Wednesday, November 8, 2017

Idul Fitri: Puncak Manusia Sejati



MEDIA INDONESIA, 5 Desember 2002
Refleksi Idul Fitri 1423 H
Idul Fitri: Puncak Manusia Sejati
Oleh Khaeron Sirin

Setelah sebulan berpuasa, umat Islam di seluruh dunia menantikan datangnya Idul Fitri, saat di mana manusia dikembalikan pada fitrahnya, yaitu kesucian jiwa. Pada hari itu, umat Islam merayakan saat-saat kemenangan dan kebahagiaan setelah sebulan ‘digembleng’ untuk menahan segala larangan, baik yang bersifat lahiriah ataupun batiniah. Fitrah berati kesucian, yang lahir dari nurani yang mengajak untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan totalitas wujud Yang Mahahadir. Fitrah ini hanya bisa dicapai ketika manusia mampu mengatasi segala godaan dan nafsu duniawi dan lepas dari ikatan raga, menuju hakikat kemanusiaannya.
Dalam konteks ini, Idul Fitri bisa dimaknai sebagai upaya mengembalikan umat manusia pada tingkat kesejatian hidup beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Yaitu suatu umat yang tidak sekadar memikirkan kepentingan sendiri (ritualitas), tapi juga memikirkan persoalan kemasyarakatan. Inilah makna yang mesti kita capai dari esensi dan fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya, yaitu kesalehan dan kesucian di hadapan Allah SWT.
Dari sinilah, datangnya Idul Fitri memiliki implikasi yang kuat bagi terbentuknya citra dan cita manusia yang sejati dalam hidup. Karenanya, momen Idul Fitri hendaknya bisa memberi makna positif dan hakiki bagi kehidupan kita saat ini. Dalam hal ini, bagaimana semangat yang terkandung dalam Idul Fitri tersebut menjadi awal kesadaran dan kesejatian hidup manusia yang teresapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Idul Fitri adalah saat yang penuh kemulian, ampunan, kasih sayang dan pujian kepada Allah SWT. Ia juga bisa dikatakan momen yang sangat menentukan bagi perjalanan seorang hamba di masa-masa mendatang. Saat itu adalah saat titik tolak seorang hamba untuk meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat. Karenanya, Idul Fitri hanya bisa hadir tatkala manusia telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang tinggi, sebagaimana yang terjadi pada diri Muhammad SAW.
Di sinilah, manusia dituntut bisa membuka hati dan pikiran untuk menerima dan meminta maaf kepada siapa saja. Bahkan, al-Quran tidak hanya menuntut seorang hambanya untuk memaafkan orang lain, tetapi lebih dari itu, juga berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan. Lebih dari itu, Idul Fitri adalah momen bagi umat manusia untuk melepaskan segala bentuk kesenangan duniawi, yang disimbolisasikan dengan puasa (menahan diri), menuju kemanusiaan universal, yang ditandai dengan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan ke dalam dirinya. Inilah makna Idul Fitri, yaitu kembalinya manusia kepada kesucian, sebagai wujud kesejatian manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Suci.
Dalam praktiknya, kesucian seorang hamba adalah gabungan tiga unsur, antara benar, baik dan indah. Sehingga seseorang orang yang merayakan Idul Fitri, dalam arti kembali kepada kesuciannya, akan selalu berbuat yang benar, baik dan indah. Bahkan lewat kesucian jiwanya ini, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Sekaligus, selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah dari orang lain. Inilah puncak manusia sejati, yaitu orang-orang yang bisa memperlakukan orang lain lebih baik dari apa yang pernah ia lakukan kepada dirinya. Inilah landasan filosofis dari semua aktivitas manusia yang dituntut al-Quran, sekaligus menjadi landasan filosofis bagi mereka yanag merayakan Idul Fitri.  
Al-Quran sendiri telah menggambarkan betapa Muhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayat, beliau menjadi tumpuan perhatian umat manusia, karena segala perikehidupan dan sifat terpuji terhimpun dalam dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering. Dengan kata lain, pola hidup dan kehidupan Muhammad SAW merupakan wujud kesejatian hidup seorang hamba yang menjadi suri tauladan bagi para sahabatnya.
Dalam hal ini, manusia sejati (insan kamil) adalah wadah ekspresi (tajalli) Tuhan yang paripurna. Segenap wujud hanya memiliki satu realitas tunggal, yaitu wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan arah dan waktu. Ia adalah esensi murni sekaligus miniatur dari segenap jagat raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisik ataupun metafisik. Kesejatian manusia ini tidak lain karena ia merupakan identifikasi dari hakikat manusia. Pada tingkat inilah, manusia sejati mencapai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqaiq al-rahmaniyyah). Bahkan, manusia sejati memiliki tingkat pengetahuan yang bisa merealisasikan citra Tuhan dalam dirinya dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Manusia sejati adalah manusia yang bisa menjadi cermin citra Tuhan yang sempurna. Yaitu makhluk yang paling unggul dalam tingkat kesadaran ruhani dan pengetahuannya, sehingga ia mencapai peringkat tertinggi di antara makhluk yang ada di muka bumi. Dalam prosesnya, Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci, tidak dapat didekati kecuali oleh orang-orang yang suci. Yaitu orang-orang yang berani mensucikan jiwanya dengan menafikkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin. Untuk itu, biasanya orang lebih senang menempuh hidup sufi guna mencapai niai kesejatian manusia, suatu kehidupan yang lebih menonjolkan segi keruhanian dalam kehidupannya.
Dalam konteks kekinian, persepsi tentang menusia sejati ataupun insan kamil tentunya tidak sekadar dimaknai sebagai penafikan kehidupan duniawi, tetapi lebih pada pemaduan keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi. Uzlah, khalwat ataupun kontemplasi yang pernah dilakukan Muhammad SAW, saat menjelang turunya al-Quran, hendaknya tidak dimaknai sebagai saat untuk mengisolasi diri dari persoalan sosial kemasyarakatan. Tetapi lebih dari itu, kontemplasi, yang dalam istilah syariat disebut i’tikaf, merupakan saat untuk merenung, menyusun konsep dan berinovasi untuk kemudian melakukan perubahan sosial dengan landasan al-Quran dan al-Sunnah.
Dari sinilah, manusia sejati muncul sebagai figur yang membebaskan manusia dari penghambaan diri kepada selain Allah secara total. Karena itu, cinta, ketaatan, pengabdian dan kepasrahannya serta kemauannya untuk menjalankan kehendak-kehendak Allah merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia-manusia sejati.
Maka, datangnya Idul Fitri kali ini hendaknya menegaskan kembali esensi manusia yang sesungguhnya. Yaitu manusia paripurna yang mampu menjelmakan sifat-sifat Tuhan dalam perilaku sosial di masyarakat. Inilah yang pernah dicontohkan oleh Nabi SAW yang mesti diteladani untuk memperbaiki kehidupan masyarakat kita. Dengan semangat Fitri, kita tidak sekadar menghirup dan menghembuskan nafas mengikuti perputaran waktu, tapi juga mencapai hidup yang lebih bermakna. Sekaligus, memanfaatkan hidup untuk mencari sesuatu yang berharga, yaitu mencari kedekatan dan keridhaan Allah SWT. Min al-‘Aidin wa al-Faizin.

No comments: