhir Ramadan oleh umat Islam di seluruh dunia. Semuanya tak bisa
dilukiskan, selain rasa haru dan bahagia yang menyelimuti suasana Idul Fitri di
berbagai bangsa dan negara. Yang jelas, masing-masing memiliki keunikan
tersendiri dalam menyambut dan merayakan datangnya hari raya ini.
Misalnya saja, dalam tradisi
masyarakat Islam Indonesia, Idul Fitri lebih dikenal dengan istilah Lebaran
ataupun halalbihalal. Dalam tradisi ini, umat Islam secara serempak membuka
pintu hati mereka untuk menerima dan meminta maaf kepada siapa saja yang mereka
jumpai. Saling mengunjungi di antara keluarga dan kerabat, tetangga dan sahabat
senantiasa mewarnai saat-saat gema takbir dikumandangkan di berbagai sudut kota
dan desa.
Bahkan pada hari itu umat
Islam melupakan sejenak berbagai rutinitas kesibukan, kesedihan, ataupun segala
kejelekan sifat, dan melebur ke dalam suasana yang membahagiakan dan penuh
kegembiraan. Tempat-tempat yang biasanya sepi, seperti kuburan, panti-panti
jompo, dan rumah anak-anak yatim, menjadi ramai dikunjungi orang-orang yang
rindu akan kebaikan.
Realitas ini menggambarkan
betapa Lebaran memiliki makna yang sangat istimewa bagi bangsa Indonesia,
khususnya umat Islam. Berbagai tradisi, seperti mudik Lebaran, halalbihalal,
ziarah, berbusana baru, dan gema takbir Ilahi adalah tradisi yang sangat
melekat di masyarakat kita. Semuanya terasa unik dan istimewa di hari itu
ketimbang hari-hari lain.
Kebahagiaan, kebersamaan,
persaudaraan, cinta kasih, dan segala bentuk kebaikan melebur menjadi satu,
mengikis semua sifat dan perilaku yang menyimpang. Dari sini, Lebaran sarat dengan
makna, sekaligus menjadi tempat persemaian benih-benih kebaikan dan nilai-nilai
kemanusiaan yang hakiki.
Maka secara sosiologis,
tradisi semacam ini bisa menjadi ajang "pemulihan" rasa kemanusiaan
yang selama ini terkekang oleh arus modernisasi. Kita tahu, modernisasi telah
menumbuhkan semangat ekonomi, materialisme, individualisme, dan meruntuhkan
struktur sosial yang sudah mapan. Dengan demikian, terpaksa atau tidak, mereka
harus rela melupakan sanak keluarga, sahabat, kampung halaman, meninggalkan
nilai-nilai lama dan berubah menjadi "hamba" kemodernan yang
mengambil nilai-nilai baru demi memperoleh sesuap nasi.
Lebih parahnya lagi,
modernisasi telah merenggut nurani manusia dari dirinya, sehingga mereka
mengalami kekosongan nilai dan spiritual yang menjadi kebutuhan dasar setiap
manusia.
Lebaran adalah salah satu
contoh bagaimana simbol-simbol Islam diterjemahkan secara kreatif dan dinamis
ke dalam budaya masyarakat Indonesia. Salah satunya, kita bisa menyaksikan,
saat-saat menjelang Idul Fitri, arus mudik yang begitu unik yang hanya bisa
disaksikan di Indonesia dan melibatkan jutaan manusia. Penumpang yang
berdesak-desakan, wajah-wajah yang kelelahan, dan barang bawaan yang begitu
berat disertai mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung. Semuanya
bercampur baur dalam suasana keceriaan membayangkan kampung halamannya yang
lama ditinggalkan.
Keceriaan pun mencapai
puncaknya, saat gema takbir Ilahi berkumandang di berbagai penjuru sebagai
tanda datangnya Hari Kemenangan bagi umat Islam yang berpuasa. Mereka dengan
penuh kesadaran tanpa dipaksa saling mengunjungi, dari satu rumah ke rumah
lain. Mereka pun tanpa sungkan-sungkan saling meminta maaf dan memaafkan, dari
anak-anak hingga orang dewasa.
Tradisi (silaturahmi) ini
ditandai bukan saja dengan menyebarkan keramahan, memperkukuh ikatan dengan
bersalaman, tetapi juga memasyarakatkan budaya "memberi" dan
"menerima". Bahkan silaturahmi ini tidak saja ditujukan kepada mereka
yang masih hidup, tetapi juga kepada mereka yang sudah meninggal, yaitu ziarah
kubur.
Dari sini, mudik, silaturahmi,
dan ziarah kubur adalah budaya sekaligus kreasi masyarakat bangsa yang
menakjubkan. Ketiganya berfungsi sebagai terapi untuk manusia modern, yaitu
manusia-manusia yang selama ini tertindas, kehilangan jati diri, dan menjadi
korban pesatnya pembangunan dan modernisasi.
Karenanya, mudik bukan sekadar
hiburan ataupun liburan, tetapi lebih merupakan terapi massal yang efektif,
efisien, dan bernilai positif bagi siapa pun. Dengan mudik, orang-orang yang
sudah kehilangan jati dirinya dalam hiruk-pikuk metropolitan ingin menemukan
kembali masa lalunya di kampung halaman.
Mereka ingin kembali sebagai
manusia yang diperlakukan secara manusiawi oleh lingkungannya. Mereka ingin
meninggalkan "ganas"-nya kehidupan kota dan kembali menikmati
keramahan wajah-wajah kampung. Mereka pun ingin mengungkapkan kembali perasaan
kekeluargaan yang ramah dan menyejukkan, serta menjalin kembali cinta kasih di
antara jiwa-jiwa manusia setelah lama berpisah.
Lebaran mengandung makna yang
mendalam bagi mereka yang selama ini kehilangan rasa kemanusiaannya, karena
disibukkan dengan kegiatan rutinitas sehari-hari yang membosankan. Lebaran
berarti kembalinya rasa kemanusiaan kita, rasa kasih sayang, bahkan segala
emosi kita yang manusiawi kepada mereka yang ada di sekitar kita. Dari sini,
masyarakat modern adalah masyarakat yang sedang melakukan perjalanan melintas
waktu, perjalanan historis, ataupun napak tilas.
Dari sinilah, pemerintah hendaknya mampu
mengambil spirit berlebaran yang dilakukan oleh umat Islam. Dalam hal ini,
Lebaran atau juga halalbihalal bisa dimaknai secara strategis sebagai ajang
rekonsiliasi dan koordinasi di antara elite politik untuk membangun bangsa.
Artinya, bangsa ini harus mampu membawa masa kini ke masa lalu (napak tilas),
guna memperoleh kekuatan bersama dalam menempuh masa depan. Inilah yang
disimbolisasi oleh tradisi berlebaran, yaitu ramai-ramai pulang kampung untuk
kemudian berangkat ke kota lagi. Mohon maaf lahir dan batin.
No comments:
Post a Comment