Monday, December 25, 2017

Solusi Poso ala Mandela



KORAN TEMPO, 26 Januari 2007
Solusi Poso ala Mandela
Oleh Khaeron Sirin


Belum reda ketakutan warga akan aksi teror dan kekerasan yang terjadi di Poso, warga Poso kembali dikejutkan oleh bentrokan antara warga dan aparat yang menyebabkan 12 warga Poso dan 2 aparat polisi tewas. Sepekan sebelumnya, ledakan bom sempat mengguncang Jalan Pulau Sumbawa, Gebang Rejo, Poso Kota (Koran Tempo, 19 Januari 2007).
Kita tentu prihatin dan sedih mendengar berbagai tindak kekerasan dan teror seperti itu. Kita pun tak habis pikir mengapa kualitas kekejian masyarakat kita kian lama semakin mengerikan. Aparat penguasa seakan-akan tak berdaya menghadapi serangkaian aksi teror di sana. Pola pikir balas dendam yang selama ini mewarnai konflik masyarakat Poso akan mudah menimpakan kesalahan kepada pihak yang berseberangan dengan kelompok yang diserang atau diteror. Pola pikir seperti ini jelas sangat berbahaya karena akan memicu upaya saling balas yang tak berkesudahan. Apalagi kalangan elite penguasa saat ini begitu kukuh menggunakan kekuatan senjata untuk mengakhiri konflik tersebut.

Akar kekerasan
Ibarat menegakkan benang basah, persoalan yang menimpa masyarakat Poso sangatlah rumit. Lihat saja, hingga kini masih saja ada kelompok yang tidak setuju dengan upaya-upaya damai yang tengah dirintis oleh kelompok yang bertikai, misalnya kelompok Islam dan Kristen, terutama pascaeksekusi mati Tibo dan kawan-kawan. Belum lagi pihak ketiga ataupun kelompok luar yang ingin menjadikan konflik ini sebagai alat pemecah kesatuan bangsa. Akibatnya, bisa kita lihat bagaimana kehidupan mereka, baik sosial maupun ekonomi, kian terkotak-kotak dan terdemarkasi oleh perbedaan agama.
Ini adalah fenomena yang sangat memprihatinkan sekaligus menunjukkan betapa budaya masyarakat kita tak lepas dari watak balas dendam dan saling memusuhi. Budaya kekerasan yang sering ditampilkan oleh masyarakat kita seolah-olah adalah potensi dan wajah asli bangsa kita saat ini. Potensi ini sering muncul sebagai kekuatan dahsyat dengan mengatasnamakan agama, yang dalam prakteknya terkadang tak bisa dipertanggungjawabkan secara manusiawi.
Seperti diungkap Clifford Geertz, masyarakat yang majemuk memang sangat rentan terhadap konflik. Dominasi dari satu pihak terhadap pihak lain sering memunculkan konflik sosial yang cukup tajam, yang pada akhirnya akan memicu rusaknya rasa kebangsaan dan penghargaan terhadap pluralitas masyarakat. Dari sinilah kemudian masyarakat Indonesia sangat rentan terhadap disintegrasi. Dalam hubungan ras antaragama yang dominatif, unsur konflik dan perpecahan lebih kentara ketimbang unsur konsensus dan integrasi. Konflik sosial seperti inilah yang pada akhirnya menyeret kita melupakan konsep kemanusiaan dan kebangsaan kita, yaitu bahwa kita bersaudara, satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.
Jika ditelusuri, budaya kekerasan yang kini menjadi watak dasar masyarakat kita sangatlah terkait dengan berbagai ketidakadilan dan kemiskinan yang berkepanjangan di negara ini. Semua itu menyebabkan masyarakat kita mengalami frustrasi berat dan tak tahu lagi harus bertindak apa. Selain itu, kenyataan hidup yang tidak normal dalam waktu yang lama memicu rasa tidak puas masyarakat terhadap pemerintah. Bahkan upaya penyelesaian damai yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah, agaknya juga masih belum dianggap memadai untuk menjamin keamanan dan ketertiban mereka. Sehingga persoalan yang biasa dihadapi sehari-hari menjadi tak terpecahkan, persoalan yang kecil bisa menjadi besar, yang salah bisa menjadi benar, yang pemalu bisa menjadi pemarah, dan yang ramah bisa menjadi pendendam.
Tidak mengherankan jika Poso kini ibarat api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa memunculkan bara konflik yang besar. Ini bisa dilihat dari adanya batas-batas demarkasi yang memisahkan komunitas Islam dengan Kristen. Lebih dari itu, rasa waswas dan curiga terhadap komunitas lain yang menghantui masyarakat Poso saat ini juga berpengaruh besar dalam memicu ledakan konflik selanjutnya, di saat negara dianggap tidak cukup mampu melakukan fungsinya yang paling dasar, yaitu mengayomi dan melindungi rakyat.
Karena itulah pemerintah harus benar-benar peka terhadap fungsinya sebagai pengayom dan pelindung rakyatnya. Pemerintah harus melakukan upaya-upaya strategis untuk menyelesaikan konflik dan menegakkan perdamaian secara bermartabat dan berkeadilan di Poso. Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa melulu menjatuhkan pilihan hukum dan kekuatan senjata untuk mengakhiri konflik di Poso, mengingat upaya-upaya hukum dan kekuatan senjata yang diterapkan penguasa saat ini tidak cukup ampuh mengatasi konflik yang terjadi, bahkan dikhawatirkan bisa membuat situasi Poso semakin tak terkendali.
Dengan kata lain, pemerintah harus bisa mencari jalan atau alternatif lain untuk mengakhiri konflik dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok yang bertikai. Misalnya saja, pemerintah mengikuti jejak Nelson Mandela dalam menyelesaikan dan menyatukan kembali rakyat Afrika Selatan, yang selama ratusan tahun terpisahkan oleh konflik ras.
Dalam hal ini, kehadiran pemerintah dalam konflik seperti ini sebaiknya lebih mengedepankan rekonsiliasi dan melakukan pendekatan budaya kekeluargaan dengan cara mendengarkan jeritan hati mereka yang menderita, memberikan kompensasi kepada para korban, dan juga memberikan amnesti (pengampunan) bagi pihak yang bersalah. Apalagi, sebelumnya, pemerintah Yudhoyono dinilai cukup berhasil melakukan rekonsiliasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selain menggunakan cara-cara rekonsiliasi, pemerintah bisa saja menerapkan kebijakan baru, misalnya pendataan ulang warga Poso, guna menjaga perdamaian dan keamanan sekaligus mengantisipasi masuknya kelompok perusuh ke Poso.
Yang tak kalah penting, para elite politik, pemuka masyarakat, dan tokoh agama harus menjadi figur pemersatu yang bisa menghilangkan rasa benci dan dendam dalam diri anggota kelompoknya. Bukankah semua agama mengajari kita hidup rukun, damai, dan berkasih sayang serta tidak mengajari kita mencari kesalahan orang lain? Kita pun sepakat bahwa agama adalah tempat yang memberikan kedamaian dan ketenangan hidup dalam diri manusia. Jadi sudah semestinya agama menjadi alat untuk menekan budaya (konflik) kekerasan, bukan malah menjadi korban kekerasan masyarakat.

No comments: