Wednesday, November 8, 2017

Puasa dan Keprihatinan Nasional



KORAN TEMPO, 9 Nopember 2002
Puasa dan Keprihatinan Nasional

Oleh Khaeron Sirin

Marhaban ya Ramadhan. Bagi umat Islam, kedatangan bulan Ramadhan selalu disambut dengan kebahagiaan dan penuh dengan suasana kegembiraan. Umat Islam secara serempak menyambut datangnya bulan suci ini untuk berpuasa sebagai salah satu kewajiban dari rukun Islam yang lima. Di bulan ini, umat Islam diwajibkan berpuasa untuk mencapai derajat takwa sebagaimana disyariatkan oleh Allah SWT (Q.S. al-Baqarah: 183). Dalam hal ini, bulan puasa adalah momen yang sangat penting bagi umat Islam, sebagai ‘kawah candradimuka’ menuju jati diri kemanusiaan yang paripurna. Yaitu manusia yang memiliki kesucian dan kesalehan, baik lahir ataupun batin.
Bagi bangsa Indonesia sendiri, bulan puasa kali ini masih diwarnai suasana keprihatinan yang sangat mendalam sebagaimana tahun-tahun lalu. Berbagai peristiwa yang mendera bangsa ini sejak reformasi bergulir, seperti konfik berbau SARA, pertikaian politik, anarkisme dan perpecahan di antara masyarakat kita terus mewarnai perjalanan bangsa ini. Karena itulah, puasa kali ini hendaknya bisa menjadi renungan bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, untuk mengevaluasi diri sekaligus meredam segala emosi akibat rentetan peristiwa yang menimpa bangsa ini.
Hal ini penting, mengingat puasa merupakan sarana efektif untuk meningkatkan rasa kebersamaan (sense of community), dan memiliki gaung yang sangat besar di saat umat Islam di seluruh dunia bersama-sama menunaikan ibadah ini. Ini merupakan waktu simbolis yang sangat mendalam, khususnya bagi umat Islam Indonesia, untuk meretas kembali persaudaraan dan kebersamaan kita sebagai bangsa. Selama sebulan penuh umat Islam dari berbagai identitas ras, kebangsaan, dan etnik bergabung bersama dalam suatu pengalaman spiritual, persatuan dan persaudaraan. Ramadhan juga merupakan saat ketika tanggung jawab etik sebagai muslim diuji. Menahan lapar, haus dan seks dipahami akan membantu mengembangkan pengendaian diri melalui kesadaran akan eksistensi Tuhan, dan membantu umat Islam ikut merasakan penderitaan orang lain. Karenanya, puasa harus dimaknai sebagai fenomena kemanusiaan di dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Bulan ramadhan bukanlah semata-mata memiliki aspek ibadah kepada Allah. Tapi juga merupakan bulan yang penuh dengan refleksi terhadap nilai-nilai kemanusiaan, di mana keikhlasan kita saat menjalankan ibadah puasa, dengan menahan lapar, haus dan seks, tercermin dari prilaku kita sehari-hari.
Bulan ramadhan merupakan kesempatan yang berharga bagi umat Islam, setelah sebelas bulan lamanya mereka disibukkan dengan berbagai persoalan duniawi, untuk menemukan kembali sisi-sisi spiritual mereka yang hilang. Diharapkan, datangnya bulan Ramadhan bisa mencerahkan sekaligus menjadi obat penawar bagi berbagai penyakit dan persoalan masyarakat Indonesia saat ini..
Untuk itu, diperlukan sebuah renungan dan refleksi dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini penting sebagai cermin dari realitas yang ada dalam masyarakat kita. Sebab, ramadhan telah hadir dalam wujud budaya di masyarakat, di mana kita menyambutnya dengan berbagai tradisi.
Yang jelas, berbagai rentetan peristiwa yang telah menciderai kehidupan negeri ini, kian menyentuh sisi-sisi pemahaman kita akan sebuah bangsa. Dari perspektif inilah, hendaknya persoalan itu dilihat secara serius.
Sebagai bangsa, datangnya bulan Ramadhan tentunya menjadi isyarat serius untuk menolak segala bentuk kekerasan, kezaliman, dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Hadirnya bulan puasa adalah isyarat untuk menciptakan perdamaian dan menyelamatkan manusiadari kemungkaran.
Inilah salah satu makna penting bulan puasa bagi bangsa Indonesia, yaitu persatuan dan pengendalian diri. Hal ini penting guna menghadapi berbagai persoalan bangsa, sekaligus memelihara kebersamaan dan rasa kebangsaan di antara masyarakat. Potensi ini harus dimanfaatkan dalam mendorong masyarakat untuk saling berpegang tangan dan bekerjasama mencegah sekaligus mengatasi gejolak yang mungkin timbul melalui medium puasa.
Selama ini, bangsa Indonesia telah melakukan keskolektif dengan melakukan pemutlakkan terhadap yang bukan Allah sebagai sumber kebenaran. Kebenaran diidentikkan dengan kekuasaan sehingga para penguasa bersikap represif terhadap suara-suara yang mencoba melawan arus. Inilah yang menjadikan bangsa kita terkungkung oleh keangkuhan pribadi dan tertawan oleh ego sendiri.
Dengan demikian, masing-masng kita diharapkan menjadi pengontrol bagi anggota masyarakat lainnya, terutama bagi para elite penguasa. Di sisi lain, para elite penguasa juga bisa melaksanakan kekuasaannya demi kepetingan kemanusiaan, sebagai sebuah amanah yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada manusia, tapi juga di hadapan Allah. Karenanya, para elite penguasa hendaknya memiliki komiten yang kuat untu menegakkan suatu tatanan sosial yang adil, etis dan berkemanusiaan. Masyarakat juga dituntut untuk bersama-sama menyerukan perdamaian, tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis serta menghindarkan diri dari emaksiatan di bulan suci Ramadhan.
Kini, bulan puasa adalah kesempatan yang terbaik bagi kita untuk kembali kepada nilai-nilai al-Quran dengan meneladani apa yang pernah dibangun oleh Nabi SAW. Selain itu, puasa hendaknya bisa menanamkan tanggung jawab kemasyarakatan, yang berarti adanya solidaritas sosial yang tinggi di antara umat Islam dan juga antarumat beragama.
Puasa bagi umat Islam Indonesia adalah perjuangan dan bukan wahana berlapar lapar dan dahaga.. puasa diharapkan bisa menjadi wahana yang tepat bagi penanaman sikap-sikap luhur.. hal ini tidak saja dibutuhkan latihan-latian fisik dan pendidikan etik (akhlak), tetapi juga pendidikan ruhani. Yaitu pendidikan yang melewati eksistensi yang masih serba terikat dengan dorongan-dorongan jasmani dan egoistik, menuju peleburan sifat-sifat Tuhan dalam diri.
Kiranya, puasa yang kita lakukan ini bisa memberikan seluruh totalitas kemanusiaan kita kepada Tuhan Pencipta Alam yang trefleksi dalam nilai-nilai kemanusiaan kita di muka bumi ini.. Allah berfirman: Barang siapa yang memperbaiki urusan akhiratnya, niscaya Allah Allah akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya.
Di sinilah, puasa memiliki makna kemanusiaan yang sangat dalam. Misalnya saja, puasa harus membuat kita lebih bersikap jujur, mampu menahan diri dari berbagai ambisi dan arogansi, ataupun puasa harus bisa menumbuhkan rasa solidaritas dan toleransi di antara manusia dalam kehidupan sosial.
Pengendalian diri (self control) ini sangat penting dan menjadi ciri utama masyarakat yang sehat. Sebab, tanpa pengendalian diri ini, maka tatanan masyarakat akan terganggu, berbagai reaksi kelainan patologik (kelainan) akan timbul, baik dalam pikiran, perasaan dan prilaku sosial. Dari sinilah kemudian melahirkan berbagai peristiwa, seperti anarkisme, perpecahan ataupun pertikaian di kalangan masyarakat kita.

No comments: