Wednesday, November 8, 2017

Semangat Hijrah dan Reformasi



KORAN TEMPO, 14 Maret 2002
Menyambut Tahun Baru Islam (1423 H)
Semangat Hijrah dan Reformasi

Oleh Khaeron Sirin

Setelah tahun baru Masehi dan tahun baru Imlek (Cina) yang baru saja dirayakan secara meriah di berbagai tempat di Indonesia, kini giliran umat Islam merayakan tahun baru Hijriah (Muharam). Meski gaung tahun baru Islam ini bisa dikatakan tidak sehebat dua tahun baru sebelumnya, tapi momentum ini jelas memiliki makna tersendiri bagi umat Islam di Indonesia.
Artinya, ada wacana yang melingkupi (sejarah) saat-saat sebelum dan sesudah hijrah Nabi SAW (621 M), sehingga Umar ibn al-Khattab (Khalifah kedua), yang oleh HAR Gibb disebut sebagai pembangun imperium Arab legendaris, menetapkannya sebagai awal perhitungan tahun hijriah. Pertama, komitmen ajaran tauhid (monotheisme) sekaligus penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan dan kezhaliman. Kedua, pengikisan struktur sosial yang bernuansakan SARA kepada struktur sosial yang egaliter dan beradab. Ketiga, perombakan kekuasaan yang otoritatif dan absolut kepada sistem kekuasaan yang transparan dan demokratis. Ketiga nilai inilah yang perlu direnungkan sekaligus ‘dihijrahkan’ (ditransformasikan) ke dalam kehidupan bangsa saat ini.
Seperti diketahui, Nabi SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah) setelah 13 tahun membangun landasan tauhid sebagai dasar tatanan masyarakat di Mekkah. Di Madinah itulah,  Nabi SAW beserta kelompok-kelompok masyarakat, secara konkret, meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan merumuskan ketentuan hidup bersama, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah). Upaya Nabi SAW tersebut, secara tidak langsung, adalah sebuah pernyataan sekaligus proklamasi untuk mendirikan dan membangun sebuah komunitas negara-kota yang beradab (al-Madinah al-Munawarah), sebagai lawan terhadap masyarakat ‘jahiliyyah’ di Mekah saat itu. Dalam dokumen tersebut, umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan wawasan kebebasan, keadilan, pluralisme dan toleransi. Semua unsur masyarakat tanpa membedakan agama dan suku (SARA) ikut terlibat merumuskan aturan kemasyarakatan  tersebut. Semuanya terhimpun dalam umat yang satu (ummah wahidah) dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama.
Keberhasilan Nabi SAW untuk hijrah, dari masyarakat jahili menuju masyarakat madani, memang tidak lepas dari ajaran tauhid yang dibawanya. Dalam hal ini, doktrin tauhid la ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah), seperti diungkap John Obert Voll, adalah bentuk manifestasi penolakan terhadap segala bentuk loyalitas kelompok dan kesewenang-wenangan para elite Mekah saat itu. Prinsip inilah yang melandasi pembentukan masyarakat madani generasi Muslim awal, yang punya implikasi komitmen manusia kepada Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan hidup dan sumber nilai. Dengan semangat inilah, Nabi SAW berhasil mempersatukan berbagai unsur masyarakat Madinah yang pluralistik ke dalam satu kekuatan sosial politik, yang tercermin dari komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang tinggi dari anggota masyarakat, serta penghargaannya terhadap hak-hak individu.
Dari sini, berbagai bentuk kezhaliman yang kini dipertontonkan oleh bangsa kita, seperti kekerasan politik, radikalisme massa, pelanggaran HAM dan sikap fanatisme yang berlebihan, kiranya menjadi perhatian yang sangat serius. Sebab, masyarakat adalah masyarakat majemuk yang sangat rentan terhadap konflik. Dominasi dari satu pihak terhadap pihak lain seringkali memunculkan konflik sosial yang cukup tajam, yang pada akhirnya akan memicu rusaknya rasa kebangsaan dan penghargaan terhadap pluralitas masyarakat.
Karena itulah, dalam konteks semangat hijrah, perlu dicari titik kesamaan, yang dalam al-Quran disebut kalimatun sawa (pandangan yang sama), sebagai derivasi doktrin tauhid. Dalam hal ini, kesadaran akan kemajemukan atau pluralisme tidak sekadar menuntut pengakuan eksistensi dan hak masing-masing kelompok, tapi juga memahami perbedaan dan persamaan untuk mencapai kerukunan dan kebhinnekaan. Dengan demikian, menjadi tanggung jawab kita bersama membudayakan sikap keterbukaan dan menerima perbedaan, yang dibarengi loyalitas dan komitmen bersama.
Dengan kata lain, kita dituntut menggali semangat esensial di balik “eksperimen“ hijrah Nabi SAW dan para sahabatnya menuju masyarakat madani. Tentunya, dengan mentransformasikan semangat hijrah tersebut ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan negara bangsa, dengan pengkayaan (enrichment) dari pengalaman kesatuan umat dalam bingkai tauhid.
Selain kembali kepada doktrin tauhid (dasar universalitas), makna “hijrah” dalam konteks bangsa kita, juga berarti hijrah (lepas) dari segala krisis nilai (sistem), hijrah dari segala bentuk KKN dan bentuk-bentuk kezaliman, baik vertikal ataupun horisontal menuju kesatuan bangsa. Dalam hal ini, hijrah dimaknai sebagai upaya mencari strategi baru menuju kesatuan politik dalam bingkai kebersamaan (common platform) bangsa.
Karenanya, untuk membangun masa depan bangsa ini dengan label refromasi yang menghargai dan mengakui pluralitas, diperlukan penataan  kembali komitmen kebangsaan kita melalui pematangan budaya dan integrasi. Hal ini penting untuk memberi pengakuan yang sama atas keberadaan dan hak-hak golongan, sehingga nilai dominasi suatu kelompok bisa diminimalisasikan.
Bagaimanapun, peristiwa hijrah Nabi SAW tersebut telah mengubah peta baru dalam sejarah Islam dan menjadi tonggak awal menata komunitas masyarakat yang maju dan beradab. Dari sinilah,  konstruksi masyarakat madani, yang dibangun oleh Nabi SAW sejak hijrah ke Madinah, punya arti penting bagi perkembangan politik dan demokrasi, sebagai ciri khas dari negara bangsa modern. Dalam hal ini, hijrah tidak hanya dimaknai sebagai proses perpindahan individu atau kelompok dari satu tempat menuju tempat lain. Tapi lebih dari itu, adalah proses transformasi nilai-nilai kehidupan ke arah yang lebih baik.
Dari sinilah, proses nation building sejatinya harus berjalan terus dan tidak boleh berhenti. Artinya, membangun masyarakat bangsa berarti kembali kepada cita-cita masyarakat demokratis, yang pada gilirannya akan menciptakan bangunan dasar negara bangsa yang modern. Karena itulah, peristiwa ‘hijrah’ merupakan starting point (langkah awal) untuk menciptakan komunitas masyarakat yang beradab, egaliter dan bebas dari segala bentuk kezhaliman. Dengan demikian, pergantian tahun hijriah bagi umat Islam hendaknya menegaskan kembali komitmen reformasi (bangsa) yang telah dicanangkan.

No comments: