Wednesday, November 8, 2017

Reorientasi Prioritas Pemanfaatan Zakat



REPUBLIKA, 29 November 2002
Reorientasi Prioritas Pemanfaatan Zakat
Oleh Khaeron Sirin

Secara kultural, kewajiban berzakat, dorongan berinfak dan bersedekah di jalan Allah SWT telah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Wajar, jika selama ini zakat menjadi satu kekuatan tersendiri bagi umat Islam untuk bersatu, bersilaturahmi dan saling menolong.
Dalam hal ini, zakat tidak dimaksudkan untuk memiskinkan orang kaya dan tidak pula melecehkan jerih payah mereka. Sebab, zakat hanya diambil dari sebagian kecil harta orang yang berkelebihan dan disalurkan kepada mereka yang kekurangan, dengan beberapa kriteria tertentu dari harta yang wajib dizakati.
Dari sini, zakat merupakan mekanisme keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Sehingga, secara ideal, zakat bisa dikembangkan menjadi instrumen keagamaan yang berpotensi mempengaruhi aktivitas perekonomian masyarakat.
Karena itu, zakat tidak saja mengandung makna teologis, yaitu kepatuhan individu kepada Tuhan, ataupun sosial-ekonomi, distribusi kekayaan terhadap orang-orang miskin. Tetapi, zakat bisa dimaknai secara politik-strategis sebagai instrumen jangka panjang untuk memelihara kelangsungan hidup suatu bangsa. Dengan kata lain, selain membersihkan jiwa dan harta, zakat juga merupakan alat pemerataan yang ampuh dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
Pengembangan Makna Zakat
Bagaimanapun, relevansi zakat di masa sekarang kian penting bagi kehidupan bangsa kita. Ia bisa dikatakan menjadi faktor utama dalam pemerataan harta benda di kalangan masyarakat Islam sejak dulu, sekaligus menjadi sarana utama dalam menyebarluaskan perasaan senasib sepenanggungan dan persaudaraan di kalangan umat manusia.
Karena itu, pengembangan pemaknaan zakat dalam konteks kekinian perlu dilakukan. Hal ini mengingat pemaknaan zakat, dalam cakupan yang lebih luas, akan berpengaruh pada orientasi dan model pengelolaan dana zakat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Misalnya saja, secara teologis, zakat akan mendorong seseorang untuk mengeluarkan sebagian kekayaannya untuk orang lain atas dasar kepatuhannya kepada Sang Maha Pemberi.
Kemudian, secara sosial-ekonomis, zakat diharapkan bisa membantu dan memperbaiki taraf sosial ekonomi penerimanya, serta mempersempit kesenjangan dan mempererat hubungan si kaya dengan si miskin. Sedangkan secara politik-strategis, zakat diharapkan bisa memberikan implikasi yang besar bagi penguatan daya tahan bangsa untuk melangsungkan kehidupannya.
Dengan fungsi-fungsi sosial-ekonomi-politik seperti di atas, dan legitimasi agama yang kuat, zakat secara institusional sebenarnya bisa mendorong terbentuknya integrasi sosial dan memperkuat ketahanan ekonomi bangsa.
Tidak mengherankan, jika dalam sejarah Islam, pengelolaan zakat selalu dilakukan oleh institusi publik, semisal pemerintah (negara). Bahkan, sikap Khalifah Abu Bakar yang memerangi kaum ingkar zakat, menunjukkan betapa penting makna zakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Bisa dibayangkan, jika seluruh umat Islam setiap tahun mengeluarkan zakatnya, baik zakat mal atau fitrah, melalui amil zakat yang dikelola oleh negara ataupun lembaga swadaya secara profesional, baik administrasi ataupun manajemennya.
Maka, ini adalah potensi yang sangat besar untuk meringankan beban pemerintah dalam memeratakan pendapatan dan memperkecil tingkat kemiskinan. Bahkan, bukan tidak mungkin, strategi ini bisa mengembangkan potensi-potensi ekonomi masyarakat bawah yang bersifat produktif, seperti membuka lapangan kerja ataupun bantuan modal.
Untuk itu, diperlukan suatu sistem pengelolaan zakat yang profesional, baik retribusi, distribusi ataupun pengawasannya, untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna zakat. Dalam hal ini, kehadiran pemerintah sebagai pembina dan fasilitator, sebagaimana undang-undang yang berlaku, menjadi penting bagi terselenggaranya sistem pengelolaan zakat yang profesional. Diharapkan, kebijakan seperti ini bisa mendukung upaya pemerataan hasil-hasil pembangunan yang adil dan berprikemanusiaan.
Semangat Pemerataan
Bagaimanapun, zakat secara teoretis lebih diorientasikan sebagai lembaga jaminan sosial bagi masyarakat yang tidak mampu, dan untuk kepentingan bersama. Artinya, zakat merupakan institusi publik atau sosial yang sebenarnya punya peranan signifikan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini, zakat secara potensial bisa diarahkan pada usaha pemerataan pendapatan, yaitu dari kelompok ekonomi mampu kepada kelompok ekonomi lemah. Misalnya, penyaluran ataupun distribusi zakat bisa dilakukan melalui antarindividu atau keluarga, dan juga bisa diberikan secara kolektif, yaitu dengan membangun usaha produktif yang mampu menyerap tenaga kerja. Jelas, ini memerlukan sistem pengelolaan, seperti retribusi, distribusi dan pengawasan, yang memadai.
Untuk itu, perlu ada kesadaran dari masyarakat Islam tentang pentingnya pengelolaan zakat oleh sebuah lembaga yang profesional. Dalam hal ini, kesadaran dan partisipasi masyarakat dari semua golongan akan sangat mendukung terhadap penghimpunan potensi dana zakat yang begitu besar.
Sebab, selama ini masih banyak prilaku masyarakat yang tradisional, di mana mereka menyerahkan zakatnya kepada kiai atau pemimpin agama setempat yang tidak berperan sebagai 'amil (pengumpul zakat), tetapi lebih sebagai mustahik (penerima zakat). Sehingga, jika dana zakat masyarakat terkonsentrasi pada satu golongan, maka mustahik lainnya tidak mendapat bagian.
Selain itu, penting pula adanya otorisasi pemerintah dalam hal perencanaan program, pengalokasian anggaran zakat dan pengawasannya agar program-program tersebut sejalan dengan penyelenggaraan tujuan nasional. Sehingga masyarakat akan semakin sadar dan tergugah untuk memberikan zakatnya kepada amil atau lembaga zakat yang ada. Karenanya, pelaksanaan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, perlu segera diefektifkan pelaksanaannya.
Sedangkan untuk pendistribusiannya, harus segera direkonstruksi dari pola konsumtif menuju pola produktif. Sebab, pemanfaatan zakat selama ini lebih ditekankan pada dimensi jangka pendek. Dengan kata lain, pendayagunaan zakat lebh banyak bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pokok fakir miskin yang akan habis dipakai dari hari ke hari.
Pola konvensional seperti ini, menyebabkan si penerima zakat hanya bersikap pasif, sehingga sulit diharapkan terjadi perubahan-perubahan mendasar di kalangan fakir miskin dalam rangka memberdayakan kelompok ekonomi lemah.
Maka, reorientasi prioritas pemanfaatan zakat perlu dilakukan ke arah manfaat jangka panjang. Pertama, zakat harus dibagikan untuk mempertahankan insentif bekerja atau mencari penghasilan sendiri di kalangan fakir miskin. Kedua, sebagian dari zakat yang terkumpul harus digunakan untuk membiayai kegiatan yang produktif kepada kelompok masyarakat fakir miskin.
Tujuan utama 'kegiatan memberi pancing' (kegiatan produktif) ini adalah meningkatkan kemampuan fakir miskin dalam menciptakan pendapatan dan mengeluarkan dirinya sendiri dari kemiskinan. Sehingga, zakat dapat digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan latihan ketrampilan produktif.
Dari sinilah, diharapkan eksistensi zakat memiliki peran yang besar dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Yaitu bagaimana pendayagunaan zakat saat ini bisa mendukung pemerataan ekonomi bangsa melalui jalur masyarakat kelas bawah.
Dengan kata lain, keberadaan zakat saat ini mesti dilihat dari perspektif kehidupan berbangsa, yaitu bagaimana eksistensi zakat bisa diarahkan sebagai sumber pendanaan dalam melakukan pemberdayaan dan pemerataan pendapatan masyarakat. Dengan demikian, misi transformatif zakat bisa lebih 'mengena' dan 'membumi' dalam kehidupan sosial-politik masyarakat bangsa.
Kini, yang penting dilakukan lebih lanjut adalah meneliti seberapa besar kemajuan ekonomi masyarakat penerima zakat, untuk diketahui manfaat dan kemajuan yang dicapai dengan berbagai faktor kendala, untuk segera dilakukan upaya-upaya solusi konkritnya.

No comments: