REPUBLIKA, 04 Mei 2006
Arah
Politik Perburuhan
Khaeron Sirin
Pada 1 Mei 2006, para buruh
berdemonstrasi secara besar-besar guna memperingati Hari Buruh sedunia. Aksi
serupa terulang lagi pada 3 Mei di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta. Aksi ini juga
untuk menuntut hak-hak kaum buruh yang hingga kini belum terakomodasi oleh
pemerintah secara layak, hingga pada upaya penolakan revisi UU No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang
digarap pemerintah, pengusaha, juga perwakilan kaum buruh nantinya tidak akan
bisa mengentaskan kaum buruh dari diskriminasi kebijakan politik yang ada.
Artinya, apapun revisi yang dihasilkan nantinya belumlah menjamin keberpihakan
kepada kaum buruh. Bahkan revisi UU tersebut dikhawatirkan bakal melahirkan
konflik baru dan semakin memiskinkan kaum buruh secara sistematis.
Di sinilah, aksi kaum buruh tersebut
memiliki arti penting bagi tumbuhnya demokrasi dan politik yang bisa membawa
perubahan bagi kaum proletar, semisal buruh. Artinya, aksi kaum buruh secara
besar-besaran di Jakarta hendaknya dimaknai sebagai perjuangan kaum lemah dari
penindasan kaki tangan imperialis. Mereka adalah kaum yang senantiasa
berorientasi pada keuntungan materi an sich dengan mengorbankan nilai-nilai
kemanusiaan (kapitalis).
Politik upah murah
Perjuangan kaum buruh untuk memperoleh hak-haknya secara
layak sebenarnya telah lama dilakukan. Pada 1920, untuk pertama kalinya di
Indonesia kaum buruh secara terorganisasi memperingati Hari Buruh untuk
memprotes kebijakan kaum pengusaha (pemilik modal) yang secara sepihak
mengecilkan peran kaum buruh dalam faktor produksi. Namun, sejak masa
pemerintahan orde baru, Hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia. Sejak
itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh
dalam masyarakat dan ekonomi. Ini dikarenakan gerakan buruh dihubungkan dengan
gerakan dan paham komunis saat itu.
Setelah orde baru berakhir, aksi kaum
buruh turun ke jalan untuk memperingati Hari Buruh setiap 1 Mei kembali marak
di berbagai kota di Indonesia. Tujuannya satu, menuntut perbaikan nasib kaum
buruh menjadi lebih layak dalam menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab,
hampir sepanjang sejarah kehidupan dunia, juga sejarah di Indonesia, nasib kaum
buruh selalu saja mengenaskan. Kaum buruh dijadikan alat penarik kepentingan
modal asing dan investasi asing demi meraih keuntungan sepihak, yaitu penguasa
dan pengusaha.
Jika dilihat secara seksama, aksi tersebut
tidaklah berlebihan, mengingat kondisi kaum buruh di negeri ini masih
terpinggirkan, tertindas, tidak memiliki daya tawar, gampang 'dibohongi'. Buruh
juga sering menjadi objek kepentingan politik penguasa dan pengusaha. Posisi
buruh selama ini sekadar penjual tenaga kerja.
Sementara posisi pengusaha adalah
pembeli tenaga kerja, yang bebas memilih dan menggunakan, sekaligus mengawasi
jalannya proses produksi. Di sini, kaum buruh tidak ditempatkan sebagai pelaku
ekonomi yang memiliki hak yang sama dengan upah yang minim dibanding pemodal
yang bisa leluasa mengeruk untung yang sebesar-besarnya.
Apalagi, sebagian besar buruh di
Indonesia bisa dikatakan adalah mereka yang mencari nafkah dengan cara
mengandalkan fisiknya, mengingat tingkat pendidikan yang diserap oleh mereka
sangat minim. Inilah yang kemudian membuat posisi atau daya tawar kaum buruh di
negeri kita sangat lemah, sehingga membuka peluang bagi pemilik modal untuk
berbuat secara semena-mena. Bukan hanya menyangkut upah yang rendah, tetapi
juga hak-hak normatif lainnya, jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan jaminan
hari tua kaum buruh, sangat diabaikan.
Di sinilah, buruh kita tidak hanya
miskin. Lebih dari itu, tingkat kesejahteraan mereka kian menurun seiring
naiknya harga BBM (bahan bakar minyak) dan melambungnya harga-harga kebutuhan
sehari-hari. Hal ini jelas berpengaruh pada tingkat daya beli kaum buruh
terhadap kebutuhan pokok, termasuk kemampuan memberikan pendidikan dan
kesejahteraan kepada anak dan keluarga mereka. Hal ini juga jelas mengindikasikan
betapa upah dan kesejahteraan kaum buruh masih 'jauh panggang dari api', jauh
dari kesan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam
konstitusi kita.
Dengan kata lain, perjuangan kaum
buruh untuk memperbaiki kesejahteraan selama ini memang jelas-jelas menunjukkan
betapa upah minimum tenaga kerja kita sangat tidak kompetitif dan jauh dari
mencukupi. Relasi yang selama ini dibangun masih menempatkan kaum buruh pada
posisi subordinatif terhadap majikan (pengusaha).
Alhasil, yang terjadi adalah lingkaran
setan dan tumbuhnya militansi kaum buruh sebagai wujud dari ketidakpercayaan
dan kecurigaan kaum buruh kepada kaum pengusaha dan pemerintah.
Arah jangka panjang
Dalam beberapa kajian, salah satu
biang dari buramnya potret perburuhan kita adalah kebijakan politik buruh murah
yang diterapkan oleh penguasa sejak orde baru, demi kepentingan ekonomi dan
pembangunan. Buruh dianggap semata-mata sebagai faktor produksi layaknya modal,
yang nilainya bisa dimainkan dan diperebutkan oleh mekanisme pasar. Bahkan,
peraturan dan perundang-undangan yang dibuat pemerintah selalu dipengaruhi oleh
para pemilik modal. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan lebih berpihak kepada
pengusaha ketimbang kepada rakyat kebanyakan, terutama kaum buruh.
Hal ini jelas menunjukkan betapa
globalisasi hanya menjadi malapetaka bagi kaum buruh, terlebih di negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Globalisasi diimplementasikan hanya untuk
mengedepankan kepentingan para pemilik modal dengan mengorbankan kaum buruh
sebagai tumbal. Di sisi lain, negara yang semestinya hadir untuk melindungi,
justru takluk di bawah tekanan kapital. Untuk meraih itu, kepentingan kaum
buruh harus ditekan dengan upah murah dan pengawasan kerja yang ketat demi
meningkatkan daya saing perusahaan.
Di sisi lain, kebijakan negara terkait
masalah pemenuhan kebutuhan pokok serta upaya peningkatan kesejahteraan hidup
rakyat, semisal penciptaan lapangan kerja, pendidikan, jaminan sosial dan
kesehatan, sangat diabaikan. Bahkan, ketika kapitalisme begitu kuat
mencengkeram, pemerintah (negara) lebih berfungsi pada tugas regulator, dan
berlepas diri dari tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan pokok rakyat tersebut.
Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya, apapun kondisinya, haruslah bekerja
secara mutlak. Pemerintah pun seolah-olah menutup mata akan perannya sebagai
'pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya'.
Karena itulah, pemerintah harus
memahami kembali cita-cita awal konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 27 (ayat 2),
yang menyuratkan bahwa negara menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di sini, pemerintah punya tanggung
jawab besar dalam mengkonsolidasikan bangsa ini, dengan cara menata dan
memperbaiki ketegangan hubungan antara pengusaha dan buruh yang timpang.
Tidak hanya pemihakan kepada kaum
buruh yang diperlukan, tetapi juga bagaimana menata negeri ini menjadi aman dan
makmur untuk berinvestasi dengan semangat hubungan industrial yang seimbang dan
saling menghargai perannya masing-masing. Sehingga tidak terjadi arogansi, baik
di pihak pemilik modal (pengusaha) ataupun di kalangan buruh.
Revisi UU Ketenagakerjaan yang isunya
sedang bergulir di parlemen saat ini hendaknya tidak merepresentasikan
kepentingan para pemilik modal. Lebih dari itu, pemerintah juga DPR harus tegas
untuk menempatkan kaum buruh bukan semata-mata sebagai faktor produksi, tetapi
juga pelaku produksi dan mitra pengusaha yang bisa menentukan maju mundurnya
perusahaan. Buruh juga harus ditempatkan sebagai subjek yang bisa menentukan
keberhasilan dan kegagalan dunia ketenagakerjaan di Indonesia.
Untuk mendukung hal itu, pemerintah
harus bisa melepaskan diri dari stigma dan kesewenang-wenangan terhadap kaum
buruh. Pemerintah hendaknya tidak lagi memanipulasi politik perburuhan dalam
kerangka buruh murah. Pemerintah harus berani mereformasi paradigma yang
menempatkan kaum buruh pada posisi rendah menuju peningkatan kesejahteraan kaum
buruh dengan daya tawar yang tinggi. Hal ini penting bagi pemerintah demi
melihat politik jangka panjang, yaitu bagaimana memenuhi tanggung jawab negara
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Jadi, peringatan Hari Buruh bukanlah
sebuah perayaan atau pesta kegembiraan. Peringatan Hari Buruh adalah sarana
menyuarakan keluhan hati kaum buruh. Peringatan ini adalah sebuah refleksi akan
ketertindasan yang dialami kaum buruh selama ini, tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga di seluruh pelosok dunia. Ini adalah momen kemanusiaan di tengah
himpitan ideologi kapitalis yang selalu menguntungkan para pemilik modal.
No comments:
Post a Comment