Wednesday, November 8, 2017

Narkoba dan Ancaman Generasi



KORAN TEMPO, 26 Juni 2002
Narkoba dan Ancaman Generasi
(Refleksi Hari Antimadat Sedunia)

Oleh Khaeron Sirin

Akhir-akhir ini, peredaran narkotik dan obatan-obatan terlarang atau yang sering dikenal dengan istilah narkoba sungguh memprihatinkan. Peredarannya telah merembes ke mana-mana, di hampir semua lapisan masyarakat, dari kalangan atas hingga anak jalanan, dari kalangan profesional, mahasiswa, pelajar, hingga murid sekolah dasar.
Selain itu, tempat-tempat peredarannya bukan saja di kawasan hiburan, diskotek, ataupun kafe, tapi juga tersebar merata di kawasan permukiman, tempat-tempat kos, dan lembaga-lembaga pendidikan, bahkan menjalar di lembaga-lembaga pemasyarakatan (penjara). Yang memprihatinkan lagi, transaksinya pun sudah tidak lagi dengan cara sembunyi-sembunyi, tapi sudah terang-terangan.
Ribuan atau bahkan ratusan ribu korban berjatuhan sudah. Banyak korban tewas akibat kelebihan dosis, ribuan korban masuk rumah sakit dan panti-panti rehabilitasi. Belum lagi, mereka yang kini masih menikmati hari-hari kecanduan mereka lewat ganja, ekstasi, sabu-sabu, pil koplo, putaw, dan sebagainya. Jelas, penggunaan narkoba kini sudah menjadi semacam gaya hidup (life style), alat pergaulan, dan tren di semua kalangan masyarakat.
Padahal, mereka tahu bahwa obat yang mereka konsumsi jelas-jelas bisa membahayakan mereka sendiri. Setidaknya, mereka memiliki cukup pengetahuan bahwa obat-obatan tersebut membahayakan jiwa mereka: jika disalahgunakan dapat mengakibatkan ketergantungan, ketagihan, menimbulkan komplikasi penyakit pada diri si penggunanya, bahkan tidak menutup kemungkinan bisa menyebabkan kematian akibat kelebihan takaran (overdosis) atau karena bahan campuran itu sendiri. Mereka pun sadar betul bahwa mereka bisa ditangkap dan dipenjara karena pemakaian obat terlarang ini. Sungguh, fenomena ini sulit dipercaya sebab tak ada manfaat sedikit pun yang bisa diambil dari budaya murahan seperti ini.
Karena itulah, di momen Hari Antimadat Sedunia ini, merebaknya penyalahgunaan dan peredaran narkoba harus ditempatkan tidak lagi sebagai persoalan domestik di sebuah keluarga, tapi sebagai persoalan nasional (negara) yang harus segera ditangani secara tuntas dan tegas, untuk mencegah hancurnya sebuah generasi bangsa.
Memang, kecenderungan kian merebaknya penggunaan narkoba di kalangan generasi muda sangat disadari oleh hampir seluruh lapisan masyarakat kita. Masyarakat pun merasakan keresahan yang begitu besar dengan berbagai dampak buruk yang ditimbulkan oleh narkoba. Sebab, penyalahgunaan ataupun peredaran narkoba ini setidaknya telah menghancurkan tatanan sosial dalam keluarga dan masyarakat, hingga pada tindak kriminal serta gangguan ketertiban dan keamanan. Tidak mengherankan, jika narkoba merupakan penyakit sekaligus musuh yang paling ditakuti masyarakat kita saat ini.
Berbagai upaya untuk memberantas dan menindak tegas para pemakai dan pengedar narkoba, baik oleh aparat penegak hukum ataupun masyarakat setempat, terus dilakukan. Sayangnya, hal itu belum menampakkan hasil yang maksimal. Terbukti dengan semakin merajalelanya peredaran narkoba di kalangan masyarakat bawah dan banyaknya korban yang berjatuhan hari demi hari akibat obat-obatan ini. Bahkan, mereka yang sebelumnya menjadi korban bukan tidak mungkin kini menjadi pengguna (pecandu), pengedar, atau bahkan pemasok dan produsen narkoba.
Karena itu, setidaknya ada dua pendekatan yang perlu dilakukan dalam mengatasi bencana narkoba ini. Pertama, pendekatan institusional, dengan lembaga-lembaga yang turut menangani masalah narkoba ini melakukan tindakan keras dan tegas untuk memberantas narkoba. Kedua, lembaga pendidikan juga diharapkan bisa mengatasi masalah ini dengan melakukan fungsi semestinya, yaitu mendidik generasi muda.
Dalam hal ini, pelaku pengedaran narkoba harus dihukum berat. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ia bertanggung jawab secara hukum atas kerusakan yang timbul di masyarakat akibat narkoba, semisal pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan juga hancurnya mentalitas sebuah generasi. Meski hal itu sangat lambat disadari pemerintah, penerapan sanksi hukum yang berat harus segera diwujudkan agar memiliki daya kekuatan dalam menekan peredaran dan penggunaan narkoba.
Harus diakui, aturan-aturan hukum selama ini masih jauh dari gambaran ideal dalam mengikis habis kasus-kasus narkoba saat ini. Meski dalam UU No. 22/1997 tentang Narkotika, hukuman mati sebagai hukuman maksimal sudah ditetapkan, dalam implementasinya tidak semudah yang dibayangkan. Dalam konteks ini, hukuman mati hanya bisa diterapkan jika pelaku terbukti mengedarkan narkoba secara terorganisasi, atau diawali dengan permufakatan jahat.
Karenanya, aturan tersebut perlu diubah sehingga hukuman mati harus diperluas lagi bagi setiap tersangka yang terbukti terlibat dalam pengedaran narkoba, baik terorganisasi ataupun tidak. Hal ini sebagaimana yang diberlakukan di Malaysia dan Singapura, di mana hukuman mati merupakan keniscayaan bagi siapa saja yang terbukti membawa narkoba.
Lebih dari itu, kita tidak cukup mengandalkan tindakan aparat penegak hukum dalam mengantisipasi kian merebaknya narkoba di kalangan masyarakat. Masyarakat kita harus secara sadar terlibat aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasannya, khususnya dari dalam keluarga itu sendiri. Sebab, bukan tidak mungkin kecenderungan modernitas dalam keluarga ternyata ikut berpengaruh terhadap pola hubungan atau pergaulan anak dan orangtua yang bisa memperlemah ikatan kekeluargaan dan menyebabkan anomali di dalam keluarga.
Dengan demikian, masalah narkoba ataupun penyalahgunaan obatan-obatan harus dihadapi secara realistis. Artinya, di satu sisi, harus ada keputusan politik yang secara tegas memberantas penyebarannya lewat penegakan hukum secara konsisten. Di sisi lain, ratusan ribu orang, khususnya generasi muda, yang sudah terjebak dalam barang haram ini, juga harus ditangani secara memadai, baik secara medis ataupun psikologis, di berbagai panti rehabilitasi dan pemulihan. Yang tak kalah penting, penyebaran informasi yang tepat dan benar tentang akibat pemakaian narkoba ini harus dikembangkan secara menyeluruh, khususnya di berbagai lembaga pendidikan.
Alhasil, perlu kiranya direnungkan apa yang pernah dikemukakan sosiolog asal Mesir, Abdul Ghani al-Hamad (1985): "Sekiranya kita menghitung dana yang dialokasikan untuk biaya penyembuhan beragam penyakit akibat narkoba, sungguh kita telah menghabiskan dana yang sangat besar dari kekayaan negara kita. Padahal, dana tersebut bisa kita gunakan untuk perbaikan kondisi materi kita, kondisi sosial kita, dan kondisi perekonomian kita." Pendeknya, ini hal mubazir yang tak perlu terjadi.

No comments: