Wednesday, November 8, 2017

Misi Sosial-Politik Perayaan Maulid Nabi



Majalah Mimbar Ulama, MUI, Mei 2004
Misi Sosial-Politik Perayaan Maulid Nabi
 Oleh Khaeron Sirin

            Dalam tradisi Islam Sunni, hari lahir Nabi Muhammad saw atau yang sering dikenal dengan Maulid Nabi saw adalah satu dari tiga hari raya Muslim yang utama. Meski bukan sebagai hari raya agama, seperti halnya Idul Fitri dan Idul Adha, Maulid Nabi saw dirayakan di hampir seluruh dunia Muslim. Ini adalah bulan di mana dirayakan sebuah ‘pesta’ untuk mengenang kelahiran Nabi saw dengan cara membaca al-Quran, mendeklamasikan teks-teks yang berisi puji-pujian kepada Nabi saw, memberikan khutbah-khutbah (ceramah), serta membagi-bagikan sedekah ataupun makanan kepada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan untuk mempererat persaudaraan dan memelihara persatuan di tengah kehidupan masyarakat (bangsa).
            Meski tidak memiliki dasar hukum (agama) yang kuat, perayaan ini adalah sebuah inovasi sosial-politik (bid’ah hasanah) yang bisa dilestarikan dan dikembangkan sebagai momentum menjalin hubungan erat di antara sesama manusia, antara penguasa dengan rakyatnya ataupun antara satu negara dengan negara lainnya. Adalah Shalahuddin al-Ayyubi (1137-1193), seorang panglima besar dalam perang Sabil (Salib), yang mencetuskan perayaan Maulid Nabi saw di seluruh dunia Muslim. Tujuannya adalah membangkitkan semangat perjuangan dan semangat persatuan di antara umat Islam saat itu untuk membebaskan diri dari segala bentuk penindasan yang mengekang kebebasan dan kemerdekaan manusia secara universal, baik fisik ataupun mental, sekaligus pengukuhan eksistensi kedaulatan suatu komunitas bangsa.
            Ini adalah sebuah strategi yang dilakukan para penguasa Muslim ketika itu untuk menjalin hubungan baik antara penguasa dan rakyatnya. Bahkan, berkumpulnya para penguasa, rakyat dan juga para tamu undangan (negara tetangga), secara tidak langsung, menegaskan kesetiaan dan pengakuan mereka terhadap eksistensi penguasa dan kedaulatan sebuah negara. Dari sinilah, perayaan Maulid Nabi saw, dalam sejarahnya, kemudian memiliki misi sosial politik yang penting dalam menjalin hubungan di antara ketiga elemen tersebut.
            Dalam konteks Indonesia saat ini, pelestarian misi-misi sosial-politik tersebut bisa dilihat dalam perayaan Maulid Nabi saw di keraton Yogyakarta dan Surakarta yang hingga kini masih terus dirayakan dengan istilah sekaten. Di samping untuk mendekatkan hubungan antara penguasa dan rakyat, perayaan tersebut dimaksudkan untuk membagi-bagikan sedekah ataupun kemakmuran kepada rakyat yang disimbolisasikan dengan aneka hasil panen (bumi).
Selain itu, perayaan Maulid Nabi saw itu sendiri sebenarnya bisa dikembangkan ke tingkat yang lebih luas lagi, yaitu memupuk nasionalisme antar-komunitas bangsa. Apalagi, di tengah konflik sosial, politik dan budaya kekerasan yang hingga kini tetap saja berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Jelas, perayaan semacam ini bisa meretas kembali nilai-nilai persaudaraan (ukhuwah) dan semangat kebersamaan di antara sesama bangsa. Selain itu, dalam konteks perayaan ini, para penguasa ataupun elite bangsa juga harus bisa menjadi figur yang dipercaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, yaitu dengan meresepsi semangat perjuangan Nabi Muhammad saw dalam menciptakan kedamaian hidup di tengah masyarakat.
Lebih dari itu, perayaan maulid Nabi Saw bisa dijadikan renungan bagi bangsa ini untuk mewaspadai musuh-musuh kita dalam bentuk lain yang kini semakin merajalela, seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, sikap emosi, dan berbagai perilaku yang menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad saw. Hal ini sangat relevan mengingat kita selama ini masih sering emosional dan tidak sabar. Kita masih sering menyakiti anggota keluarga dan orang lain. Kita juga masih sering mementingkan diri sendiri dan tidak toleran kepada orang lain. Banyak di antara kita yang belum peduli kepada yatim-piatu, fakir-miskin (dhuafa), dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Bahkan banyak di antara kita yang masih suka mengambil yang bukan hak: korupsi, mencari nafkah tidak halal, dan memperkaya diri sendiri tanpa mempedulikan ajaran-ajaran Nabi kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kita tahu, lahirnya Muhammad saw adalah pelita bagi manusia-manusia tertindas. Beliau berusaha bangkit dari keadaan tersebut dan melaksanakan misi kemanusiaannya di tengah-tengah adat istiadat dan pemikiran-pemikiran jahiliyyah saat itu. Beliau pun berusaha menghilangkan ketidakadilan sosial dan menghapus sistem kelas dalam masyarakat, sekaligus berusaha menegakkan ajaran persamaan di antara sesama manusia, di mana semua manusia memiliki hak-hak sosial dan hukum yang sama. Inilah misi tauhid yang diajarkan Nabi saw untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, baik fisik ataupun mental.
Dalam hal ini, pembebasan fisik memiliki arti bahwa manusia tidak memiliki ikatan keterpaksaan yang mengekang diri ataupun pikirannya. Ia berdiri sendiri, bebas untuk menentukan sikap kehidupannya. Selain itu, pembebasan fisik berarti juga mengembalikan rasa kemanusiaan mereka dan memperlakukan mereka secara terhormat. Sedangkan, pembebasan mental berarti pengembalian jiwa manusia kepada statusnya sebagai manusia yang memiliki kehormatan yang dilindungi undang-undang dan hak-hak yang tidak boleh dilanggar, baik ucapan ataupun perbuatan. Semangat inilah yang terkandung dalam doktrin tauhid yang diemban oleh Muhammad saw dalam menghadapi kaum aristokrat Quraisy di Mekkah saat itu, yang sarat dengan budaya kekerasan, SARA, kesewenang-wenangan dan kemusyrikan.
Dari sinilah, bangsa Indonesia hendaknya bisa bersikap arif dan bijaksana dalam menghadapi berbagai konflik yang terjadi di tengah masyarakat, seperti kasus Aceh, Maluku, Papua dan konflik-konflik lainnya. Bangsa kita harus bersikap akomodatif dan persuasif dalam menyelesaikan konflik, sekaligus menyatukan komunitas bangsa. Bangsa kita juga hendaknya bisa memahami berbagai tuntutan masyarakat yang selama ini tertindak secara sosial, ekonomi dan politik. Hal ini bisa dilakukan, misalnya, dengan cara mendengarkan jeritan hati mereka yang menderita, memberikan kompensasi pada para korban konflik, dan juga memberikan amnesti (pengampunan) bagi pihak-pihak yang bersalah atau berseberangan dengan penguasa, serta menempuh jalur kekeluargaan dalam menyelesaikan setiap konflik di antara elemen bangsa.
Selain itu, para elite politik, pemuka masyarakat dan tokoh agama (ulama) harus menjadi figur pemersatu yang bisa menghilangkan rasa benci dan dendam dalam diri anggota kelompok dan masyarakatnya. Bukankah semua agama mengajarkan kita hidup rukun, damai dan berkasih sayang, serta. tidak mengajarkan kita mencari kesalahan-kesalahan orang lain? Jadi, sudah semestinya agama dan politik menjadi sarana untuk menekan budaya kekerasan, bukan malah menjadi alat kekerasan di masyarakat. Sekaligus, bisa diarahkan untuk memperkuat tatanan masyarakat bawah.
Dari sini, misi ataupun syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw menjadi suatu sistem pembebasan total umat manusia yang bisa kita teladani. Dengan syahadat dan shalat, Islam membebaskan manusia dari penghambaan oleh sesama, siapapun dia orangnya. Dengan puasa, Islam juga membebaskan manusia dari penghambaan terhadap nafsu dirinya sendiri. Dengan zakat, manusia dibebaskan dari penghambaan terhadap harta benda dan kekuasaan. Sedangkan dengan ibadah haji, manusia hendak dilepaskan dari belenggu budaya dan peradaban yang diciptakan oleh manusia sendiri.
Inilah, sejatinya misi sosial politik yang bisa kita ambil dari perayaan maulid Nabi saw, yaitu menegaskan komitmen diri bangsa dalam berperilaku, berekonomi, berpolitik, bersosial, berbudaya dan seterusnya—dengan meneladani sejarah perjuangan Nabi Muhammad saw—dalam membangun tatanan masyarakat bangsa di negara yang kita cintai ini.

No comments: