Wednesday, November 8, 2017

Lebaran dan Rekonsiliasi Spiritual



KORAN TEMPO, 13 Nopember 2004
Lebaran dan Rekonsiliasi Spiritual
 Oleh Khaeron Sirin

Idul Fitri adalah saat yang paling dinantikan oleh umat Islam setelah sebulan berpuasa. Pada hari itu, segala emosi dan pikiran umat Islam di seluruh penjuru dunia melebur ke dalam kekhidmatan suasana "kemenangan" dan "kesucian" di hadapan Allah SWT. Berbagai ungkapan kebahagiaan tumpah-ruah dalam berbagai kata, kalimat, dan kreasi umat manusia seiring dengan berkumandangnya gema takbir Ilahi.
Inilah hari kemenangan yang dirayakan setiap akhir Ramadan oleh umat Islam di seluruh dunia. Semuanya tak bisa dilukiskan, selain rasa haru dan bahagia yang menyelimuti suasana Idul Fitri di berbagai bangsa dan negara. Yang jelas, masing-masing memiliki keunikan tersendiri dalam menyambut dan merayakan datangnya hari raya ini.
Misalnya saja, dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia, Idul Fitri lebih dikenal dengan istilah Lebaran ataupun halalbihalal. Dalam tradisi ini, umat Islam secara serempak membuka pintu hati mereka untuk menerima dan meminta maaf kepada siapa saja yang mereka jumpai. Saling mengunjungi di antara keluarga dan kerabat, tetangga dan sahabat senantiasa mewarnai saat-saat gema takbir dikumandangkan di berbagai sudut kota dan desa.
Bahkan pada hari itu umat Islam melupakan sejenak berbagai rutinitas kesibukan, kesedihan, ataupun segala kejelekan sifat, dan melebur ke dalam suasana yang membahagiakan dan penuh kegembiraan. Tempat-tempat yang biasanya sepi, seperti kuburan, panti-panti jompo, dan rumah anak-anak yatim, menjadi ramai dikunjungi orang-orang yang rindu akan kebaikan.
Realitas ini menggambarkan betapa Lebaran memiliki makna yang sangat istimewa bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Berbagai tradisi, seperti mudik Lebaran, halalbihalal, ziarah, berbusana baru, dan gema takbir Ilahi adalah tradisi yang sangat melekat di masyarakat kita. Semuanya terasa unik dan istimewa di hari itu ketimbang hari-hari lain.
Kebahagiaan, kebersamaan, persaudaraan, cinta kasih, dan segala bentuk kebaikan melebur menjadi satu, mengikis semua sifat dan perilaku yang menyimpang. Dari sini, Lebaran sarat dengan makna, sekaligus menjadi tempat persemaian benih-benih kebaikan dan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.
Maka secara sosiologis, tradisi semacam ini bisa menjadi ajang "pemulihan" rasa kemanusiaan yang selama ini terkekang oleh arus modernisasi. Kita tahu, modernisasi telah menumbuhkan semangat ekonomi, materialisme, individualisme, dan meruntuhkan struktur sosial yang sudah mapan. Dengan demikian, terpaksa atau tidak, mereka harus rela melupakan sanak keluarga, sahabat, kampung halaman, meninggalkan nilai-nilai lama dan berubah menjadi "hamba" kemodernan yang mengambil nilai-nilai baru demi memperoleh sesuap nasi.
Lebih parahnya lagi, modernisasi telah merenggut nurani manusia dari dirinya, sehingga mereka mengalami kekosongan nilai dan spiritual yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia.
Lebaran adalah salah satu contoh bagaimana simbol-simbol Islam diterjemahkan secara kreatif dan dinamis ke dalam budaya masyarakat Indonesia. Salah satunya, kita bisa menyaksikan, saat-saat menjelang Idul Fitri, arus mudik yang begitu unik yang hanya bisa disaksikan di Indonesia dan melibatkan jutaan manusia. Penumpang yang berdesak-desakan, wajah-wajah yang kelelahan, dan barang bawaan yang begitu berat disertai mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung. Semuanya bercampur baur dalam suasana keceriaan membayangkan kampung halamannya yang lama ditinggalkan.
Keceriaan pun mencapai puncaknya, saat gema takbir Ilahi berkumandang di berbagai penjuru sebagai tanda datangnya Hari Kemenangan bagi umat Islam yang berpuasa. Mereka dengan penuh kesadaran tanpa dipaksa saling mengunjungi, dari satu rumah ke rumah lain. Mereka pun tanpa sungkan-sungkan saling meminta maaf dan memaafkan, dari anak-anak hingga orang dewasa.
Tradisi (silaturahmi) ini ditandai bukan saja dengan menyebarkan keramahan, memperkukuh ikatan dengan bersalaman, tetapi juga memasyarakatkan budaya "memberi" dan "menerima". Bahkan silaturahmi ini tidak saja ditujukan kepada mereka yang masih hidup, tetapi juga kepada mereka yang sudah meninggal, yaitu ziarah kubur.
Dari sini, mudik, silaturahmi, dan ziarah kubur adalah budaya sekaligus kreasi masyarakat bangsa yang menakjubkan. Ketiganya berfungsi sebagai terapi untuk manusia modern, yaitu manusia-manusia yang selama ini tertindas, kehilangan jati diri, dan menjadi korban pesatnya pembangunan dan modernisasi.
Karenanya, mudik bukan sekadar hiburan ataupun liburan, tetapi lebih merupakan terapi massal yang efektif, efisien, dan bernilai positif bagi siapa pun. Dengan mudik, orang-orang yang sudah kehilangan jati dirinya dalam hiruk-pikuk metropolitan ingin menemukan kembali masa lalunya di kampung halaman.
Mereka ingin kembali sebagai manusia yang diperlakukan secara manusiawi oleh lingkungannya. Mereka ingin meninggalkan "ganas"-nya kehidupan kota dan kembali menikmati keramahan wajah-wajah kampung. Mereka pun ingin mengungkapkan kembali perasaan kekeluargaan yang ramah dan menyejukkan, serta menjalin kembali cinta kasih di antara jiwa-jiwa manusia setelah lama berpisah.
Lebaran mengandung makna yang mendalam bagi mereka yang selama ini kehilangan rasa kemanusiaannya, karena disibukkan dengan kegiatan rutinitas sehari-hari yang membosankan. Lebaran berarti kembalinya rasa kemanusiaan kita, rasa kasih sayang, bahkan segala emosi kita yang manusiawi kepada mereka yang ada di sekitar kita. Dari sini, masyarakat modern adalah masyarakat yang sedang melakukan perjalanan melintas waktu, perjalanan historis, ataupun napak tilas.
Dari sinilah, pemerintah hendaknya mampu mengambil spirit berlebaran yang dilakukan oleh umat Islam. Dalam hal ini, Lebaran atau juga halalbihalal bisa dimaknai secara strategis sebagai ajang rekonsiliasi dan koordinasi di antara elite politik untuk membangun bangsa. Artinya, bangsa ini harus mampu membawa masa kini ke masa lalu (napak tilas), guna memperoleh kekuatan bersama dalam menempuh masa depan. Inilah yang disimbolisasi oleh tradisi berlebaran, yaitu ramai-ramai pulang kampung untuk kemudian berangkat ke kota lagi. Mohon maaf lahir dan batin.

No comments: