REPUBLIKA,
29 November 2002
Reorientasi
Prioritas Pemanfaatan Zakat
Oleh Khaeron Sirin
Secara kultural, kewajiban berzakat, dorongan berinfak dan
bersedekah di jalan Allah SWT telah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan
masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Wajar, jika selama ini zakat
menjadi satu kekuatan tersendiri bagi umat Islam untuk bersatu, bersilaturahmi
dan saling menolong.
Dalam hal ini, zakat tidak dimaksudkan untuk memiskinkan
orang kaya dan tidak pula melecehkan jerih payah mereka. Sebab, zakat hanya
diambil dari sebagian kecil harta orang yang berkelebihan dan disalurkan kepada
mereka yang kekurangan, dengan beberapa kriteria tertentu dari harta yang wajib
dizakati.
Dari sini, zakat merupakan mekanisme keagamaan yang
berintikan semangat pemerataan pendapatan. Sehingga, secara ideal, zakat bisa
dikembangkan menjadi instrumen keagamaan yang berpotensi mempengaruhi aktivitas
perekonomian masyarakat.
Karena itu, zakat tidak saja mengandung makna teologis,
yaitu kepatuhan individu kepada Tuhan, ataupun sosial-ekonomi, distribusi
kekayaan terhadap orang-orang miskin. Tetapi, zakat bisa dimaknai secara
politik-strategis sebagai instrumen jangka panjang untuk memelihara
kelangsungan hidup suatu bangsa. Dengan kata lain, selain membersihkan jiwa dan
harta, zakat juga merupakan alat pemerataan yang ampuh dalam kehidupan ekonomi
masyarakat.
Pengembangan Makna Zakat
Bagaimanapun, relevansi zakat di masa sekarang kian
penting bagi kehidupan bangsa kita. Ia bisa dikatakan menjadi faktor utama
dalam pemerataan harta benda di kalangan masyarakat Islam sejak dulu, sekaligus
menjadi sarana utama dalam menyebarluaskan perasaan senasib sepenanggungan dan
persaudaraan di kalangan umat manusia.
Karena itu, pengembangan pemaknaan
zakat dalam konteks kekinian perlu dilakukan. Hal ini mengingat pemaknaan
zakat, dalam cakupan yang lebih luas, akan berpengaruh pada orientasi dan model
pengelolaan dana zakat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Misalnya saja, secara teologis,
zakat akan mendorong seseorang untuk mengeluarkan sebagian kekayaannya untuk
orang lain atas dasar kepatuhannya kepada Sang Maha Pemberi.
Kemudian, secara sosial-ekonomis,
zakat diharapkan bisa membantu dan memperbaiki taraf sosial ekonomi
penerimanya, serta mempersempit kesenjangan dan mempererat hubungan si kaya
dengan si miskin. Sedangkan secara politik-strategis, zakat diharapkan bisa
memberikan implikasi yang besar bagi penguatan daya tahan bangsa untuk
melangsungkan kehidupannya.
Dengan fungsi-fungsi
sosial-ekonomi-politik seperti di atas, dan legitimasi agama yang kuat, zakat
secara institusional sebenarnya bisa mendorong terbentuknya integrasi sosial
dan memperkuat ketahanan ekonomi bangsa.
Tidak mengherankan, jika dalam
sejarah Islam, pengelolaan zakat selalu dilakukan oleh institusi publik,
semisal pemerintah (negara). Bahkan, sikap Khalifah Abu Bakar yang memerangi
kaum ingkar zakat, menunjukkan betapa penting makna zakat dalam konteks
kehidupan bernegara.
Bisa dibayangkan, jika seluruh umat
Islam setiap tahun mengeluarkan zakatnya, baik zakat mal atau fitrah, melalui
amil zakat yang dikelola oleh negara ataupun lembaga swadaya secara
profesional, baik administrasi ataupun manajemennya.
Maka, ini adalah potensi yang
sangat besar untuk meringankan beban pemerintah dalam memeratakan pendapatan
dan memperkecil tingkat kemiskinan. Bahkan, bukan tidak mungkin, strategi ini
bisa mengembangkan potensi-potensi ekonomi masyarakat bawah yang bersifat
produktif, seperti membuka lapangan kerja ataupun bantuan modal.
Untuk itu, diperlukan suatu sistem
pengelolaan zakat yang profesional, baik retribusi, distribusi ataupun
pengawasannya, untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna zakat. Dalam hal ini,
kehadiran pemerintah sebagai pembina dan fasilitator, sebagaimana undang-undang
yang berlaku, menjadi penting bagi terselenggaranya sistem pengelolaan zakat
yang profesional. Diharapkan, kebijakan seperti ini bisa mendukung upaya
pemerataan hasil-hasil pembangunan yang adil dan berprikemanusiaan.
Semangat
Pemerataan
Bagaimanapun, zakat secara teoretis
lebih diorientasikan sebagai lembaga jaminan sosial bagi masyarakat yang tidak
mampu, dan untuk kepentingan bersama. Artinya, zakat merupakan institusi publik
atau sosial yang sebenarnya punya peranan signifikan dalam kehidupan
masyarakat.
Dalam hal ini, zakat secara potensial bisa diarahkan pada
usaha pemerataan pendapatan, yaitu dari kelompok ekonomi mampu kepada kelompok
ekonomi lemah. Misalnya, penyaluran ataupun distribusi zakat bisa dilakukan
melalui antarindividu atau keluarga, dan juga bisa diberikan secara kolektif,
yaitu dengan membangun usaha produktif yang mampu menyerap tenaga kerja. Jelas,
ini memerlukan sistem pengelolaan, seperti retribusi, distribusi dan
pengawasan, yang memadai.
Untuk itu, perlu ada kesadaran dari masyarakat Islam
tentang pentingnya pengelolaan zakat oleh sebuah lembaga yang profesional.
Dalam hal ini, kesadaran dan partisipasi masyarakat dari semua golongan akan
sangat mendukung terhadap penghimpunan potensi dana zakat yang begitu besar.
Sebab, selama ini masih banyak prilaku masyarakat yang
tradisional, di mana mereka menyerahkan zakatnya kepada kiai atau pemimpin
agama setempat yang tidak berperan sebagai 'amil (pengumpul zakat), tetapi
lebih sebagai mustahik (penerima zakat). Sehingga, jika dana zakat masyarakat
terkonsentrasi pada satu golongan, maka mustahik lainnya tidak mendapat bagian.
Selain itu, penting pula adanya otorisasi pemerintah
dalam hal perencanaan program, pengalokasian anggaran zakat dan pengawasannya
agar program-program tersebut sejalan dengan penyelenggaraan tujuan nasional.
Sehingga masyarakat akan semakin sadar dan tergugah untuk memberikan zakatnya
kepada amil atau lembaga zakat yang ada. Karenanya, pelaksanaan Undang-undang
No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, perlu segera diefektifkan
pelaksanaannya.
Sedangkan untuk pendistribusiannya, harus segera
direkonstruksi dari pola konsumtif menuju pola produktif. Sebab, pemanfaatan
zakat selama ini lebih ditekankan pada dimensi jangka pendek. Dengan kata lain,
pendayagunaan zakat lebh banyak bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan pokok fakir miskin yang akan habis dipakai dari hari ke hari.
Pola konvensional seperti ini, menyebabkan si penerima
zakat hanya bersikap pasif, sehingga sulit diharapkan terjadi
perubahan-perubahan mendasar di kalangan fakir miskin dalam rangka
memberdayakan kelompok ekonomi lemah.
Maka, reorientasi prioritas pemanfaatan zakat perlu
dilakukan ke arah manfaat jangka panjang. Pertama, zakat harus dibagikan untuk
mempertahankan insentif bekerja atau mencari penghasilan sendiri di kalangan fakir
miskin. Kedua, sebagian dari zakat yang terkumpul harus digunakan untuk
membiayai kegiatan yang produktif kepada kelompok masyarakat fakir miskin.
Tujuan utama 'kegiatan memberi pancing' (kegiatan
produktif) ini adalah meningkatkan kemampuan fakir miskin dalam menciptakan
pendapatan dan mengeluarkan dirinya sendiri dari kemiskinan. Sehingga, zakat
dapat digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan latihan ketrampilan
produktif.
Dari sinilah, diharapkan eksistensi zakat memiliki peran
yang besar dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Yaitu bagaimana
pendayagunaan zakat saat ini bisa mendukung pemerataan ekonomi bangsa melalui
jalur masyarakat kelas bawah.
Dengan kata lain, keberadaan zakat saat ini mesti dilihat
dari perspektif kehidupan berbangsa, yaitu bagaimana eksistensi zakat bisa
diarahkan sebagai sumber pendanaan dalam melakukan pemberdayaan dan pemerataan
pendapatan masyarakat. Dengan demikian, misi transformatif zakat bisa lebih
'mengena' dan 'membumi' dalam kehidupan sosial-politik masyarakat bangsa.
Kini, yang penting dilakukan lebih lanjut adalah meneliti
seberapa besar kemajuan ekonomi masyarakat penerima zakat, untuk diketahui
manfaat dan kemajuan yang dicapai dengan berbagai faktor kendala, untuk segera
dilakukan upaya-upaya solusi konkritnya.
No comments:
Post a Comment