KORAN TEMPO, 26 Juni 2002
Narkoba
dan Ancaman Generasi
(Refleksi
Hari Antimadat Sedunia)
Oleh Khaeron Sirin
Oleh Khaeron Sirin
Akhir-akhir
ini, peredaran narkotik dan obatan-obatan terlarang atau yang sering dikenal
dengan istilah narkoba sungguh memprihatinkan. Peredarannya telah merembes ke
mana-mana, di hampir semua lapisan masyarakat, dari kalangan atas hingga anak
jalanan, dari kalangan profesional, mahasiswa, pelajar, hingga murid sekolah
dasar.
Selain
itu, tempat-tempat peredarannya bukan saja di kawasan hiburan, diskotek,
ataupun kafe, tapi juga tersebar merata di kawasan permukiman, tempat-tempat
kos, dan lembaga-lembaga pendidikan, bahkan menjalar di lembaga-lembaga
pemasyarakatan (penjara). Yang memprihatinkan lagi, transaksinya pun sudah
tidak lagi dengan cara sembunyi-sembunyi, tapi sudah terang-terangan.
Ribuan
atau bahkan ratusan ribu korban berjatuhan sudah. Banyak korban tewas akibat
kelebihan dosis, ribuan korban masuk rumah sakit dan panti-panti rehabilitasi.
Belum lagi, mereka yang kini masih menikmati hari-hari kecanduan mereka lewat
ganja, ekstasi, sabu-sabu, pil koplo, putaw, dan sebagainya. Jelas, penggunaan
narkoba kini sudah menjadi semacam gaya hidup (life style), alat pergaulan, dan
tren di semua kalangan masyarakat.
Padahal,
mereka tahu bahwa obat yang mereka konsumsi jelas-jelas bisa membahayakan
mereka sendiri. Setidaknya, mereka memiliki cukup pengetahuan bahwa obat-obatan
tersebut membahayakan jiwa mereka: jika disalahgunakan dapat mengakibatkan
ketergantungan, ketagihan, menimbulkan komplikasi penyakit pada diri si
penggunanya, bahkan tidak menutup kemungkinan bisa menyebabkan kematian akibat
kelebihan takaran (overdosis) atau karena bahan campuran itu sendiri. Mereka
pun sadar betul bahwa mereka bisa ditangkap dan dipenjara karena pemakaian obat
terlarang ini. Sungguh, fenomena ini sulit dipercaya sebab tak ada manfaat
sedikit pun yang bisa diambil dari budaya murahan seperti ini.
Karena
itulah, di momen Hari Antimadat Sedunia ini, merebaknya penyalahgunaan dan
peredaran narkoba harus ditempatkan tidak lagi sebagai persoalan domestik di
sebuah keluarga, tapi sebagai persoalan nasional (negara) yang harus segera
ditangani secara tuntas dan tegas, untuk mencegah hancurnya sebuah generasi
bangsa.
Memang,
kecenderungan kian merebaknya penggunaan narkoba di kalangan generasi muda
sangat disadari oleh hampir seluruh lapisan masyarakat kita. Masyarakat pun
merasakan keresahan yang begitu besar dengan berbagai dampak buruk yang
ditimbulkan oleh narkoba. Sebab, penyalahgunaan ataupun peredaran narkoba ini
setidaknya telah menghancurkan tatanan sosial dalam keluarga dan masyarakat,
hingga pada tindak kriminal serta gangguan ketertiban dan keamanan. Tidak
mengherankan, jika narkoba merupakan penyakit sekaligus musuh yang paling
ditakuti masyarakat kita saat ini.
Berbagai
upaya untuk memberantas dan menindak tegas para pemakai dan pengedar narkoba,
baik oleh aparat penegak hukum ataupun masyarakat setempat, terus dilakukan.
Sayangnya, hal itu belum menampakkan hasil yang maksimal. Terbukti dengan
semakin merajalelanya peredaran narkoba di kalangan masyarakat bawah dan
banyaknya korban yang berjatuhan hari demi hari akibat obat-obatan ini. Bahkan,
mereka yang sebelumnya menjadi korban bukan tidak mungkin kini menjadi pengguna
(pecandu), pengedar, atau bahkan pemasok dan produsen narkoba.
Karena
itu, setidaknya ada dua pendekatan yang perlu dilakukan dalam mengatasi bencana
narkoba ini. Pertama, pendekatan institusional, dengan lembaga-lembaga yang
turut menangani masalah narkoba ini melakukan tindakan keras dan tegas untuk
memberantas narkoba. Kedua, lembaga pendidikan juga diharapkan bisa mengatasi
masalah ini dengan melakukan fungsi semestinya, yaitu mendidik generasi muda.
Dalam
hal ini, pelaku pengedaran narkoba harus dihukum berat. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa ia bertanggung jawab secara hukum atas kerusakan yang timbul
di masyarakat akibat narkoba, semisal pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan
juga hancurnya mentalitas sebuah generasi. Meski hal itu sangat lambat disadari
pemerintah, penerapan sanksi hukum yang berat harus segera diwujudkan agar
memiliki daya kekuatan dalam menekan peredaran dan penggunaan narkoba.
Harus
diakui, aturan-aturan hukum selama ini masih jauh dari gambaran ideal dalam
mengikis habis kasus-kasus narkoba saat ini. Meski dalam UU No. 22/1997 tentang
Narkotika, hukuman mati sebagai hukuman maksimal sudah ditetapkan, dalam
implementasinya tidak semudah yang dibayangkan. Dalam konteks ini, hukuman mati
hanya bisa diterapkan jika pelaku terbukti mengedarkan narkoba secara
terorganisasi, atau diawali dengan permufakatan jahat.
Karenanya,
aturan tersebut perlu diubah sehingga hukuman mati harus diperluas lagi bagi
setiap tersangka yang terbukti terlibat dalam pengedaran narkoba, baik
terorganisasi ataupun tidak. Hal ini sebagaimana yang diberlakukan di Malaysia
dan Singapura, di mana hukuman mati merupakan keniscayaan bagi siapa saja yang
terbukti membawa narkoba.
Lebih
dari itu, kita tidak cukup mengandalkan tindakan aparat penegak hukum dalam
mengantisipasi kian merebaknya narkoba di kalangan masyarakat. Masyarakat kita
harus secara sadar terlibat aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasannya,
khususnya dari dalam keluarga itu sendiri. Sebab, bukan tidak mungkin
kecenderungan modernitas dalam keluarga ternyata ikut berpengaruh terhadap pola
hubungan atau pergaulan anak dan orangtua yang bisa memperlemah ikatan
kekeluargaan dan menyebabkan anomali di dalam keluarga.
Dengan
demikian, masalah narkoba ataupun penyalahgunaan obatan-obatan harus dihadapi
secara realistis. Artinya, di satu sisi, harus ada keputusan politik yang
secara tegas memberantas penyebarannya lewat penegakan hukum secara konsisten.
Di sisi lain, ratusan ribu orang, khususnya generasi muda, yang sudah terjebak
dalam barang haram ini, juga harus ditangani secara memadai, baik secara medis
ataupun psikologis, di berbagai panti rehabilitasi dan pemulihan. Yang tak
kalah penting, penyebaran informasi yang tepat dan benar tentang akibat
pemakaian narkoba ini harus dikembangkan secara menyeluruh, khususnya di
berbagai lembaga pendidikan.
Alhasil, perlu kiranya
direnungkan apa yang pernah dikemukakan sosiolog asal Mesir, Abdul Ghani
al-Hamad (1985): "Sekiranya kita menghitung dana yang dialokasikan untuk
biaya penyembuhan beragam penyakit akibat narkoba, sungguh kita telah
menghabiskan dana yang sangat besar dari kekayaan negara kita. Padahal, dana
tersebut bisa kita gunakan untuk perbaikan kondisi materi kita, kondisi sosial
kita, dan kondisi perekonomian kita." Pendeknya, ini hal mubazir yang tak
perlu terjadi.
No comments:
Post a Comment