KORAN TEMPO, 23 Nopember 2002
Nuzulul
Quran dan Spirit Pembebasan
Oleh Khaeron Sirin
Malam Nuzulul Quran adalah saat-saat penentuan atau
ketetapan. Pada malam itu, Allah Swt menurunkan al-Quran kepada Muhammad Saw,
sebagai pedoman (ketetapan) hidup bagi umat manusia. Malam itu adalah peristiwa
sangat menentukan bagi perjalanan umat manusia di muka bumi ini, sekaligus
menjadi titik tolak seorang hamba untuk meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di
dunia dan akhirat.
Dalam hal ini, keteladanan yang diwujudkan proses
turunnya al-Quran, pada dasarnya, adalah penegasan kembali atau pengakuan akan
nilai-nilai kemanusiaan universal, yang tidak membedakan antara satu dengan
lainnya, yaitu nilai-nilai yang menekankan persamaan; kewajiban memelihara
jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, serta larangan penindasan di berbagai
bidang terhadap kaum lemah.
Karena itu, momen Nuzulul Quran hendaknya bisa memberi
makna positif dan hakiki bagi kehidupan kita saat ini. Dalam hal ini, bagaimana
semangat yang terkandung dalam peristiwa turunnya al-Quran tersebut menjadi
awal kesadaran hidup bangsa kita yang teresapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sejarahnya, turunnya
al-Quran adalah pelita bagi manusia-manusia tertindas. Al-Quran hadir ke dunia
untuk melaksanakan misi kemanusiaannya di tengah-tengah adat istiadat dan
pemikiran-pemikiran jahiliyyah saat itu. Al-Quran juga berusaha menghilangkan
ketidakadilan sosial dan menghapus sistem kelas dalam masyarakat, sekaligus
berusaha menegakkan ajaran persamaan di antara sesama manusia, bahwa semua
manusia memiliki hak-hak sosial dan hukum yang sama. Inilah misi al-Quran yang
diajarkan Muhammad Saw untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, baik fisik
ataupun mental.
Dalam konteks ini, pembebasan fisik memiliki arti bahwa
manusia tidak memiliki ikatan keterpaksaan yang mengekang dirinya. Ia berdiri
sendiri, bebas untuk menentukan sikap kehidupannya. Selain itu, pembebasan
fisik berarti juga mengembalikan rasa kemanusiaan mereka dan memperlakukan
mereka secara terhormat. Sedangkan pembebasan mental berarti pengembalian jiwa
manusia kepada statusnya sebagai manusia yang memiliki kehormatan yang
dilindungi undang-undang dan hak-hak yang tidak boleh dilanggar, baik ucapan,
perbuatan ataupun pikiran. Semangat inilah yang terkandung dalam doktrin tauhid
yang diemban oleh Muhammad Saw dalam menghadapi kaum aristokrat Quraisy di
Mekkah.
Kunci keberhasilan Rasulullah Saw dalam membangun
masyarakat Islam yang menghormati hak-hak dasar kemanusiaan terletak pada
prinsip tauhid yang diajarkannya. Tauhid adalah ajaran yang paling sentral dan
esensial dalam Islam. Ajaran tauhid yang diformulasikan lewat kalimat la
ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah) mempunyai implikasi bahwa
seorang muslim hanya memutlakkan Allah Yang Maha Esa sebagai Sang Pencipta,
sekaligus menisbikan semua selain Allah. Tauhid berarti komitmen manusia kepada
Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup dan sumber nilai. Allah menjadi fokus
dari seluruh rasa hormat dan syukur. Komitmen ini bersifat totalitas, utuh,
positif dan kukuh. Karena itulah, segala cinta, ketaatan, pengabdian dan
kepasarahannya serta kemauannya untuk menjalankan kehendak-kehendak Allah
merupakan tujuan yang hendak dicapainya.
Dengan kata lain, kehadiran Islam telah memberikan
jaminan kebebasan manusia agar terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik
yang berkaitan dengan masalah agama, politik ataupun ideologi. Al-Quran
menekankan persamaan seluruh umat manusia di mata Allah SWT, yang menciptakan
manusia dari asal yang sama dan kepada-Nyalah semua harus taat dan patuh.
Masalah superior manusia yang berkenaan dengan asal mula manusia, oleh Islam,
terus ditekan. Dalam hal ini, agama Islam tidak mengakui adanya hak istimewa
yang berdasarkan kelahiran, kebangsaan, ataupun halangan buatan lainnya yang
dibentuk oleh manusia. Tetapi, kemuliaan itu justru terletak pada amal
kebajikan itu sendiri.
Konsekuensi dari ajaran (tauhid) ini adalah semangat
perlawanan yang terus menerus terhadap kesewenang-wenangan, yang dalam al-Quran
disebut sebagai thaghut, yaitu perilaku yang mengantar seseorang kepada kepada
kekufuran, tirani, sewenang-wenang, dan melampaui batas-batas kemanusiaan.
Dalam konteks bangsa kita, tindakan kesewenang-wenangan itu bisa berupa
arogansi, dominasi, aksi teror, kekerasan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Jadi, apa yang menimpa
bangsa kita saat ini menggambarkan betapa betapa budaya masyarakat kita belum
terbebas dari kesewenang-wenangan sebagaimana diuraikan di atas. Berbagai
peristiwa memprihatinkan yang menimpa bangsa kita bisa dibilang adalah jelmaan
dari thaghut-thaghut yang kian
merajalela. Ini adalah suatu ironi dan pengingkaran makna Nuzulul Quran itu
sendiri. Sikap egois, gampang ditekan atau diintimidasi, mudah tersinggung,
apatis, curiga kepada kelompok lain, dan kurang empati terhadap nasib rakyat
kecil adalah perilaku yang kontraproduktif bagi tumbuhnya manusia-manusia yang merdeka.
Karenanya,
keteladanan yang diwujudkan dalam proses turunnya al-Quran adalah penegasan
kembali akan esensi manusia yang sesungguhnya, yaitu manusia paripurna yang
mampu menjelmakan sifat-sifat Tuhan dalam perilaku sosial di masyarakat,
sekaligus membebaskan diri dari nafsu dan ambisi duniawi. Inilah yang pernah
dicontohkan oleh Nabi Saw yang perlu diteladani oleh kita untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, yaitu
semangat melawan tirani, kekerasan, ketidakadilan, diskriminasi,
kesewenang-wenangan, dan kemusyrikan.
Maka,
Nuzulul Quran adalah momen yang sangat penting bagi bangsa kita untuk menemukan
kembali makna kemanusiaannya yang universal, yaitu tatanan masyarakat bangsa
yang merdeka dan bebas dari segala bentuk intimidasi, dominasi dan arogansi.
Inilah substansi Nuzulul Quran yang memberikan inspirasi ilahiah dalam
membangun masyarakat yang maju, bersatu, dan beradab (madani), sebagaimana
telah dibangun oleh Muhammad Saw di Madinah.
Dengan
demikian, misi ataupun syariat yang dibawa Muhammad Saw menjadi suatu sistem
pembebasan total umat manusia. Dengan syahadat dan shalat, al-Quran membebaskan
manusia dari penghambaan oleh sesama, siapapun dia orangnya. Dengan puasa,
al-Quran juga membebaskan manusia dari penghambaan terhadap nafsu dirinya sendiri.
Dengan zakat, manusia dibebaskan dari penghambaan terhadap harta benda dan
kekuasaan. Sedangkan dengan ibadah haji, manusia hendak dilepaskan dari
belenggu budaya dan peradaban yang diciptakan oleh manusia sendiri.
Dengan demikian, momen
Nuzulul Quran hendaknya menegaskan kita untuk meneladani perjuangan Muhammad
Saw dalam mencapai makna pembebasan dari kelima simbol tersebut.
No comments:
Post a Comment