KORAN
TEMPO, 14 Maret 2002
Menyambut
Tahun Baru Islam (1423 H)
Semangat
Hijrah dan Reformasi
Oleh Khaeron Sirin
Oleh Khaeron Sirin
Setelah tahun baru Masehi dan tahun baru Imlek (Cina)
yang baru saja dirayakan secara meriah di berbagai tempat di Indonesia, kini
giliran umat Islam merayakan tahun baru Hijriah (Muharam). Meski gaung tahun
baru Islam ini bisa dikatakan tidak sehebat dua tahun baru sebelumnya, tapi
momentum ini jelas memiliki makna tersendiri bagi umat Islam di Indonesia.
Artinya, ada wacana yang
melingkupi (sejarah) saat-saat sebelum dan sesudah hijrah Nabi SAW (621 M),
sehingga Umar ibn al-Khattab (Khalifah kedua), yang oleh HAR Gibb disebut
sebagai pembangun imperium Arab legendaris, menetapkannya sebagai awal
perhitungan tahun hijriah. Pertama, komitmen ajaran tauhid (monotheisme)
sekaligus penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan dan kezhaliman. Kedua,
pengikisan struktur sosial yang bernuansakan SARA kepada struktur sosial yang
egaliter dan beradab. Ketiga, perombakan kekuasaan yang otoritatif dan
absolut kepada sistem kekuasaan yang transparan dan demokratis. Ketiga nilai
inilah yang perlu direnungkan sekaligus ‘dihijrahkan’ (ditransformasikan) ke
dalam kehidupan bangsa saat ini.
Seperti diketahui,
Nabi SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah) setelah 13 tahun membangun landasan tauhid
sebagai dasar tatanan masyarakat di Mekkah. Di Madinah itulah, Nabi SAW beserta kelompok-kelompok
masyarakat, secara konkret, meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan
merumuskan ketentuan hidup bersama, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam
Madinah). Upaya Nabi SAW tersebut, secara tidak langsung, adalah sebuah
pernyataan sekaligus proklamasi untuk mendirikan dan membangun sebuah komunitas
negara-kota yang beradab (al-Madinah al-Munawarah), sebagai lawan
terhadap masyarakat ‘jahiliyyah’ di Mekah saat itu. Dalam dokumen tersebut,
umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan wawasan kebebasan, keadilan,
pluralisme dan toleransi. Semua unsur masyarakat tanpa membedakan agama dan
suku (SARA) ikut terlibat merumuskan aturan kemasyarakatan tersebut. Semuanya terhimpun dalam umat yang
satu (ummah wahidah) dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama.
Keberhasilan Nabi
SAW untuk hijrah, dari masyarakat jahili menuju masyarakat madani, memang tidak
lepas dari ajaran tauhid yang dibawanya. Dalam hal ini, doktrin tauhid la
ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah), seperti diungkap John Obert
Voll, adalah bentuk manifestasi penolakan terhadap segala bentuk loyalitas
kelompok dan kesewenang-wenangan para elite Mekah saat itu. Prinsip inilah yang
melandasi pembentukan masyarakat madani generasi Muslim awal, yang punya
implikasi komitmen manusia kepada Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan hidup
dan sumber nilai. Dengan semangat inilah, Nabi SAW berhasil mempersatukan
berbagai unsur masyarakat Madinah yang pluralistik ke dalam satu kekuatan
sosial politik, yang tercermin dari komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang
tinggi dari anggota masyarakat, serta penghargaannya terhadap hak-hak individu.
Dari sini, berbagai
bentuk kezhaliman yang kini dipertontonkan oleh bangsa kita, seperti kekerasan
politik, radikalisme massa, pelanggaran HAM dan sikap fanatisme yang
berlebihan, kiranya menjadi perhatian yang sangat serius. Sebab, masyarakat
adalah masyarakat majemuk yang sangat rentan terhadap konflik. Dominasi dari
satu pihak terhadap pihak lain seringkali memunculkan konflik sosial yang cukup
tajam, yang pada akhirnya akan memicu rusaknya rasa kebangsaan dan penghargaan
terhadap pluralitas masyarakat.
Karena itulah,
dalam konteks semangat hijrah, perlu dicari titik kesamaan, yang dalam al-Quran
disebut kalimatun sawa (pandangan yang sama), sebagai derivasi doktrin
tauhid. Dalam hal ini, kesadaran akan kemajemukan atau pluralisme tidak sekadar
menuntut pengakuan eksistensi dan hak masing-masing kelompok, tapi juga memahami
perbedaan dan persamaan untuk mencapai kerukunan dan kebhinnekaan. Dengan
demikian, menjadi tanggung jawab kita bersama membudayakan sikap keterbukaan
dan menerima perbedaan, yang dibarengi loyalitas dan komitmen bersama.
Dengan kata lain, kita dituntut
menggali semangat esensial di balik “eksperimen“ hijrah Nabi SAW dan para
sahabatnya menuju masyarakat madani. Tentunya, dengan mentransformasikan
semangat hijrah tersebut ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan negara
bangsa, dengan pengkayaan (enrichment) dari pengalaman kesatuan umat
dalam bingkai tauhid.
Selain kembali kepada doktrin tauhid
(dasar universalitas), makna “hijrah” dalam konteks bangsa kita, juga berarti
hijrah (lepas) dari segala krisis nilai (sistem), hijrah dari segala bentuk KKN
dan bentuk-bentuk kezaliman, baik vertikal ataupun horisontal menuju kesatuan
bangsa. Dalam hal ini, hijrah dimaknai sebagai upaya mencari strategi baru
menuju kesatuan politik dalam bingkai kebersamaan (common platform)
bangsa.
Karenanya, untuk membangun masa depan
bangsa ini dengan label refromasi yang menghargai dan mengakui pluralitas,
diperlukan penataan kembali komitmen
kebangsaan kita melalui pematangan budaya dan integrasi. Hal ini penting untuk
memberi pengakuan yang sama atas keberadaan dan hak-hak golongan, sehingga
nilai dominasi suatu kelompok bisa diminimalisasikan.
Bagaimanapun, peristiwa hijrah Nabi
SAW tersebut telah mengubah peta baru dalam sejarah Islam dan menjadi tonggak
awal menata komunitas masyarakat yang maju dan beradab. Dari sinilah, konstruksi masyarakat madani, yang dibangun
oleh Nabi SAW sejak hijrah ke Madinah, punya arti penting bagi perkembangan
politik dan demokrasi, sebagai ciri khas dari negara bangsa modern. Dalam hal
ini, hijrah tidak hanya dimaknai sebagai proses perpindahan individu atau
kelompok dari satu tempat menuju tempat lain. Tapi lebih dari itu, adalah
proses transformasi nilai-nilai kehidupan ke arah yang lebih baik.
Dari sinilah, proses nation
building sejatinya harus berjalan terus dan tidak boleh berhenti. Artinya,
membangun masyarakat bangsa berarti kembali kepada cita-cita masyarakat
demokratis, yang pada gilirannya akan menciptakan bangunan dasar negara bangsa
yang modern. Karena itulah, peristiwa ‘hijrah’ merupakan starting point
(langkah awal) untuk menciptakan
komunitas masyarakat yang beradab, egaliter dan bebas dari segala bentuk
kezhaliman. Dengan demikian, pergantian tahun hijriah bagi umat Islam hendaknya
menegaskan kembali komitmen reformasi (bangsa) yang telah dicanangkan.
No comments:
Post a Comment