Wednesday, November 8, 2017

Semangat Kebersamaan pada Ramadan



KORAN TEMPO, 15 Oktober 2004
Semangat Kebersamaan pada Ramadan
 Oleh Khaeron Sirin

Datangnya Ramadan selalu mengingatkan kita pada suasana kekhusyukan, ketenangan, sekaligus kegembiraan. Sebab, selain sebagai suatu kewajiban, Ramadan selalu menghadirkan keberkahan, rahmat, dan ampunan dari Allah SWT.
Di bulan inilah, kita senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ibadah (ritual) dan amal saleh. Di bulan ini pula, kita berlomba-lomba melakukan kebaikan-kebaikan sosial di tengah masyarakat. Tujuannya untuk memperoleh jaminan takwa dari sang pencipta alam.
Datangnya Ramadan 1425 H kali ini, tentu memberikan warna tersendiri bagi bangsa kita. Baru saja kita melaksanakan pesta demokrasi secara beruntun, pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Kini, kita pun segera memiliki seorang presiden pertama pilihan langsung rakyat Indonesia. Ini adalah peristiwa yang sangat mengesankan seiring datangnya Ramadan. Momentum ini tentu akan memberi kesan dan kenangan yang mendalam bagi kita dalam mengarungi hidup bersama, sebagai bangsa dan negara.
Di sinilah, Ramadan bisa dijadikan sarana efektif untuk meningkatkan rasa kebersamaan (sense of community) di tengah masyarakat kita. Ini merupakan waktu simbolis untuk meretas kembali persaudaraan dan kebersamaan kita sebagai bangsa. Ini sekaligus momentum untuk menggugah rasa kebangsaan yang didasari oleh semangat bahwa kita adalah satu bangsa yang memiliki keinginan hidup menjadi satu, dalam kebersamaan dan kebinekaan.
Artinya, hadirnya Ramadan tetap kita syukuri sebagai satu kesempatan bagi kita untuk introspeksi, memperbaiki diri, dan tentunya memacu prestasi. Ramadan kali ini mesti dijadikan bulan perenungan, mengukur langkah yang telah dipacu, dan menghitung dayung yang telah dikayuh, serta menata ukiran prestasi yang telah diraih oleh masyarakat dan bangsa kita.
Dalam hal ini, pengalaman berpuasa selama sebulan dengan berbagai aktivitas yang menyertainya, seperti sahur, berbuka, tarawih, berzikir, dan membaca Al-Quran harus senantiasa menghadirkan kesan dan kenangan yang mendalam di setiap pribadi yang menjalaninya. Ramadan juga harus menjadi media penyucian jiwa, yaitu pembersihan jiwa dari berbagai kotoran, semisal kejahatan dan kemaksiatan, yang disimbolisasikan dengan mekanisme pengekangan hasrat duniawi (nafsu).
Ramadan harus dimaknai sebagai upaya menelusuri nilai-nilai spiritual yang lebih menekankan pada hakikat dan citra hakiki yang diinginkan Allah SWT. Jangan sampai ibadah pada Ramadan ini direduksi menjadi fenomena permukaan (surface) yang lebih menekankan pada makna artifisial dan simbolik.
Karenanya, datangnya Ramadan menjadi isyarat serius bagi bangsa kita untuk mengendalikan diri dari segala bentuk kekerasan, ketamakan, permusuhan, dan kezaliman, serta menciptakan ketenangan, kedamaian, dan kebersamaan. Sekaligus, mewarnai indahnya kebersamaan dalam gambaran hidup berbangsa dan bernegara.
Itulah salah satu makna penting Ramadan bagi bangsa Indonesia, yaitu persatuan dan pengendalian diri guna memelihara kebersamaan dan rasa kebangsaan di antara masyarakat. Potensi ini harus dimanfaatkan dalam mendorong masyarakat untuk saling berpegangan tangan dan bekerja sama untuk mencegah dan mengatasi gejolak yang mungkin timbul, melalui medium puasa.
Maka, masing-masing kita diharapkan menjadi pengontrol bagi anggota masyarakat lainnya, terutama bagi para pemimpin kita. Di sisi lain, para pemimpin juga harus bisa melaksanakan kekuasaannya demi kepentingan kemanusiaan, sebagai sebuah amanah yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada manusia, tapi juga di hadapan Allah SWT. Karenanya, para pemimpin kita hendaknya memiliki komitmen yang kuat untuk menegakkan suatu tatanan sosial yang adil, etis, dan berkemanusiaan.
Adanya kesamaan pandangan dan langkah dalam membangun demokrasi bangsa adalah hal sangat penting. Terutama, kesadaran akan nilai-nilai keberagaman yang tidak sekadar menuntut pengakuan eksistensi dan hak masing-masing kelompok atau golongan, tapi juga memahami perbedaan dan persamaan untuk mencapai kebersamaan dan kebinekaan.
Di sisi lain, para elite bangsa harus membudayakan sikap keterbukaan dan menerima perbedaan, yang dibarengi loyalitas dan komitmen bersama. Dengan kata lain, bagaimana mengelola kemajemukan agar menjadi faktor eskalator terbangunnya kebersamaan (common platform) bangsa menuju kesatuan politik, yaitu politik yang lebih didasarkan pada nasionalisme yang longgar, luhur, dan yang mengutamakan persahabatan dengan semua kelompok (inklusif).
Untuk itulah, kita perlu menumbuhkan "solidaritas emosional" dalam bingkai kebangsaan. Tiap komponen masyarakat dan bangsa kita dituntut memiliki kemampuan, yang oleh Alexis de Tocqueville, disebut dengan the art of living together (seni hidup bersama) dan juga apa yang oleh Erich Fromm disebut the art of loving (seni mencinta) yang baik. Dengan demikian, bisa menumbuhkan rasa kebersamaan antarkomponen bangsa ini dan melahirkan win-win solution (kepuasan bersama) ataupun lose-lose solution (saling mengalah). Tentunya, upaya ini bisa tercipta jika sistem politik kita, meminjam istilah David Apter, berfungsi sebagai maximizer yang mampu mengalirkan kepuasan kepada masyarakat.
Kini, Ramadan adalah kesempatan yang terbaik bagi kita untuk kembali pada nilai-nilai Al-Quran dengan meneladani apa yang pernah dibangun oleh Nabi SAW. Selain itu, Ramadan hendaknya bisa menanamkan tanggung jawab kemasyarakatan, yang berarti adanya kebersamaan dan solidaritas sosial yang tinggi di antara umat Islam dan juga antarumat beragama di negeri tercinta ini.
Diharapkan, Ramadan kali ini akan melahirkan semangat, memperjelas arah perjalanan bangsa secara nyata, dan mampu menggalang kembali kecintaan akan kebersamaan di antara kita. Dengan demikian, kita bersama-sama bersedia bekerja dengan semangat tinggi untuk cita-cita yang satu, yaitu aman dan sejahtera. Amin.

No comments: