KORAN TEMPO, 15 Oktober 2004
Semangat Kebersamaan pada Ramadan
Oleh Khaeron Sirin
Datangnya Ramadan selalu
mengingatkan kita pada suasana kekhusyukan, ketenangan, sekaligus kegembiraan.
Sebab, selain sebagai suatu kewajiban, Ramadan selalu menghadirkan keberkahan,
rahmat, dan ampunan dari Allah SWT.
Di bulan inilah, kita
senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ibadah
(ritual) dan amal saleh. Di bulan ini pula, kita berlomba-lomba melakukan
kebaikan-kebaikan sosial di tengah masyarakat. Tujuannya untuk memperoleh
jaminan takwa dari sang pencipta alam.
Datangnya Ramadan 1425 H kali
ini, tentu memberikan warna tersendiri bagi bangsa kita. Baru saja kita
melaksanakan pesta demokrasi secara beruntun, pemilu legislatif dan pemilihan
presiden. Kini, kita pun segera memiliki seorang presiden pertama pilihan
langsung rakyat Indonesia. Ini adalah peristiwa yang sangat mengesankan seiring
datangnya Ramadan. Momentum ini tentu akan memberi kesan dan kenangan yang
mendalam bagi kita dalam mengarungi hidup bersama, sebagai bangsa dan negara.
Di sinilah, Ramadan bisa
dijadikan sarana efektif untuk meningkatkan rasa kebersamaan (sense of
community) di tengah masyarakat kita. Ini merupakan waktu simbolis untuk
meretas kembali persaudaraan dan kebersamaan kita sebagai bangsa. Ini sekaligus
momentum untuk menggugah rasa kebangsaan yang didasari oleh semangat bahwa kita
adalah satu bangsa yang memiliki keinginan hidup menjadi satu, dalam
kebersamaan dan kebinekaan.
Artinya, hadirnya Ramadan
tetap kita syukuri sebagai satu kesempatan bagi kita untuk introspeksi,
memperbaiki diri, dan tentunya memacu prestasi. Ramadan kali ini mesti
dijadikan bulan perenungan, mengukur langkah yang telah dipacu, dan menghitung
dayung yang telah dikayuh, serta menata ukiran prestasi yang telah diraih oleh
masyarakat dan bangsa kita.
Dalam hal ini, pengalaman
berpuasa selama sebulan dengan berbagai aktivitas yang menyertainya, seperti
sahur, berbuka, tarawih, berzikir, dan membaca Al-Quran harus senantiasa
menghadirkan kesan dan kenangan yang mendalam di setiap pribadi yang
menjalaninya. Ramadan juga harus menjadi media penyucian jiwa, yaitu
pembersihan jiwa dari berbagai kotoran, semisal kejahatan dan kemaksiatan, yang
disimbolisasikan dengan mekanisme pengekangan hasrat duniawi (nafsu).
Ramadan harus dimaknai sebagai
upaya menelusuri nilai-nilai spiritual yang lebih menekankan pada hakikat dan
citra hakiki yang diinginkan Allah SWT. Jangan sampai ibadah pada Ramadan ini
direduksi menjadi fenomena permukaan (surface) yang lebih menekankan pada makna
artifisial dan simbolik.
Karenanya, datangnya Ramadan
menjadi isyarat serius bagi bangsa kita untuk mengendalikan diri dari segala
bentuk kekerasan, ketamakan, permusuhan, dan kezaliman, serta menciptakan
ketenangan, kedamaian, dan kebersamaan. Sekaligus, mewarnai indahnya
kebersamaan dalam gambaran hidup berbangsa dan bernegara.
Itulah salah satu makna
penting Ramadan bagi bangsa Indonesia, yaitu persatuan dan pengendalian diri
guna memelihara kebersamaan dan rasa kebangsaan di antara masyarakat. Potensi
ini harus dimanfaatkan dalam mendorong masyarakat untuk saling berpegangan
tangan dan bekerja sama untuk mencegah dan mengatasi gejolak yang mungkin
timbul, melalui medium puasa.
Maka, masing-masing kita
diharapkan menjadi pengontrol bagi anggota masyarakat lainnya, terutama bagi
para pemimpin kita. Di sisi lain, para pemimpin juga harus bisa melaksanakan
kekuasaannya demi kepentingan kemanusiaan, sebagai sebuah amanah yang tidak
hanya dipertanggungjawabkan kepada manusia, tapi juga di hadapan Allah SWT.
Karenanya, para pemimpin kita hendaknya memiliki komitmen yang kuat untuk
menegakkan suatu tatanan sosial yang adil, etis, dan berkemanusiaan.
Adanya kesamaan pandangan dan
langkah dalam membangun demokrasi bangsa adalah hal sangat penting. Terutama,
kesadaran akan nilai-nilai keberagaman yang tidak sekadar menuntut pengakuan
eksistensi dan hak masing-masing kelompok atau golongan, tapi juga memahami
perbedaan dan persamaan untuk mencapai kebersamaan dan kebinekaan.
Di sisi lain, para elite
bangsa harus membudayakan sikap keterbukaan dan menerima perbedaan, yang dibarengi
loyalitas dan komitmen bersama. Dengan kata lain, bagaimana mengelola
kemajemukan agar menjadi faktor eskalator terbangunnya kebersamaan (common
platform) bangsa menuju kesatuan politik, yaitu politik yang lebih didasarkan
pada nasionalisme yang longgar, luhur, dan yang mengutamakan persahabatan
dengan semua kelompok (inklusif).
Untuk itulah, kita perlu
menumbuhkan "solidaritas emosional" dalam bingkai kebangsaan. Tiap
komponen masyarakat dan bangsa kita dituntut memiliki kemampuan, yang oleh
Alexis de Tocqueville, disebut dengan the art of living together (seni hidup
bersama) dan juga apa yang oleh Erich Fromm disebut the art of loving (seni
mencinta) yang baik. Dengan demikian, bisa menumbuhkan rasa kebersamaan
antarkomponen bangsa ini dan melahirkan win-win solution (kepuasan bersama)
ataupun lose-lose solution (saling mengalah). Tentunya, upaya ini bisa tercipta
jika sistem politik kita, meminjam istilah David Apter, berfungsi sebagai
maximizer yang mampu mengalirkan kepuasan kepada masyarakat.
Kini, Ramadan adalah
kesempatan yang terbaik bagi kita untuk kembali pada nilai-nilai Al-Quran
dengan meneladani apa yang pernah dibangun oleh Nabi SAW. Selain itu, Ramadan
hendaknya bisa menanamkan tanggung jawab kemasyarakatan, yang berarti adanya
kebersamaan dan solidaritas sosial yang tinggi di antara umat Islam dan juga
antarumat beragama di negeri tercinta ini.
Diharapkan, Ramadan kali ini akan melahirkan
semangat, memperjelas arah perjalanan bangsa secara nyata, dan mampu menggalang
kembali kecintaan akan kebersamaan di antara kita. Dengan demikian, kita
bersama-sama bersedia bekerja dengan semangat tinggi untuk cita-cita yang satu,
yaitu aman dan sejahtera. Amin.
No comments:
Post a Comment