Monday, December 25, 2017

Tragedi Katering Jemaah Haji



KORAN TEMPO, 11 Januari 2007
Tragedi Katering Jemaah Haji
Oleh Khaeron Sirin


Kasus kelaparan jemaah haji Indonesia merupakan cerminan buruknya sistem manajemen haji, yang selama ini dimonopoli oleh pemerintah. Dalam tiga tahun terakhir saja, terjadi beberapa kasus besar yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji, seperti kasus pembatalan kuota tambahan bagi jemaah haji, kasus kontrak perumahan di Arab Saudi, dan kasus penerbangan Indonesia Airlines yang menelantarkan jemaah haji. Bahkan muncul kasus dugaan kolusi, yang melibatkan mantan Menteri Agama dan mantan Direktur Jenderal Haji dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun lalu.
Dalam pelbagai persoalan yang menimpa jemaah haji semacam itu, biasanya pemerintah cenderung melakukan pemaafan diri (self forgiveness) dengan mengaitkan segenap mismanajemen tersebut sebagai bagian dari ujian dan keikhlasan beribadah. Artinya, ketidakberesan pelayanan haji ini dikamuflase sebagai rangkaian ujian spiritual yang harus diterima tanpa di-reserve oleh jemaah.
Karena itu, muncul pemikiran agar pengelolaan haji diswastakan atau diserahkan kepada pihak yang lebih mampu. Sebab, pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, dianggap tidak mampu mengelola penyelenggaraan haji. Dengan swastanisasi, diharapkan ada kompetisi dan efisiensi, sehingga jemaah tidak dirugikan oleh pelayanan yang kurang memadai. Atau pemerintah membuat semacam badan usaha milik negara, sehingga pelaksanaan ibadah haji dapat diselenggarakan secara profesional dan transparan.
Hanya, dalam perkembangannya nanti, perlu dipertegas batasan-batasan dalam pengelolaannya agar tidak terjadi penyimpangan visi dalam penanganan haji. Misalnya saja, penanganan jemaah haji nantinya tidak boleh menekankan aspek komersial, tapi lebih menekankan kepentingan ibadah. Pemerintah cukup memainkan peran diplomasi dan politik antardua negara, Indonesia-Arab Saudi, sekaligus sebagai penanggung jawab penyelenggaraan haji secara nasional.

Belajar dari kasus
Ibadah haji merupakan bentuk ibadah yang unik, sekaligus istimewa. Ia hanya diwajibkan sekali seumur hidup dan tidak bisa dilakukan di sembarang waktu dan tempat. Haji merupakan ibadah sebagai "kawah candradimuka" bagi manusia untuk kesalehan sosial, sekaligus penuh dengan simbol semangat kemanusiaan yang mendasar.
Seharusnya, nilai dan ajaran luhur ini--yang tersimbolisasi dalam rangkaian ibadah haji--tidak dinodai oleh kepentingan dan perilaku komersial dari berbagai pihak. Tanggung jawab negara dan pemerintahlah untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dalam menjalankan ibadah, termasuk kemudahan dan kenyamanan beribadah haji. Dalam hal ini, ibadah haji, secara tidak langsung, merupakan manifestasi adanya hubungan antara negara dan agama yang harmonis.
Setidaknya, ada dua pelajaran yang bisa dipetik dari kasus katering haji tersebut. Pertama, kasus tersebut menunjukkan betapa pengelolaan ibadah haji tidak boleh dinilai dari perspektif untung-rugi, tapi harus dipandang sebagai upaya melayani umat Islam yang hendak bertamu ke rumah Allah. Itulah sebabnya Raja Arab Saudi disemati tugas dan tanggung jawab sebagai khadimul haramain (pelayan dua kota suci), sebagai simbol komitmen dan keikhlasan sang penguasa untuk membantu dan melayani umat Islam yang beribadah haji. Semangat inilah yang seharusnya dijadikan titik masuk (entry point) bagi kita untuk melayani jemaah haji di Indonesia.
Kedua, ini merupakan peringatan Allah bagi umat Islam terhadap kelompok ekonomi mampu. Bagi Allah, amatlah mudah membuat orang kenyang menjadi lapar dan membuat orang kaya menjadi sengsara. Ketika masyarakat Indonesia banyak yang dilanda kelaparan, jemaah haji kita ditegur dan diuji untuk merasakan penderitaan kaum lemah, berupa lapar. Kita berharap, sekembalinya dari ibadah haji itu, jemaah yang sempat kelaparan di sana benar-benar menjadi haji yang mabrur (baik), makbul (sah), mabruk (berkah), dan lebih peduli terhadap nasib orang-orang miskin.

No comments: