KORAN TEMPO, 26 Januari 2007
Solusi Poso ala Mandela
Oleh Khaeron Sirin
Belum reda ketakutan warga
akan aksi teror dan kekerasan yang terjadi di Poso, warga Poso kembali
dikejutkan oleh bentrokan antara warga dan aparat yang menyebabkan 12 warga
Poso dan 2 aparat polisi tewas. Sepekan sebelumnya, ledakan bom sempat
mengguncang Jalan Pulau Sumbawa, Gebang Rejo, Poso Kota (Koran Tempo, 19
Januari 2007).
Kita tentu prihatin dan sedih
mendengar berbagai tindak kekerasan dan teror seperti itu. Kita pun tak habis
pikir mengapa kualitas kekejian masyarakat kita kian lama semakin mengerikan.
Aparat penguasa seakan-akan tak berdaya menghadapi serangkaian aksi teror di
sana. Pola pikir balas dendam yang selama ini mewarnai konflik masyarakat Poso
akan mudah menimpakan kesalahan kepada pihak yang berseberangan dengan kelompok
yang diserang atau diteror. Pola pikir seperti ini jelas sangat berbahaya
karena akan memicu upaya saling balas yang tak berkesudahan. Apalagi kalangan
elite penguasa saat ini begitu kukuh menggunakan kekuatan senjata untuk
mengakhiri konflik tersebut.
Akar kekerasan
Ibarat menegakkan benang
basah, persoalan yang menimpa masyarakat Poso sangatlah rumit. Lihat saja,
hingga kini masih saja ada kelompok yang tidak setuju dengan upaya-upaya damai
yang tengah dirintis oleh kelompok yang bertikai, misalnya kelompok Islam dan
Kristen, terutama pascaeksekusi mati Tibo dan kawan-kawan. Belum lagi pihak
ketiga ataupun kelompok luar yang ingin menjadikan konflik ini sebagai alat
pemecah kesatuan bangsa. Akibatnya, bisa kita lihat bagaimana kehidupan mereka,
baik sosial maupun ekonomi, kian terkotak-kotak dan terdemarkasi oleh perbedaan
agama.
Ini adalah fenomena yang sangat
memprihatinkan sekaligus menunjukkan betapa budaya masyarakat kita tak lepas
dari watak balas dendam dan saling memusuhi. Budaya kekerasan yang sering
ditampilkan oleh masyarakat kita seolah-olah adalah potensi dan wajah asli
bangsa kita saat ini. Potensi ini sering muncul sebagai kekuatan dahsyat dengan
mengatasnamakan agama, yang dalam prakteknya terkadang tak bisa
dipertanggungjawabkan secara manusiawi.
Seperti diungkap Clifford
Geertz, masyarakat yang majemuk memang sangat rentan terhadap konflik. Dominasi
dari satu pihak terhadap pihak lain sering memunculkan konflik sosial yang
cukup tajam, yang pada akhirnya akan memicu rusaknya rasa kebangsaan dan penghargaan
terhadap pluralitas masyarakat. Dari sinilah kemudian masyarakat Indonesia
sangat rentan terhadap disintegrasi. Dalam hubungan ras antaragama yang
dominatif, unsur konflik dan perpecahan lebih kentara ketimbang unsur konsensus
dan integrasi. Konflik sosial seperti inilah yang pada akhirnya menyeret kita
melupakan konsep kemanusiaan dan kebangsaan kita, yaitu bahwa kita bersaudara,
satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.
Jika ditelusuri, budaya
kekerasan yang kini menjadi watak dasar masyarakat kita sangatlah terkait
dengan berbagai ketidakadilan dan kemiskinan yang berkepanjangan di negara ini.
Semua itu menyebabkan masyarakat kita mengalami frustrasi berat dan tak tahu
lagi harus bertindak apa. Selain itu, kenyataan hidup yang tidak normal dalam
waktu yang lama memicu rasa tidak puas masyarakat terhadap pemerintah. Bahkan
upaya penyelesaian damai yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah,
agaknya juga masih belum dianggap memadai untuk menjamin keamanan dan
ketertiban mereka. Sehingga persoalan yang biasa dihadapi sehari-hari menjadi
tak terpecahkan, persoalan yang kecil bisa menjadi besar, yang salah bisa
menjadi benar, yang pemalu bisa menjadi pemarah, dan yang ramah bisa menjadi
pendendam.
Tidak mengherankan jika Poso
kini ibarat api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa memunculkan bara konflik
yang besar. Ini bisa dilihat dari adanya batas-batas demarkasi yang memisahkan
komunitas Islam dengan Kristen. Lebih dari itu, rasa waswas dan curiga terhadap
komunitas lain yang menghantui masyarakat Poso saat ini juga berpengaruh besar
dalam memicu ledakan konflik selanjutnya, di saat negara dianggap tidak cukup
mampu melakukan fungsinya yang paling dasar, yaitu mengayomi dan melindungi
rakyat.
Karena itulah pemerintah harus
benar-benar peka terhadap fungsinya sebagai pengayom dan pelindung rakyatnya.
Pemerintah harus melakukan upaya-upaya strategis untuk menyelesaikan konflik
dan menegakkan perdamaian secara bermartabat dan berkeadilan di Poso. Dalam hal
ini, pemerintah tidak bisa melulu menjatuhkan pilihan hukum dan kekuatan
senjata untuk mengakhiri konflik di Poso, mengingat upaya-upaya hukum dan
kekuatan senjata yang diterapkan penguasa saat ini tidak cukup ampuh mengatasi
konflik yang terjadi, bahkan dikhawatirkan bisa membuat situasi Poso semakin
tak terkendali.
Dengan kata lain, pemerintah
harus bisa mencari jalan atau alternatif lain untuk mengakhiri konflik dan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok yang bertikai. Misalnya saja,
pemerintah mengikuti jejak Nelson Mandela dalam menyelesaikan dan menyatukan
kembali rakyat Afrika Selatan, yang selama ratusan tahun terpisahkan oleh
konflik ras.
Dalam hal ini, kehadiran
pemerintah dalam konflik seperti ini sebaiknya lebih mengedepankan rekonsiliasi
dan melakukan pendekatan budaya kekeluargaan dengan cara mendengarkan jeritan
hati mereka yang menderita, memberikan kompensasi kepada para korban, dan juga
memberikan amnesti (pengampunan) bagi pihak yang bersalah. Apalagi, sebelumnya,
pemerintah Yudhoyono dinilai cukup berhasil melakukan rekonsiliasi di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Selain menggunakan cara-cara rekonsiliasi, pemerintah
bisa saja menerapkan kebijakan baru, misalnya pendataan ulang warga Poso, guna
menjaga perdamaian dan keamanan sekaligus mengantisipasi masuknya kelompok
perusuh ke Poso.
Yang tak kalah penting, para
elite politik, pemuka masyarakat, dan tokoh agama harus menjadi figur pemersatu
yang bisa menghilangkan rasa benci dan dendam dalam diri anggota kelompoknya.
Bukankah semua agama mengajari kita hidup rukun, damai, dan berkasih sayang
serta tidak mengajari kita mencari kesalahan orang lain? Kita pun sepakat bahwa
agama adalah tempat yang memberikan kedamaian dan ketenangan hidup dalam diri
manusia. Jadi sudah semestinya agama menjadi alat untuk menekan budaya
(konflik) kekerasan, bukan malah menjadi korban kekerasan masyarakat.
No comments:
Post a Comment