KORAN TEMPO, Pebruari 2002
Makna Kurban
(Refleksi Idul Adha 1422
H)
Oleh Khaeron Sirin
Oleh Khaeron Sirin
"Labbaik Allahumma
labbaik" (Kami datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah). Kalimat talbiyah
ini terus berkumandang seiring datangnya ibadah haji. Umat Islam dari segenap
penjuru dunia berdatangan ke Mekkah al-Mukaramah untuk memenuhi panggilan itu.
Ini adalah kalimat yang sarat makna pengabdian, penyerahan, kepasrahan, dan
ketaatan kepada Allah saat menunaikan ibadah haji. Ini juga menunjukkan betapa
kita rela berkorban menyerahkan segala yang kita miliki dalam rangka memenuhi
panggilan haji.
Memang, ibadah haji adalah
ibadah yang terbilang unik. Selain hanya dapat dilaksanakan pada 10 hari
pertama bulan Zulhijah, ibadah haji juga dipenuhi dengan simbol-simbol ritual
yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa tertentu yang dialami oleh Nabi
Ibrahim AS, Siti Hajar (istrinya) dan Ismail (anaknya), dan juga pertemuan
antara Adam dan Hawa di Jabal Rahman, padang Arafah. Puncaknya adalah dengan
menyembelih hewan kurban untuk memperingati sekaligus mengikuti kesabaran dan
keikhlasan Nabi Ibrahim ketika menyembelih anaknya tercinta, Ismail. Karena
sarat perjuangan dan pengorbanan inilah, umat Islam kemudian merayakannya
sebagai Hari Raya Kurban (Idul Adha).
Keteladanan yang diwujudkan
dalam pelaksanaan ibadah haji, pada dasarnya, adalah penegasan kembali umat
Islam akan keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim. Pertama, pengakuan akan
keesaan Tuhan serta penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan. Kedua,
keyakinan adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini dan yang akan
datang. Ketiga, pengakuan akan nilai-nilai kemanusiaan universal dan larangan
penindasan di berbagai bidang terhadap kaum lemah.
Dalam konteks ini, ibadah haji
melibatkan proses perpindahan dari dataran kehidupan profan kepada kesucian
(ihram). Proses penyucian diri ini tidak hanya mencakup penyucian fisik, tapi
juga penyucian diri dari tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan diferensiasi
sosial. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan sehari-hari di antara
umat Islam, seperti etnis, budaya, gender, ekonomi, dan sebagainya. Semuanya
adalah sama, sejajar di depan Tuhan, dan secara bersama-sama menempuh
pengalaman kesatuan umat.
Nilai-nilai kemanusiaan ini
menyadarkan kita sebagai makhluk multidimensional yang harus melanjutkan
evolusi mencapai pusat universalitasnya, Allah SWT. Tuhan yang diperkenalkan
Ibrahim bukan sekadar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu, tapi Tuhan
seru sekalian alam. Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang dekat kepada
manusia, menyertai mereka secara keseluruhan. Dia adalah Tuhan yang
sifat-sifat-Nya menyertai manusia seluruhnya secara universal.
Dari sekian simbolisasi ritual
ibadah haji, kurban adalah simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang
dialami oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail. Karena selain
sekadar seorang anak, Ismail adalah idaman hati dan pelipur lara di tengah perjuangan
berat melawan penindasan Namrud saat itu. Tapi, inilah ujian sebenarnya yang
disebut jihad akbar, yaitu jihad melawan kemauan dan egoisme diri, yang sering
menguasai manusia, baik secara individu ataupun kelompok. Ketika egoisme diri
dan kelompok menguasai diri manusia, ketika itulah manusia melupakan Tuhan, dan
mengabaikan ajaran-ajaran-Nya.
Karena ketabahan dan
keikhlasannya, Nabi Ibrahim akhirnya bisa melewati ujian berat itu, sehingga
Allah menggantinya dengan seekor binatang sembelihan. Binatang sembelihan
inilah yang kemudian dijadikan simbol umat Islam untuk mendekatkan diri dengan
Tuhan, sebagaimana terkandung dalam makna "kurban" itu sendiri. Dalam
konteks Indonesia, ibadah kurban berfungsi tidak hanya untuk mendekatkan diri pada
Tuhan (taqarrub ila Allah), tapi juga untuk merekatkan tali sosial di antara
manusia (taqarrub ila al-nas).
Dari sini, sungguh
memprihatinkan jika bangsa kita senantiasa melakukan distorsi makna kurban itu
sendiri. Berbagai bentuk konflik sosial, yang dipicu oleh sentimen kelompok
atau SARA, menyebabkan hilangnya sistem perekat dalam kehidupan sosial kita.
Sikap egois, apatis, curiga terhadap kelompok lain, dan kurang empati terhadap
nasib rakyat yang menderita, telah menyebabkan runtuhnya solidaritas emosional
dalam berbangsa.
Banyaknya peristiwa yang
menyedihkan, seperti kasus di Maluku, Poso, Aceh, dan juga pertentangan politik
telah menyeret kita melupakan ayat-ayat Allah, di mana perbedaan itu justru dimaksudkan
untuk mendorong kita saling mengenal dan memahami, yang pada gilirannya akan
menumbuhkan sikap kasih sayang (QS Al-Hujurat:13). Dan pada akhirnya,
kemunculan egoisme ini akan mengantarkan kita kepada kekalahan, bahkan
kehancuran.
Hal ini menunjukkan bahwa
kesadaran kita tentang afinitas historis dan ajaran kemanusiaan universal dalam
sosok Nabi Ibrahim semakin menipis. Sebaliknya, atas nama kelompok atau SARA,
masyarakat kita berlomba-lomba untuk saling mengalahkan dan menghancurkan.
Sebagian masyarakat kita telah kehilangan semangat kasih sayang dan kemanusiaan
universal, seperti dengan jelas disimbolisasikan dengan pertemuan Adam dan Hawa
di Jabal Rahman (Bukit Kasih Sayang), dan juga sebagaimana dilambangkan dengan
pakaian ihram yang serba putih dan bersih, yang meniadakan warna kulit, suku,
dan identitas kultural lainnya.
Karena itulah, setiap komponen
bangsa, khususnya umat Islam, harus bersatu melawan anasir-anasir yang memecah
belah bangsa Indonesia. Salah satunya adalah meniru ketabahan, pengorbanan, dan
semangat pengabdian diri Nabi Ibrahim. Dalam hal ini, bulan haji adalah momen
yang sangat penting bagi bangsa kita untuk menemukan kembali makna
kemanusiaannya yang universal, menuju pusat kesucian dan eksistensinya, Allah
SWT. Inilah substansi ibadah haji yang memberikan inspirasi Ilahiah dalam
membangun masyarakat bangsa sebagaimana telah dibangun Nabi Muhammad SAW di
Madinah, yaitu suatu masyarakat yang bersatu, berkasih sayang, dan beradab.
Dengan semangat kurban, kita tidak hanya sekadar menghirup dan
menghembuskan napas mengikuti perputaran waktu, tapi juga mencapai hidup yang
lebih berharga dan bermakna, yaitu mencari kedekatan dan keridhaan Allah.
No comments:
Post a Comment