Majalah
Mimbar Ulama, MUI, Mei 2004
Misi
Sosial-Politik Perayaan Maulid Nabi
Oleh Khaeron Sirin
Dalam tradisi Islam Sunni,
hari lahir Nabi Muhammad saw atau yang sering dikenal dengan Maulid Nabi saw
adalah satu dari tiga hari raya Muslim yang utama. Meski bukan sebagai hari
raya agama, seperti halnya Idul Fitri dan Idul Adha, Maulid Nabi saw dirayakan
di hampir seluruh dunia Muslim. Ini adalah bulan di mana dirayakan sebuah
‘pesta’ untuk mengenang kelahiran Nabi saw dengan cara membaca al-Quran,
mendeklamasikan teks-teks yang berisi puji-pujian kepada Nabi saw, memberikan
khutbah-khutbah (ceramah), serta membagi-bagikan sedekah ataupun makanan kepada
masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan untuk mempererat persaudaraan dan
memelihara persatuan di tengah kehidupan masyarakat (bangsa).
Meski tidak memiliki dasar
hukum (agama) yang kuat, perayaan ini adalah sebuah inovasi sosial-politik (bid’ah
hasanah) yang bisa dilestarikan dan dikembangkan sebagai momentum menjalin
hubungan erat di antara sesama manusia, antara penguasa dengan rakyatnya
ataupun antara satu negara dengan negara lainnya. Adalah Shalahuddin al-Ayyubi
(1137-1193), seorang panglima besar dalam perang Sabil (Salib), yang
mencetuskan perayaan Maulid Nabi saw di seluruh dunia Muslim. Tujuannya adalah
membangkitkan semangat perjuangan dan semangat persatuan di antara umat Islam
saat itu untuk membebaskan diri dari segala bentuk penindasan yang mengekang
kebebasan dan kemerdekaan manusia secara universal, baik fisik ataupun mental,
sekaligus pengukuhan eksistensi kedaulatan suatu komunitas bangsa.
Ini adalah sebuah strategi
yang dilakukan para penguasa Muslim ketika itu untuk menjalin hubungan baik
antara penguasa dan rakyatnya. Bahkan, berkumpulnya para penguasa, rakyat dan
juga para tamu undangan (negara tetangga), secara tidak langsung, menegaskan
kesetiaan dan pengakuan mereka terhadap eksistensi penguasa dan kedaulatan
sebuah negara. Dari sinilah, perayaan Maulid Nabi saw, dalam sejarahnya,
kemudian memiliki misi sosial politik yang penting dalam menjalin hubungan di
antara ketiga elemen tersebut.
Dalam konteks Indonesia
saat ini, pelestarian misi-misi sosial-politik tersebut bisa dilihat dalam
perayaan Maulid Nabi saw di keraton Yogyakarta dan Surakarta yang hingga kini
masih terus dirayakan dengan istilah sekaten. Di samping untuk mendekatkan
hubungan antara penguasa dan rakyat, perayaan tersebut dimaksudkan untuk
membagi-bagikan sedekah ataupun kemakmuran kepada rakyat yang disimbolisasikan
dengan aneka hasil panen (bumi).
Selain itu, perayaan Maulid Nabi saw itu sendiri
sebenarnya bisa dikembangkan ke tingkat yang lebih luas lagi, yaitu memupuk
nasionalisme antar-komunitas bangsa. Apalagi, di tengah konflik sosial, politik
dan budaya kekerasan yang hingga kini tetap saja berlangsung di berbagai daerah
di Indonesia. Jelas, perayaan semacam ini bisa meretas kembali nilai-nilai
persaudaraan (ukhuwah) dan semangat kebersamaan di antara sesama bangsa.
Selain itu, dalam konteks perayaan ini, para penguasa ataupun elite bangsa juga
harus bisa menjadi figur yang dipercaya untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi, yaitu dengan meresepsi semangat perjuangan Nabi Muhammad saw dalam
menciptakan kedamaian hidup di tengah masyarakat.
Lebih dari itu, perayaan maulid Nabi Saw bisa dijadikan
renungan bagi bangsa ini untuk mewaspadai musuh-musuh
kita dalam bentuk lain yang kini semakin merajalela, seperti kebodohan,
kemiskinan, keterbelakangan, sikap emosi, dan berbagai perilaku yang menyimpang
dari ajaran Nabi Muhammad saw. Hal ini sangat relevan mengingat kita selama ini
masih sering emosional dan tidak sabar. Kita masih sering menyakiti anggota
keluarga dan orang lain. Kita juga masih sering mementingkan diri sendiri dan
tidak toleran kepada orang lain. Banyak di antara kita yang belum peduli kepada
yatim-piatu, fakir-miskin (dhuafa), dan orang-orang yang membutuhkan
pertolongan. Bahkan banyak di antara kita yang masih suka mengambil yang bukan
hak: korupsi, mencari nafkah tidak halal, dan memperkaya diri sendiri tanpa
mempedulikan ajaran-ajaran Nabi kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kita tahu, lahirnya Muhammad saw adalah pelita bagi
manusia-manusia tertindas. Beliau berusaha bangkit dari keadaan tersebut dan
melaksanakan misi kemanusiaannya di tengah-tengah adat istiadat dan
pemikiran-pemikiran jahiliyyah saat itu. Beliau pun berusaha menghilangkan
ketidakadilan sosial dan menghapus sistem kelas dalam masyarakat, sekaligus
berusaha menegakkan ajaran persamaan di antara sesama manusia, di mana semua
manusia memiliki hak-hak sosial dan hukum yang sama. Inilah misi tauhid yang
diajarkan Nabi saw untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, baik fisik
ataupun mental.
Dalam hal ini, pembebasan fisik memiliki arti bahwa
manusia tidak memiliki ikatan keterpaksaan yang mengekang diri ataupun
pikirannya. Ia berdiri sendiri, bebas untuk menentukan sikap kehidupannya. Selain
itu, pembebasan fisik berarti juga mengembalikan rasa kemanusiaan mereka dan
memperlakukan mereka secara terhormat. Sedangkan, pembebasan mental berarti
pengembalian jiwa manusia kepada statusnya sebagai manusia yang memiliki
kehormatan yang dilindungi undang-undang dan hak-hak yang tidak boleh
dilanggar, baik ucapan ataupun perbuatan. Semangat inilah yang terkandung dalam
doktrin tauhid yang diemban oleh Muhammad saw dalam menghadapi kaum aristokrat
Quraisy di Mekkah saat itu, yang sarat dengan budaya kekerasan, SARA,
kesewenang-wenangan dan kemusyrikan.
Dari sinilah, bangsa Indonesia hendaknya bisa bersikap
arif dan bijaksana dalam menghadapi berbagai konflik yang terjadi di tengah
masyarakat, seperti kasus Aceh, Maluku, Papua dan konflik-konflik lainnya.
Bangsa kita harus bersikap akomodatif dan persuasif dalam menyelesaikan
konflik, sekaligus menyatukan komunitas bangsa. Bangsa kita juga hendaknya bisa
memahami berbagai tuntutan masyarakat yang selama ini tertindak secara sosial,
ekonomi dan politik. Hal ini bisa dilakukan, misalnya, dengan cara mendengarkan
jeritan hati mereka yang menderita, memberikan kompensasi pada para korban
konflik, dan juga memberikan amnesti (pengampunan) bagi pihak-pihak yang
bersalah atau berseberangan dengan penguasa, serta menempuh jalur kekeluargaan
dalam menyelesaikan setiap konflik di antara elemen bangsa.
Selain itu, para elite politik, pemuka masyarakat dan
tokoh agama (ulama) harus menjadi figur pemersatu yang bisa menghilangkan rasa
benci dan dendam dalam diri anggota kelompok dan masyarakatnya. Bukankah semua
agama mengajarkan kita hidup rukun, damai dan berkasih sayang, serta. tidak
mengajarkan kita mencari kesalahan-kesalahan orang lain? Jadi, sudah semestinya
agama dan politik menjadi sarana untuk menekan budaya kekerasan, bukan malah
menjadi alat kekerasan di masyarakat. Sekaligus, bisa diarahkan untuk
memperkuat tatanan masyarakat bawah.
Dari sini, misi ataupun syariat yang dibawa Nabi Muhammad
saw menjadi suatu sistem pembebasan total umat manusia yang bisa kita teladani.
Dengan syahadat dan shalat, Islam membebaskan manusia dari penghambaan oleh
sesama, siapapun dia orangnya. Dengan puasa, Islam juga membebaskan manusia
dari penghambaan terhadap nafsu dirinya sendiri. Dengan zakat, manusia
dibebaskan dari penghambaan terhadap harta benda dan kekuasaan. Sedangkan
dengan ibadah haji, manusia hendak dilepaskan dari belenggu budaya dan
peradaban yang diciptakan oleh manusia sendiri.
Inilah, sejatinya misi sosial politik yang bisa kita
ambil dari perayaan maulid Nabi saw, yaitu menegaskan komitmen diri bangsa dalam
berperilaku, berekonomi, berpolitik, bersosial, berbudaya dan seterusnya—dengan
meneladani sejarah perjuangan Nabi Muhammad saw—dalam membangun tatanan
masyarakat bangsa di negara yang kita cintai ini.
No comments:
Post a Comment