Saturday, November 11, 2017

Arah Politik Perburuhan



REPUBLIKA, 04 Mei 2006
Arah Politik Perburuhan
Khaeron Sirin

 Pada 1 Mei 2006, para buruh berdemonstrasi secara besar-besar guna memperingati Hari Buruh sedunia. Aksi serupa terulang lagi pada 3 Mei di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta. Aksi ini juga untuk menuntut hak-hak kaum buruh yang hingga kini belum terakomodasi oleh pemerintah secara layak, hingga pada upaya penolakan revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang digarap pemerintah, pengusaha, juga perwakilan kaum buruh nantinya tidak akan bisa mengentaskan kaum buruh dari diskriminasi kebijakan politik yang ada. Artinya, apapun revisi yang dihasilkan nantinya belumlah menjamin keberpihakan kepada kaum buruh. Bahkan revisi UU tersebut dikhawatirkan bakal melahirkan konflik baru dan semakin memiskinkan kaum buruh secara sistematis.
Di sinilah, aksi kaum buruh tersebut memiliki arti penting bagi tumbuhnya demokrasi dan politik yang bisa membawa perubahan bagi kaum proletar, semisal buruh. Artinya, aksi kaum buruh secara besar-besaran di Jakarta hendaknya dimaknai sebagai perjuangan kaum lemah dari penindasan kaki tangan imperialis. Mereka adalah kaum yang senantiasa berorientasi pada keuntungan materi an sich dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan (kapitalis).

Politik upah murah
Perjuangan kaum buruh untuk memperoleh hak-haknya secara layak sebenarnya telah lama dilakukan. Pada 1920, untuk pertama kalinya di Indonesia kaum buruh secara terorganisasi memperingati Hari Buruh untuk memprotes kebijakan kaum pengusaha (pemilik modal) yang secara sepihak mengecilkan peran kaum buruh dalam faktor produksi. Namun, sejak masa pemerintahan orde baru, Hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia. Sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Ini dikarenakan gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis saat itu.
Setelah orde baru berakhir, aksi kaum buruh turun ke jalan untuk memperingati Hari Buruh setiap 1 Mei kembali marak di berbagai kota di Indonesia. Tujuannya satu, menuntut perbaikan nasib kaum buruh menjadi lebih layak dalam menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab, hampir sepanjang sejarah kehidupan dunia, juga sejarah di Indonesia, nasib kaum buruh selalu saja mengenaskan. Kaum buruh dijadikan alat penarik kepentingan modal asing dan investasi asing demi meraih keuntungan sepihak, yaitu penguasa dan pengusaha.
Jika dilihat secara seksama, aksi tersebut tidaklah berlebihan, mengingat kondisi kaum buruh di negeri ini masih terpinggirkan, tertindas, tidak memiliki daya tawar, gampang 'dibohongi'. Buruh juga sering menjadi objek kepentingan politik penguasa dan pengusaha. Posisi buruh selama ini sekadar penjual tenaga kerja.
Sementara posisi pengusaha adalah pembeli tenaga kerja, yang bebas memilih dan menggunakan, sekaligus mengawasi jalannya proses produksi. Di sini, kaum buruh tidak ditempatkan sebagai pelaku ekonomi yang memiliki hak yang sama dengan upah yang minim dibanding pemodal yang bisa leluasa mengeruk untung yang sebesar-besarnya.
Apalagi, sebagian besar buruh di Indonesia bisa dikatakan adalah mereka yang mencari nafkah dengan cara mengandalkan fisiknya, mengingat tingkat pendidikan yang diserap oleh mereka sangat minim. Inilah yang kemudian membuat posisi atau daya tawar kaum buruh di negeri kita sangat lemah, sehingga membuka peluang bagi pemilik modal untuk berbuat secara semena-mena. Bukan hanya menyangkut upah yang rendah, tetapi juga hak-hak normatif lainnya, jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua kaum buruh, sangat diabaikan.
Di sinilah, buruh kita tidak hanya miskin. Lebih dari itu, tingkat kesejahteraan mereka kian menurun seiring naiknya harga BBM (bahan bakar minyak) dan melambungnya harga-harga kebutuhan sehari-hari. Hal ini jelas berpengaruh pada tingkat daya beli kaum buruh terhadap kebutuhan pokok, termasuk kemampuan memberikan pendidikan dan kesejahteraan kepada anak dan keluarga mereka. Hal ini juga jelas mengindikasikan betapa upah dan kesejahteraan kaum buruh masih 'jauh panggang dari api', jauh dari kesan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi kita.
Dengan kata lain, perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki kesejahteraan selama ini memang jelas-jelas menunjukkan betapa upah minimum tenaga kerja kita sangat tidak kompetitif dan jauh dari mencukupi. Relasi yang selama ini dibangun masih menempatkan kaum buruh pada posisi subordinatif terhadap majikan (pengusaha).
Alhasil, yang terjadi adalah lingkaran setan dan tumbuhnya militansi kaum buruh sebagai wujud dari ketidakpercayaan dan kecurigaan kaum buruh kepada kaum pengusaha dan pemerintah.

Arah jangka panjang
Dalam beberapa kajian, salah satu biang dari buramnya potret perburuhan kita adalah kebijakan politik buruh murah yang diterapkan oleh penguasa sejak orde baru, demi kepentingan ekonomi dan pembangunan. Buruh dianggap semata-mata sebagai faktor produksi layaknya modal, yang nilainya bisa dimainkan dan diperebutkan oleh mekanisme pasar. Bahkan, peraturan dan perundang-undangan yang dibuat pemerintah selalu dipengaruhi oleh para pemilik modal. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan lebih berpihak kepada pengusaha ketimbang kepada rakyat kebanyakan, terutama kaum buruh.
Hal ini jelas menunjukkan betapa globalisasi hanya menjadi malapetaka bagi kaum buruh, terlebih di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Globalisasi diimplementasikan hanya untuk mengedepankan kepentingan para pemilik modal dengan mengorbankan kaum buruh sebagai tumbal. Di sisi lain, negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru takluk di bawah tekanan kapital. Untuk meraih itu, kepentingan kaum buruh harus ditekan dengan upah murah dan pengawasan kerja yang ketat demi meningkatkan daya saing perusahaan.
Di sisi lain, kebijakan negara terkait masalah pemenuhan kebutuhan pokok serta upaya peningkatan kesejahteraan hidup rakyat, semisal penciptaan lapangan kerja, pendidikan, jaminan sosial dan kesehatan, sangat diabaikan. Bahkan, ketika kapitalisme begitu kuat mencengkeram, pemerintah (negara) lebih berfungsi pada tugas regulator, dan berlepas diri dari tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan pokok rakyat tersebut. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya, apapun kondisinya, haruslah bekerja secara mutlak. Pemerintah pun seolah-olah menutup mata akan perannya sebagai 'pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya'.
Karena itulah, pemerintah harus memahami kembali cita-cita awal konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 27 (ayat 2), yang menyuratkan bahwa negara menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di sini, pemerintah punya tanggung jawab besar dalam mengkonsolidasikan bangsa ini, dengan cara menata dan memperbaiki ketegangan hubungan antara pengusaha dan buruh yang timpang.
Tidak hanya pemihakan kepada kaum buruh yang diperlukan, tetapi juga bagaimana menata negeri ini menjadi aman dan makmur untuk berinvestasi dengan semangat hubungan industrial yang seimbang dan saling menghargai perannya masing-masing. Sehingga tidak terjadi arogansi, baik di pihak pemilik modal (pengusaha) ataupun di kalangan buruh.
Revisi UU Ketenagakerjaan yang isunya sedang bergulir di parlemen saat ini hendaknya tidak merepresentasikan kepentingan para pemilik modal. Lebih dari itu, pemerintah juga DPR harus tegas untuk menempatkan kaum buruh bukan semata-mata sebagai faktor produksi, tetapi juga pelaku produksi dan mitra pengusaha yang bisa menentukan maju mundurnya perusahaan. Buruh juga harus ditempatkan sebagai subjek yang bisa menentukan keberhasilan dan kegagalan dunia ketenagakerjaan di Indonesia.
Untuk mendukung hal itu, pemerintah harus bisa melepaskan diri dari stigma dan kesewenang-wenangan terhadap kaum buruh. Pemerintah hendaknya tidak lagi memanipulasi politik perburuhan dalam kerangka buruh murah. Pemerintah harus berani mereformasi paradigma yang menempatkan kaum buruh pada posisi rendah menuju peningkatan kesejahteraan kaum buruh dengan daya tawar yang tinggi. Hal ini penting bagi pemerintah demi melihat politik jangka panjang, yaitu bagaimana memenuhi tanggung jawab negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Jadi, peringatan Hari Buruh bukanlah sebuah perayaan atau pesta kegembiraan. Peringatan Hari Buruh adalah sarana menyuarakan keluhan hati kaum buruh. Peringatan ini adalah sebuah refleksi akan ketertindasan yang dialami kaum buruh selama ini, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh pelosok dunia. Ini adalah momen kemanusiaan di tengah himpitan ideologi kapitalis yang selalu menguntungkan para pemilik modal.

No comments: