Wednesday, November 8, 2017

Makna Qurban dalam Menyikapi Konflik Sosial



REPUBLIKA, 3 Maret 2001
Makna Qurban dalam Menyikapi Konflik Sosial

Oleh Khaeron Sirin

Di Makkah al-Mukarramah, berdatangan umat Islam dari segenap penjuru dunia. Semuanya mengucapkan kalimat talbiyah, “labbaik Allahumma labbaik” (kami datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah). Kalimat yang sarat makna pengabdian, penyerahan, kepasrahan dan ketaatan kepada Allah saat menunaikan ibadah haji. Kalimat ini juga menunjukkan betapa kita rela berkorban menyerahkan segala yang kita miliki dalam rangka memenuhi panggilan tersebut. Semua ini, sebagai wujud rasa syukur atas rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada kita: “Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak kepadamu. Akuilah bahwa semuanya itu berasal dari Allah. Karena itu, dirikanlah shalat dan laksanakanlah qurban. Sesungguhnya orang yang membencimu itu akan terputus”. (Q.S. al-Kautsar/108:1-3).
Memang, ibadah haji adalah ibadah yang unik ketimbang ibadah-ibadah lainnya, karena tidak bisa dilakukan di sembarang waktu. Ibadah haji hanya dapat dilaksanakan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, khususnya pada hari kedelapan, kesembilan dan kesepuluh. Di luar waktu itu, ibadah yang dilakukan bukanlah ibadah haji, tapi umrah (haji kecil) saja.
Ia juga dipenuhi dengan simbol-simbol ritual yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa tertentu yang dialami oleh Nabi Ibrahim, istrinya Hajar, dan anaknya Ismail. Memakai Ihram, misalnya, adalah bentuk penyucian diri dari tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan diferensiasi sosial. Thawaf adalah simbol perjuangan Nabi Ibrahim mengajak manusia bersama-sama mencapai tujuan yang satu, yaitu berada dan lebur dalam lingkungan Allah SWT. Sa’i adalah untuk mengenang perjuangan tanpa lelah Hajar yang berlari dari Shafa ke Marwah sekadar mendapatkan air bagi Ismail yang masih kecil dan menangis kehausan. Melempar Jumrah adalah simbol perjuangan Nabi Ibrahim dan istrinya Hajar melawan godaan Syetan yang menyesatkan. Wukuf di Arafah untuk mengingatkan pada pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahman (bukit kasih sayang), padang Arafah. Sedangkan menyembelih hewan kurban adalah untuk memperingati sekaligus mengikuti kesabaran dan keikhlasan Nabi Ibrahim mengikuti perintah Allah SWT untuk menyembelih anaknya tercinta, Ismail. Karena sarat perjuangan dan pengorbanan inilah, umat Islam kemudian merayakannya sebagai hari raya Qurban (idul adha).

Nilai-nilai Kemanusiaan Universal
Ibadah haji sendiri melibatkan proses perpindahan dari dataran kehidupan profan kepada kesucian (ihram). Proses penyucian diri tidak hanya mencakup penyucian fisik, tapi juga penyucian diri dari tanda-tanda lahiriyah yang menunjukkan diferensiasi sosial. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan sehari-hari di antara umat Islam, seperti gender, ekonomi, budaya, etnis, jabatan, dan sebagainya. Semuanya adalah sama, sejajar di depan Tuhan, dan secara bersama-sama menempuh pengalaman kesatuan umat. Di sisi lain, melempar tiga jumrah juga merupakan penyucian dan penolakan segala bentuk kemusyrikan dan kejahatan, yang menggoda Nabi Ibrahim saat akan melaksanakan perintah Tuhan untuk menyembelih Ismail. Tiga jumrah tersebut adalah lambang dari tiga hal yang selalu muncul dalam kehidupan manusia dengan berbagai bentuknya. Pada zaman Nabi Ibrahim, tiga bentuk itu adalah Raja Namrudz, berhala, dan syaitan. Pada zaman Nabi Musa, tergambar dalam pribadi Fir’aun, Qorun, dan Balam. Demikian pula, pada masa Jahiliyyah, ia menjelma dalam bentuk Latta, Manna, dan Uzza. Sedangkan di Indonesia, tiga bentuk kejahatan ini dikenal dengan istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Keteladanan yang diwujudkan dalam pelaksanaan ibadah haji, pada dasarnya, adalah penegasan kembali umat Islam akan keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim a.s. Pertama, pengakuan akan keesaan Tuhan serta penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan. Kedua, keyakinan adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini dan yang akan datang. Ketiga, pengakuan akan nilai-nilai kemanusiaan universal, yang tidak membedakan antara satu dengan lainnya. Penegasan ini diperkuat dengan khutbah Nabi SAW pada saat haji Wada’ yang intinya menekankan persamaan; kewajiban memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain; serta larangan penindasan di berbagai bidang terhadap kaum lemah.
Nilai-nilai kemanusiaan ini menyadarkan kita sebagai makhluk multidimensial yang harus melanjutkan evolusi mencapai pusat keuniversalitasnya, Allah SWT. Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim a.s. bukan sekadar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu, tapi Tuhan seru sekalian alam. Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang dekat kepada manusia, menyertai mereka secara keseluruhan. Dia adalah Tuhan yang sifat-sifat-Nya menyertai manusia seluruhnya secara universal.
Dari sini, sungguh memprihatinkan jika bangsa kita senantiasa melakukan pendistorsian makna kemanusiaan universal. Berbagai tindak kerusuhan sosial, yang dipicu oleh sentimen kelompok atau SARA, menyebabkan hilangnya sistem perekat dalam kehidupan sosial kita. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran kita tentang afinitas historis dan ajaran kemanusiaan universal dalam sosok Nabi Ibrahim semakin menipis. Sebaliknya, atas nama kelompok atau SARA, masyarakat kita berlomba-lomba untuk saling mengalahkan dan menghancurkan. Sebagian masyarakat kita telah kehilangan kasih sayang, seperti dengan jelas disimbolisasikan dengan pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahman (bukit kasih sayang). Bahkan sebagian kita sudah melenceng dari semangat kasih sayang dan kemanusiaan universal yang dilambangkan pakaian ihram yang serba putih dan bersih, yang meniadakan warna kulit, suku, dan identitas kultural lainnya.
Banyaknya peristiwa yang menyedihkan, seperti kasus di Sampit (Kalimantan Tengah), Maluku, Aceh, dan juga pertentangan politik telah menyeret kita melupakan ayat-ayat Allah, di mana perbedaan itu justeru dimaksudkan untuk mendorong kita saling mengenal dan memahami yang pada gilirannya, akan menumbuhkan sikap kasih sayang: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari lak-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling mengenal…” (Q.S. al-Hujurat/49:13).
Oleh karena itulah, bulan haji adalah momen yang sangat penting bagi bangsa kita untuk menemukan kembali makna kemanusiaannya yang universal, menuju pusat kesucian dan eksistensialnya, Allah SWT. Inilah substansi ibadah haji yang memberikan inspirasi Ilahiah dalam membangun masyarakat madani sebagaimana telah dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah, yaitu suatu masyarakat yang bersatu dan beradab.

Qurban dan Konflik Sosial
Dari sekian simbolisasi ritual ibadah haji, qurban adalah simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail. Karena selain sekadar seorang anak, Ismail adalah idaman hati dan pelipur lara di tengah perjuangan berat melawan penindasan Namrudz saat itu untuk menegakkan tauhid. Tapi, inilah ujian sebenarnya, yang disebut jihad akbar. Yaitu jihad melawan kemauan dan egoisme diri, yang justeru, sering menguasai manusia, baik secara individu ataupun kelompok. Ketika egoisme diri dan kelompok menguasai diri manusia, ketika itulah manusia melupakan Tuhan, dan megabaikan ajaran-ajaran-Nya.
Karena ketabahan dan keikhlasannya, Nabi Ibrahim akhirnya bisa melewati ujian berat tersebut. Sehingga Allah menggantinya dengan seekor binatang sembelihan. Binatang sembelihan inilah, kemudian dijadikan simbol umat Islam untuk mendekatkan diri dengan Tuhan sebagaimana terkandung dalam makna “qurban” itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, ibadah qurban berfungsi tidak hanya untuk mendekatkan diri pada Tuhan (taqarrub ila Allah), tapi juga untuk merekatkan tali sosial di antara manusia (taqarrub ila al-nas).
Sayangnya, apa yang menimpa bangsa kita adalah suatu ironi dan pengingkaran makna qurban itu sendiri. Munculnya berbagai konflik sosial belakangan ini, tidak lepas dari egoisme sekelompok orang yang ingin memaksakan kehendaknya dan ingin menikmati kenikmatan sesaat. Nation building, yang sebelumnya pernah dikembangkan para pendiri republik ini, ternyata telah mengalami keterputusan yang begitu panjang. Para elite politik semasa Orde Baru atau bahkan saat ini, banyak yang melakukan “pendistorsian” terhadap proses nation building. Sikap egois, apatis, curiga terhadap kelompok lain, dan kurang empati terhadap nasib rakyat yang menderita, adalah perilaku yang kontra-produktif bagi tumbuhnya solidaritas emosional dalam berbangsa.
Kemunculan egoisme ini, seperti egoisme politik, egoisme agama, dan egoisme suku, yang kini justeru semakin meningkat di tengah kehidupaan kita, hanya akan  mengantarkan kita kepada kekalahan, bahkan kehancuran. Kalau egoisme ini tetap dipertahankan, bukan tidak mungkin kita akan mengalami proses disintegrasi sosial. Oleh karena itulah, setiap komponen bangsa, khususnya umat Islam, harus bersatu padu melawan anasir-anasir yang memecah belah Islam dan bangsa Indonesia. Salah satu caranya, adalah meniru ketabahan, pengorbanan dan semangat pengabdian diri Nabi Ibrahim a.s.
Memang, konflik atau egoisme kelompok adalah proses sosial di mana mereka saling bersaing untuk mewujudkan keinginannya, yang terefleksi dalam bentuk adu argumentasi hingga konfrontasi. Konflik seperti ini, akan berdampak positif jika bisa dikelola secara baik dengan memperhatikan pola hubungan sosial kemasyarakatan. Sebaliknya, ia juga akan memicu timbulnya kejahatan, kekerasan, amuk massa, dan menghilangkan kekuatan bangsa. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah… .” (Q.S. Al-Anfal/ 8:46). Sejatinya, konflik tak akan terwujud jika setiap elemen bangsa ini duduk bersama memecahkan persoalan, serta menguasai diri untuk tidak saling menjatuhkan. Untuk itulah, kita semua harus terbebas dari sekat-sekat primordial dan egoisme.
Dengan demikian, pengorbanan Nabi Ibrahim perlu diteladani oleh kita untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, sekaligus memperkokoh dan memupuk kesetiaan sosial untuk melaksanakan reformasi selanjutnya. Dengan semangat qurban, kita tidak hanya sekadar menghirup dan menghembuskan nafas mengikuti perputaran waktu, tapi juga mencapai hidup yang lebih berharga dan bermakna. Karena tidak sedikit manusia yang hidup dan berjalan di muka bumi serta melakukan aktifitasnya, disindir oleh Allah seperti bangkai atau binatang ternak. Ini disebabkan mereka tidak memanfaatkan hidup untuk mencari sesuatu yang berharga, yaitu mencari kedekatan dan keridhaan Allah. Wallahu A’lam.

No comments: