MEDIA INDONESIA, 5 Desember 2002
Refleksi Idul Fitri 1423 H
Idul Fitri: Puncak Manusia Sejati
Oleh Khaeron Sirin
Setelah sebulan berpuasa, umat Islam di seluruh dunia
menantikan datangnya Idul Fitri, saat di mana manusia dikembalikan pada
fitrahnya, yaitu kesucian jiwa. Pada hari itu, umat Islam merayakan saat-saat
kemenangan dan kebahagiaan setelah sebulan ‘digembleng’ untuk menahan segala
larangan, baik yang bersifat lahiriah ataupun batiniah. Fitrah berati kesucian,
yang lahir dari nurani yang mengajak untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu
dengan totalitas wujud Yang Mahahadir. Fitrah ini hanya bisa dicapai ketika
manusia mampu mengatasi segala godaan dan nafsu duniawi dan lepas dari ikatan
raga, menuju hakikat kemanusiaannya.
Dalam
konteks ini, Idul Fitri bisa dimaknai sebagai upaya mengembalikan umat manusia
pada tingkat kesejatian hidup beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Yaitu
suatu umat yang tidak sekadar memikirkan kepentingan sendiri (ritualitas), tapi
juga memikirkan persoalan kemasyarakatan. Inilah makna yang mesti kita capai
dari esensi dan fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya, yaitu kesalehan dan
kesucian di hadapan Allah SWT.
Dari sinilah, datangnya
Idul Fitri memiliki implikasi yang kuat bagi terbentuknya citra dan cita
manusia yang sejati dalam hidup. Karenanya, momen Idul Fitri hendaknya bisa
memberi makna positif dan hakiki bagi kehidupan kita saat ini. Dalam hal ini,
bagaimana semangat yang terkandung dalam Idul Fitri tersebut menjadi awal
kesadaran dan kesejatian hidup manusia yang teresapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Idul Fitri adalah saat yang penuh kemulian, ampunan,
kasih sayang dan pujian kepada Allah SWT. Ia juga bisa dikatakan momen yang
sangat menentukan bagi perjalanan seorang hamba di masa-masa mendatang. Saat
itu adalah saat titik tolak seorang hamba untuk meraih kemuliaan dan kejayaan
hidup di dunia dan di akhirat. Karenanya, Idul Fitri hanya bisa hadir tatkala
manusia telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang tinggi,
sebagaimana yang terjadi pada diri Muhammad SAW.
Di sinilah, manusia dituntut bisa membuka hati dan
pikiran untuk menerima dan meminta maaf kepada siapa saja. Bahkan,
al-Quran tidak hanya menuntut seorang hambanya
untuk memaafkan orang lain, tetapi lebih dari itu, juga berbuat baik terhadap
orang yang pernah melakukan kesalahan. Lebih dari itu, Idul Fitri
adalah momen bagi umat manusia untuk melepaskan segala bentuk kesenangan
duniawi, yang disimbolisasikan dengan puasa (menahan diri), menuju kemanusiaan
universal, yang ditandai dengan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan ke dalam
dirinya. Inilah makna Idul Fitri, yaitu kembalinya manusia kepada kesucian,
sebagai wujud kesejatian manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Suci.
Dalam praktiknya,
kesucian seorang hamba adalah gabungan tiga unsur, antara benar, baik dan
indah. Sehingga seseorang orang yang merayakan Idul Fitri, dalam arti kembali
kepada kesuciannya, akan selalu berbuat yang benar, baik dan indah. Bahkan
lewat kesucian jiwanya ini, ia akan memandang segalanya dengan pandangan
positif. Sekaligus, selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar dan
indah dari orang lain. Inilah puncak manusia sejati, yaitu orang-orang yang
bisa memperlakukan orang lain lebih baik dari apa yang pernah ia lakukan kepada
dirinya. Inilah landasan filosofis dari semua aktivitas manusia yang dituntut
al-Quran, sekaligus menjadi landasan filosofis bagi mereka yanag merayakan Idul
Fitri.
Al-Quran sendiri telah
menggambarkan betapa Muhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat
kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayat, beliau menjadi tumpuan perhatian
umat manusia, karena segala perikehidupan dan sifat terpuji terhimpun dalam
dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering. Dengan
kata lain, pola hidup dan kehidupan Muhammad SAW merupakan wujud kesejatian
hidup seorang hamba yang menjadi suri tauladan bagi para sahabatnya.
Dalam hal ini, manusia
sejati (insan kamil) adalah wadah ekspresi (tajalli) Tuhan yang
paripurna. Segenap wujud hanya memiliki satu realitas tunggal, yaitu wujud
mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan arah dan waktu. Ia adalah
esensi murni sekaligus miniatur dari segenap jagat raya, karena pada dirinya
terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisik
ataupun metafisik. Kesejatian manusia ini tidak lain karena ia merupakan
identifikasi dari hakikat manusia. Pada tingkat inilah, manusia sejati mencapai
orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqaiq
al-rahmaniyyah). Bahkan, manusia sejati memiliki tingkat pengetahuan yang
bisa merealisasikan citra Tuhan dalam dirinya dalam kehidupan sosial
bermasyarakat.
Manusia sejati adalah
manusia yang bisa menjadi cermin citra Tuhan yang sempurna. Yaitu makhluk yang
paling unggul dalam tingkat kesadaran ruhani dan pengetahuannya, sehingga ia
mencapai peringkat tertinggi di antara makhluk yang ada di muka bumi. Dalam
prosesnya, Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci, tidak dapat didekati kecuali oleh
orang-orang yang suci. Yaitu orang-orang yang berani mensucikan jiwanya dengan
menafikkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat
mungkin. Untuk itu, biasanya orang lebih senang menempuh hidup sufi guna
mencapai niai kesejatian manusia, suatu kehidupan yang lebih menonjolkan segi
keruhanian dalam kehidupannya.
Dalam konteks kekinian,
persepsi tentang menusia sejati ataupun insan kamil tentunya tidak
sekadar dimaknai sebagai penafikan kehidupan duniawi, tetapi lebih pada
pemaduan keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi. Uzlah, khalwat
ataupun kontemplasi yang pernah dilakukan Muhammad SAW, saat menjelang turunya
al-Quran, hendaknya tidak dimaknai sebagai saat untuk mengisolasi diri dari
persoalan sosial kemasyarakatan. Tetapi lebih dari itu, kontemplasi, yang dalam
istilah syariat disebut i’tikaf, merupakan saat untuk merenung, menyusun konsep
dan berinovasi untuk kemudian melakukan perubahan sosial dengan landasan
al-Quran dan al-Sunnah.
Dari sinilah, manusia
sejati muncul sebagai figur yang membebaskan manusia dari penghambaan diri
kepada selain Allah secara total. Karena itu, cinta, ketaatan, pengabdian dan
kepasrahannya serta kemauannya untuk menjalankan kehendak-kehendak Allah
merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia-manusia sejati.
Maka, datangnya Idul Fitri kali ini hendaknya
menegaskan kembali esensi manusia yang sesungguhnya. Yaitu manusia paripurna
yang mampu menjelmakan sifat-sifat Tuhan dalam perilaku sosial di masyarakat.
Inilah yang pernah dicontohkan oleh Nabi SAW yang mesti diteladani untuk
memperbaiki kehidupan masyarakat kita. Dengan semangat Fitri, kita tidak
sekadar menghirup dan menghembuskan nafas mengikuti perputaran waktu, tapi juga
mencapai hidup yang lebih bermakna. Sekaligus, memanfaatkan hidup untuk mencari
sesuatu yang berharga, yaitu mencari kedekatan dan keridhaan Allah SWT. Min
al-‘Aidin wa al-Faizin.
No comments:
Post a Comment