REPUBLIKA, 3 Maret 2001
Makna Qurban dalam Menyikapi Konflik Sosial
Oleh Khaeron Sirin
Di Makkah al-Mukarramah,
berdatangan umat Islam dari segenap penjuru dunia. Semuanya mengucapkan kalimat
talbiyah, “labbaik Allahumma labbaik” (kami datang memenuhi panggilan-Mu, ya
Allah). Kalimat yang sarat makna pengabdian, penyerahan, kepasrahan dan
ketaatan kepada Allah saat menunaikan ibadah haji. Kalimat ini juga menunjukkan
betapa kita rela berkorban menyerahkan segala yang kita miliki dalam rangka
memenuhi panggilan tersebut. Semua ini, sebagai wujud rasa syukur atas rahmat
dan karunia-Nya yang diberikan kepada kita: “Sesungguhnya Kami telah memberikan
nikmat yang banyak kepadamu. Akuilah bahwa semuanya itu berasal dari Allah.
Karena itu, dirikanlah shalat dan laksanakanlah qurban. Sesungguhnya orang yang
membencimu itu akan terputus”. (Q.S. al-Kautsar/108:1-3).
Memang, ibadah haji adalah ibadah
yang unik ketimbang ibadah-ibadah lainnya, karena tidak bisa dilakukan di
sembarang waktu. Ibadah haji hanya dapat dilaksanakan pada 10 hari pertama
bulan Dzulhijjah, khususnya pada hari kedelapan, kesembilan dan kesepuluh. Di
luar waktu itu, ibadah yang dilakukan bukanlah ibadah haji, tapi umrah (haji
kecil) saja.
Ia juga dipenuhi dengan
simbol-simbol ritual yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa tertentu
yang dialami oleh Nabi Ibrahim, istrinya Hajar, dan anaknya Ismail. Memakai
Ihram, misalnya, adalah bentuk penyucian diri dari tanda-tanda lahiriah yang
menunjukkan diferensiasi sosial. Thawaf adalah simbol perjuangan Nabi Ibrahim
mengajak manusia bersama-sama mencapai tujuan yang satu, yaitu berada dan lebur
dalam lingkungan Allah SWT. Sa’i adalah untuk mengenang perjuangan tanpa lelah
Hajar yang berlari dari Shafa ke Marwah sekadar mendapatkan air bagi Ismail
yang masih kecil dan menangis kehausan. Melempar Jumrah adalah simbol
perjuangan Nabi Ibrahim dan istrinya Hajar melawan godaan Syetan yang
menyesatkan. Wukuf di Arafah untuk mengingatkan pada pertemuan Adam dan Hawa di
Jabal Rahman (bukit kasih sayang), padang Arafah. Sedangkan menyembelih hewan
kurban adalah untuk memperingati sekaligus mengikuti kesabaran dan keikhlasan
Nabi Ibrahim mengikuti perintah Allah SWT untuk menyembelih anaknya tercinta,
Ismail. Karena sarat perjuangan dan pengorbanan inilah, umat Islam kemudian
merayakannya sebagai hari raya Qurban (idul adha).
Nilai-nilai Kemanusiaan Universal
Ibadah haji sendiri melibatkan
proses perpindahan dari dataran kehidupan profan kepada kesucian (ihram).
Proses penyucian diri tidak hanya mencakup penyucian fisik, tapi juga penyucian
diri dari tanda-tanda lahiriyah yang menunjukkan diferensiasi sosial. Hal ini
dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan sehari-hari di antara umat Islam,
seperti gender, ekonomi, budaya, etnis, jabatan, dan sebagainya. Semuanya
adalah sama, sejajar di depan Tuhan, dan secara bersama-sama menempuh
pengalaman kesatuan umat. Di sisi lain, melempar tiga jumrah juga merupakan
penyucian dan penolakan segala bentuk kemusyrikan dan kejahatan, yang menggoda
Nabi Ibrahim saat akan melaksanakan perintah Tuhan untuk menyembelih Ismail.
Tiga jumrah tersebut adalah lambang dari tiga hal yang selalu muncul dalam
kehidupan manusia dengan berbagai bentuknya. Pada zaman Nabi Ibrahim, tiga bentuk
itu adalah Raja Namrudz, berhala, dan syaitan. Pada zaman Nabi Musa, tergambar
dalam pribadi Fir’aun, Qorun, dan Balam. Demikian pula, pada masa Jahiliyyah,
ia menjelma dalam bentuk Latta, Manna, dan Uzza. Sedangkan di Indonesia, tiga
bentuk kejahatan ini dikenal dengan istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).
Keteladanan yang diwujudkan dalam
pelaksanaan ibadah haji, pada dasarnya, adalah penegasan kembali umat Islam
akan keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim a.s. Pertama, pengakuan akan
keesaan Tuhan serta penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan. Kedua,
keyakinan adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini dan yang akan
datang. Ketiga, pengakuan akan nilai-nilai kemanusiaan universal, yang tidak
membedakan antara satu dengan lainnya. Penegasan ini diperkuat dengan khutbah
Nabi SAW pada saat haji Wada’ yang intinya menekankan persamaan; kewajiban
memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain; serta larangan penindasan di
berbagai bidang terhadap kaum lemah.
Nilai-nilai kemanusiaan ini
menyadarkan kita sebagai makhluk multidimensial yang harus melanjutkan evolusi
mencapai pusat keuniversalitasnya, Allah SWT. Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim
a.s. bukan sekadar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu, tapi Tuhan seru
sekalian alam. Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang dekat kepada
manusia, menyertai mereka secara keseluruhan. Dia adalah Tuhan yang
sifat-sifat-Nya menyertai manusia seluruhnya secara universal.
Dari sini, sungguh memprihatinkan
jika bangsa kita senantiasa melakukan pendistorsian makna kemanusiaan
universal. Berbagai tindak kerusuhan sosial, yang dipicu oleh sentimen kelompok
atau SARA, menyebabkan hilangnya sistem perekat dalam kehidupan sosial kita.
Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran kita tentang afinitas historis dan ajaran
kemanusiaan universal dalam sosok Nabi Ibrahim semakin menipis. Sebaliknya,
atas nama kelompok atau SARA, masyarakat kita berlomba-lomba untuk saling
mengalahkan dan menghancurkan. Sebagian masyarakat kita telah kehilangan kasih
sayang, seperti dengan jelas disimbolisasikan dengan pertemuan Adam dan Hawa di
Jabal Rahman (bukit kasih sayang). Bahkan sebagian kita sudah melenceng dari
semangat kasih sayang dan kemanusiaan universal yang dilambangkan pakaian ihram
yang serba putih dan bersih, yang meniadakan warna kulit, suku, dan identitas
kultural lainnya.
Banyaknya peristiwa yang
menyedihkan, seperti kasus di Sampit (Kalimantan Tengah), Maluku, Aceh, dan
juga pertentangan politik telah menyeret kita melupakan ayat-ayat Allah, di
mana perbedaan itu justeru dimaksudkan untuk mendorong kita saling mengenal dan
memahami yang pada gilirannya, akan menumbuhkan sikap kasih sayang: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari lak-laki dan perempuan, dan
Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling
mengenal…” (Q.S. al-Hujurat/49:13).
Oleh karena itulah, bulan haji
adalah momen yang sangat penting bagi bangsa kita untuk menemukan kembali makna
kemanusiaannya yang universal, menuju pusat kesucian dan eksistensialnya, Allah
SWT. Inilah substansi ibadah haji yang memberikan inspirasi Ilahiah dalam
membangun masyarakat madani sebagaimana telah dibangun Nabi Muhammad SAW di
Madinah, yaitu suatu masyarakat yang bersatu dan beradab.
Qurban dan Konflik Sosial
Dari sekian simbolisasi ritual
ibadah haji, qurban adalah simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang
dialami oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail. Karena selain
sekadar seorang anak, Ismail adalah idaman hati dan pelipur lara di tengah
perjuangan berat melawan penindasan Namrudz saat itu untuk menegakkan tauhid.
Tapi, inilah ujian sebenarnya, yang disebut jihad akbar. Yaitu jihad melawan
kemauan dan egoisme diri, yang justeru, sering menguasai manusia, baik secara
individu ataupun kelompok. Ketika egoisme diri dan kelompok menguasai diri
manusia, ketika itulah manusia melupakan Tuhan, dan megabaikan
ajaran-ajaran-Nya.
Karena ketabahan dan keikhlasannya,
Nabi Ibrahim akhirnya bisa melewati ujian berat tersebut. Sehingga Allah
menggantinya dengan seekor binatang sembelihan. Binatang sembelihan inilah,
kemudian dijadikan simbol umat Islam untuk mendekatkan diri dengan Tuhan
sebagaimana terkandung dalam makna “qurban” itu sendiri. Dalam konteks
Indonesia, ibadah qurban berfungsi tidak hanya untuk mendekatkan diri pada
Tuhan (taqarrub ila Allah), tapi juga untuk merekatkan tali sosial di antara
manusia (taqarrub ila al-nas).
Sayangnya, apa yang menimpa bangsa
kita adalah suatu ironi dan pengingkaran makna qurban itu sendiri. Munculnya
berbagai konflik sosial belakangan ini, tidak lepas dari egoisme sekelompok
orang yang ingin memaksakan kehendaknya dan ingin menikmati kenikmatan sesaat.
Nation building, yang sebelumnya pernah dikembangkan para pendiri republik ini,
ternyata telah mengalami keterputusan yang begitu panjang. Para elite politik
semasa Orde Baru atau bahkan saat ini, banyak yang melakukan “pendistorsian”
terhadap proses nation building. Sikap egois, apatis, curiga terhadap kelompok
lain, dan kurang empati terhadap nasib rakyat yang menderita, adalah perilaku
yang kontra-produktif bagi tumbuhnya solidaritas emosional dalam berbangsa.
Kemunculan egoisme ini, seperti
egoisme politik, egoisme agama, dan egoisme suku, yang kini justeru semakin
meningkat di tengah kehidupaan kita, hanya akan
mengantarkan kita kepada kekalahan, bahkan kehancuran. Kalau egoisme ini
tetap dipertahankan, bukan tidak mungkin kita akan mengalami proses disintegrasi
sosial. Oleh karena itulah, setiap komponen bangsa, khususnya umat Islam, harus
bersatu padu melawan anasir-anasir yang memecah belah Islam dan bangsa
Indonesia. Salah satu caranya, adalah meniru ketabahan, pengorbanan dan
semangat pengabdian diri Nabi Ibrahim a.s.
Memang, konflik atau egoisme
kelompok adalah proses sosial di mana mereka saling bersaing untuk mewujudkan
keinginannya, yang terefleksi dalam bentuk adu argumentasi hingga konfrontasi.
Konflik seperti ini, akan berdampak positif jika bisa dikelola secara baik
dengan memperhatikan pola hubungan sosial kemasyarakatan. Sebaliknya, ia juga
akan memicu timbulnya kejahatan, kekerasan, amuk massa, dan menghilangkan
kekuatan bangsa. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah… .” (Q.S.
Al-Anfal/ 8:46). Sejatinya, konflik tak akan terwujud jika setiap elemen bangsa
ini duduk bersama memecahkan persoalan, serta menguasai diri untuk tidak saling
menjatuhkan. Untuk itulah, kita semua harus terbebas dari sekat-sekat
primordial dan egoisme.
Dengan demikian, pengorbanan Nabi
Ibrahim perlu diteladani oleh kita untuk memperbaiki kehidupan masyarakat,
sekaligus memperkokoh dan memupuk kesetiaan sosial untuk melaksanakan reformasi
selanjutnya. Dengan semangat qurban, kita tidak hanya sekadar menghirup dan
menghembuskan nafas mengikuti perputaran waktu, tapi juga mencapai hidup yang
lebih berharga dan bermakna. Karena tidak sedikit manusia yang hidup dan
berjalan di muka bumi serta melakukan aktifitasnya, disindir oleh Allah seperti
bangkai atau binatang ternak. Ini disebabkan mereka tidak memanfaatkan hidup
untuk mencari sesuatu yang berharga, yaitu mencari kedekatan dan keridhaan
Allah. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment