Wednesday, November 8, 2017

Makna Kurban (Refleksi Idul Adha 1422 H)



KORAN TEMPO, Pebruari 2002
Makna Kurban
(Refleksi Idul Adha 1422 H)

Oleh Khaeron Sirin

"Labbaik Allahumma labbaik" (Kami datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah). Kalimat talbiyah ini terus berkumandang seiring datangnya ibadah haji. Umat Islam dari segenap penjuru dunia berdatangan ke Mekkah al-Mukaramah untuk memenuhi panggilan itu. Ini adalah kalimat yang sarat makna pengabdian, penyerahan, kepasrahan, dan ketaatan kepada Allah saat menunaikan ibadah haji. Ini juga menunjukkan betapa kita rela berkorban menyerahkan segala yang kita miliki dalam rangka memenuhi panggilan haji.
Memang, ibadah haji adalah ibadah yang terbilang unik. Selain hanya dapat dilaksanakan pada 10 hari pertama bulan Zulhijah, ibadah haji juga dipenuhi dengan simbol-simbol ritual yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa tertentu yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar (istrinya) dan Ismail (anaknya), dan juga pertemuan antara Adam dan Hawa di Jabal Rahman, padang Arafah. Puncaknya adalah dengan menyembelih hewan kurban untuk memperingati sekaligus mengikuti kesabaran dan keikhlasan Nabi Ibrahim ketika menyembelih anaknya tercinta, Ismail. Karena sarat perjuangan dan pengorbanan inilah, umat Islam kemudian merayakannya sebagai Hari Raya Kurban (Idul Adha).
Keteladanan yang diwujudkan dalam pelaksanaan ibadah haji, pada dasarnya, adalah penegasan kembali umat Islam akan keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim. Pertama, pengakuan akan keesaan Tuhan serta penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan. Kedua, keyakinan adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini dan yang akan datang. Ketiga, pengakuan akan nilai-nilai kemanusiaan universal dan larangan penindasan di berbagai bidang terhadap kaum lemah.
Dalam konteks ini, ibadah haji melibatkan proses perpindahan dari dataran kehidupan profan kepada kesucian (ihram). Proses penyucian diri ini tidak hanya mencakup penyucian fisik, tapi juga penyucian diri dari tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan diferensiasi sosial. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan sehari-hari di antara umat Islam, seperti etnis, budaya, gender, ekonomi, dan sebagainya. Semuanya adalah sama, sejajar di depan Tuhan, dan secara bersama-sama menempuh pengalaman kesatuan umat.
Nilai-nilai kemanusiaan ini menyadarkan kita sebagai makhluk multidimensional yang harus melanjutkan evolusi mencapai pusat universalitasnya, Allah SWT. Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim bukan sekadar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu, tapi Tuhan seru sekalian alam. Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang dekat kepada manusia, menyertai mereka secara keseluruhan. Dia adalah Tuhan yang sifat-sifat-Nya menyertai manusia seluruhnya secara universal.
Dari sekian simbolisasi ritual ibadah haji, kurban adalah simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail. Karena selain sekadar seorang anak, Ismail adalah idaman hati dan pelipur lara di tengah perjuangan berat melawan penindasan Namrud saat itu. Tapi, inilah ujian sebenarnya yang disebut jihad akbar, yaitu jihad melawan kemauan dan egoisme diri, yang sering menguasai manusia, baik secara individu ataupun kelompok. Ketika egoisme diri dan kelompok menguasai diri manusia, ketika itulah manusia melupakan Tuhan, dan mengabaikan ajaran-ajaran-Nya.
Karena ketabahan dan keikhlasannya, Nabi Ibrahim akhirnya bisa melewati ujian berat itu, sehingga Allah menggantinya dengan seekor binatang sembelihan. Binatang sembelihan inilah yang kemudian dijadikan simbol umat Islam untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, sebagaimana terkandung dalam makna "kurban" itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, ibadah kurban berfungsi tidak hanya untuk mendekatkan diri pada Tuhan (taqarrub ila Allah), tapi juga untuk merekatkan tali sosial di antara manusia (taqarrub ila al-nas).
Dari sini, sungguh memprihatinkan jika bangsa kita senantiasa melakukan distorsi makna kurban itu sendiri. Berbagai bentuk konflik sosial, yang dipicu oleh sentimen kelompok atau SARA, menyebabkan hilangnya sistem perekat dalam kehidupan sosial kita. Sikap egois, apatis, curiga terhadap kelompok lain, dan kurang empati terhadap nasib rakyat yang menderita, telah menyebabkan runtuhnya solidaritas emosional dalam berbangsa.
Banyaknya peristiwa yang menyedihkan, seperti kasus di Maluku, Poso, Aceh, dan juga pertentangan politik telah menyeret kita melupakan ayat-ayat Allah, di mana perbedaan itu justru dimaksudkan untuk mendorong kita saling mengenal dan memahami, yang pada gilirannya akan menumbuhkan sikap kasih sayang (QS Al-Hujurat:13). Dan pada akhirnya, kemunculan egoisme ini akan mengantarkan kita kepada kekalahan, bahkan kehancuran.
Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran kita tentang afinitas historis dan ajaran kemanusiaan universal dalam sosok Nabi Ibrahim semakin menipis. Sebaliknya, atas nama kelompok atau SARA, masyarakat kita berlomba-lomba untuk saling mengalahkan dan menghancurkan. Sebagian masyarakat kita telah kehilangan semangat kasih sayang dan kemanusiaan universal, seperti dengan jelas disimbolisasikan dengan pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahman (Bukit Kasih Sayang), dan juga sebagaimana dilambangkan dengan pakaian ihram yang serba putih dan bersih, yang meniadakan warna kulit, suku, dan identitas kultural lainnya.
Karena itulah, setiap komponen bangsa, khususnya umat Islam, harus bersatu melawan anasir-anasir yang memecah belah bangsa Indonesia. Salah satunya adalah meniru ketabahan, pengorbanan, dan semangat pengabdian diri Nabi Ibrahim. Dalam hal ini, bulan haji adalah momen yang sangat penting bagi bangsa kita untuk menemukan kembali makna kemanusiaannya yang universal, menuju pusat kesucian dan eksistensinya, Allah SWT. Inilah substansi ibadah haji yang memberikan inspirasi Ilahiah dalam membangun masyarakat bangsa sebagaimana telah dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah, yaitu suatu masyarakat yang bersatu, berkasih sayang, dan beradab.
Dengan semangat kurban, kita tidak hanya sekadar menghirup dan menghembuskan napas mengikuti perputaran waktu, tapi juga mencapai hidup yang lebih berharga dan bermakna, yaitu mencari kedekatan dan keridhaan Allah.

No comments: