Wednesday, November 8, 2017

Nuzulul Quran dan Spirit Pembebasan



KORAN TEMPO, 23 Nopember 2002
Nuzulul Quran dan Spirit Pembebasan

Oleh Khaeron Sirin

Malam Nuzulul Quran adalah saat-saat penentuan atau ketetapan. Pada malam itu, Allah Swt menurunkan al-Quran kepada Muhammad Saw, sebagai pedoman (ketetapan) hidup bagi umat manusia. Malam itu adalah peristiwa sangat menentukan bagi perjalanan umat manusia di muka bumi ini, sekaligus menjadi titik tolak seorang hamba untuk meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam hal ini, keteladanan yang diwujudkan proses turunnya al-Quran, pada dasarnya, adalah penegasan kembali atau pengakuan akan nilai-nilai kemanusiaan universal, yang tidak membedakan antara satu dengan lainnya, yaitu nilai-nilai yang menekankan persamaan; kewajiban memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, serta larangan penindasan di berbagai bidang terhadap kaum lemah.
Karena itu, momen Nuzulul Quran hendaknya bisa memberi makna positif dan hakiki bagi kehidupan kita saat ini. Dalam hal ini, bagaimana semangat yang terkandung dalam peristiwa turunnya al-Quran tersebut menjadi awal kesadaran hidup bangsa kita yang teresapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sejarahnya, turunnya al-Quran adalah pelita bagi manusia-manusia tertindas. Al-Quran hadir ke dunia untuk melaksanakan misi kemanusiaannya di tengah-tengah adat istiadat dan pemikiran-pemikiran jahiliyyah saat itu. Al-Quran juga berusaha menghilangkan ketidakadilan sosial dan menghapus sistem kelas dalam masyarakat, sekaligus berusaha menegakkan ajaran persamaan di antara sesama manusia, bahwa semua manusia memiliki hak-hak sosial dan hukum yang sama. Inilah misi al-Quran yang diajarkan Muhammad Saw untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, baik fisik ataupun mental.
Dalam konteks ini, pembebasan fisik memiliki arti bahwa manusia tidak memiliki ikatan keterpaksaan yang mengekang dirinya. Ia berdiri sendiri, bebas untuk menentukan sikap kehidupannya. Selain itu, pembebasan fisik berarti juga mengembalikan rasa kemanusiaan mereka dan memperlakukan mereka secara terhormat. Sedangkan pembebasan mental berarti pengembalian jiwa manusia kepada statusnya sebagai manusia yang memiliki kehormatan yang dilindungi undang-undang dan hak-hak yang tidak boleh dilanggar, baik ucapan, perbuatan ataupun pikiran. Semangat inilah yang terkandung dalam doktrin tauhid yang diemban oleh Muhammad Saw dalam menghadapi kaum aristokrat Quraisy di Mekkah.
Kunci keberhasilan Rasulullah Saw dalam membangun masyarakat Islam yang menghormati hak-hak dasar kemanusiaan terletak pada prinsip tauhid yang diajarkannya. Tauhid adalah ajaran yang paling sentral dan esensial dalam Islam. Ajaran tauhid yang diformulasikan lewat kalimat la ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah) mempunyai implikasi bahwa seorang muslim hanya memutlakkan Allah Yang Maha Esa sebagai Sang Pencipta, sekaligus menisbikan semua selain Allah. Tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup dan sumber nilai. Allah menjadi fokus dari seluruh rasa hormat dan syukur. Komitmen ini bersifat totalitas, utuh, positif dan kukuh. Karena itulah, segala cinta, ketaatan, pengabdian dan kepasarahannya serta kemauannya untuk menjalankan kehendak-kehendak Allah merupakan tujuan yang hendak dicapainya.
Dengan kata lain, kehadiran Islam telah memberikan jaminan kebebasan manusia agar terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik ataupun ideologi. Al-Quran menekankan persamaan seluruh umat manusia di mata Allah SWT, yang menciptakan manusia dari asal yang sama dan kepada-Nyalah semua harus taat dan patuh. Masalah superior manusia yang berkenaan dengan asal mula manusia, oleh Islam, terus ditekan. Dalam hal ini, agama Islam tidak mengakui adanya hak istimewa yang berdasarkan kelahiran, kebangsaan, ataupun halangan buatan lainnya yang dibentuk oleh manusia. Tetapi, kemuliaan itu justru terletak pada amal kebajikan itu sendiri.
Konsekuensi dari ajaran (tauhid) ini adalah semangat perlawanan yang terus menerus terhadap kesewenang-wenangan, yang dalam al-Quran disebut sebagai thaghut, yaitu perilaku yang mengantar seseorang kepada kepada kekufuran, tirani, sewenang-wenang, dan melampaui batas-batas kemanusiaan. Dalam konteks bangsa kita, tindakan kesewenang-wenangan itu  bisa berupa  arogansi, dominasi, aksi teror, kekerasan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Jadi, apa yang menimpa bangsa kita saat ini menggambarkan betapa betapa budaya masyarakat kita belum terbebas dari kesewenang-wenangan sebagaimana diuraikan di atas. Berbagai peristiwa memprihatinkan yang menimpa bangsa kita bisa dibilang adalah jelmaan dari thaghut-thaghut  yang kian merajalela. Ini adalah suatu ironi dan pengingkaran makna Nuzulul Quran itu sendiri. Sikap egois, gampang ditekan atau diintimidasi, mudah tersinggung, apatis, curiga kepada kelompok lain, dan kurang empati terhadap nasib rakyat kecil adalah perilaku yang kontraproduktif bagi tumbuhnya manusia-manusia yang merdeka.
            Karenanya, keteladanan yang diwujudkan dalam proses turunnya al-Quran adalah penegasan kembali akan esensi manusia yang sesungguhnya, yaitu manusia paripurna yang mampu menjelmakan sifat-sifat Tuhan dalam perilaku sosial di masyarakat, sekaligus membebaskan diri dari nafsu dan ambisi duniawi. Inilah yang pernah dicontohkan oleh Nabi Saw yang perlu diteladani oleh kita  untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, yaitu semangat melawan tirani, kekerasan, ketidakadilan, diskriminasi, kesewenang-wenangan, dan kemusyrikan.
            Maka, Nuzulul Quran adalah momen yang sangat penting bagi bangsa kita untuk menemukan kembali makna kemanusiaannya yang universal, yaitu tatanan masyarakat bangsa yang merdeka dan bebas dari segala bentuk intimidasi, dominasi dan arogansi. Inilah substansi Nuzulul Quran yang memberikan inspirasi ilahiah dalam membangun masyarakat yang maju, bersatu, dan beradab (madani), sebagaimana telah dibangun oleh Muhammad Saw di Madinah.
            Dengan demikian, misi ataupun syariat yang dibawa Muhammad Saw menjadi suatu sistem pembebasan total umat manusia. Dengan syahadat dan shalat, al-Quran membebaskan manusia dari penghambaan oleh sesama, siapapun dia orangnya. Dengan puasa, al-Quran juga membebaskan manusia dari penghambaan terhadap nafsu dirinya sendiri. Dengan zakat, manusia dibebaskan dari penghambaan terhadap harta benda dan kekuasaan. Sedangkan dengan ibadah haji, manusia hendak dilepaskan dari belenggu budaya dan peradaban yang diciptakan oleh manusia sendiri.
Dengan demikian, momen Nuzulul Quran hendaknya menegaskan kita untuk meneladani perjuangan Muhammad Saw dalam mencapai makna pembebasan dari kelima simbol tersebut.

No comments: