KORAN TEMPO, 11 Januari 2007
Tragedi Katering Jemaah Haji
Oleh Khaeron Sirin
Kasus kelaparan jemaah haji
Indonesia merupakan cerminan buruknya sistem manajemen haji, yang selama ini
dimonopoli oleh pemerintah. Dalam tiga tahun terakhir saja, terjadi beberapa
kasus besar yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji, seperti kasus
pembatalan kuota tambahan bagi jemaah haji, kasus kontrak perumahan di Arab
Saudi, dan kasus penerbangan Indonesia Airlines yang menelantarkan jemaah haji.
Bahkan muncul kasus dugaan kolusi, yang melibatkan mantan Menteri Agama dan
mantan Direktur Jenderal Haji dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun lalu.
Dalam pelbagai persoalan yang
menimpa jemaah haji semacam itu, biasanya pemerintah cenderung melakukan
pemaafan diri (self forgiveness) dengan mengaitkan segenap mismanajemen
tersebut sebagai bagian dari ujian dan keikhlasan beribadah. Artinya,
ketidakberesan pelayanan haji ini dikamuflase sebagai rangkaian ujian spiritual
yang harus diterima tanpa di-reserve oleh jemaah.
Karena itu, muncul pemikiran
agar pengelolaan haji diswastakan atau diserahkan kepada pihak yang lebih
mampu. Sebab, pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, dianggap tidak mampu
mengelola penyelenggaraan haji. Dengan swastanisasi, diharapkan ada kompetisi
dan efisiensi, sehingga jemaah tidak dirugikan oleh pelayanan yang kurang
memadai. Atau pemerintah membuat semacam badan usaha milik negara, sehingga
pelaksanaan ibadah haji dapat diselenggarakan secara profesional dan
transparan.
Hanya, dalam perkembangannya
nanti, perlu dipertegas batasan-batasan dalam pengelolaannya agar tidak terjadi
penyimpangan visi dalam penanganan haji. Misalnya saja, penanganan jemaah haji
nantinya tidak boleh menekankan aspek komersial, tapi lebih menekankan
kepentingan ibadah. Pemerintah cukup memainkan peran diplomasi dan politik
antardua negara, Indonesia-Arab Saudi, sekaligus sebagai penanggung jawab
penyelenggaraan haji secara nasional.
Belajar dari kasus
Ibadah haji merupakan bentuk
ibadah yang unik, sekaligus istimewa. Ia hanya diwajibkan sekali seumur hidup
dan tidak bisa dilakukan di sembarang waktu dan tempat. Haji merupakan ibadah
sebagai "kawah candradimuka" bagi manusia untuk kesalehan sosial,
sekaligus penuh dengan simbol semangat kemanusiaan yang mendasar.
Seharusnya, nilai dan ajaran
luhur ini--yang tersimbolisasi dalam rangkaian ibadah haji--tidak dinodai oleh
kepentingan dan perilaku komersial dari berbagai pihak. Tanggung jawab negara
dan pemerintahlah untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dalam menjalankan
ibadah, termasuk kemudahan dan kenyamanan beribadah haji. Dalam hal ini, ibadah
haji, secara tidak langsung, merupakan manifestasi adanya hubungan antara
negara dan agama yang harmonis.
Setidaknya, ada dua pelajaran
yang bisa dipetik dari kasus katering haji tersebut. Pertama, kasus tersebut
menunjukkan betapa pengelolaan ibadah haji tidak boleh dinilai dari perspektif
untung-rugi, tapi harus dipandang sebagai upaya melayani umat Islam yang hendak
bertamu ke rumah Allah. Itulah sebabnya Raja Arab Saudi disemati tugas dan
tanggung jawab sebagai khadimul haramain (pelayan dua kota suci), sebagai
simbol komitmen dan keikhlasan sang penguasa untuk membantu dan melayani umat
Islam yang beribadah haji. Semangat inilah yang seharusnya dijadikan titik masuk
(entry point) bagi kita untuk melayani jemaah haji di Indonesia.
Kedua, ini merupakan
peringatan Allah bagi umat Islam terhadap kelompok ekonomi mampu. Bagi Allah,
amatlah mudah membuat orang kenyang menjadi lapar dan membuat orang kaya
menjadi sengsara. Ketika masyarakat Indonesia banyak yang dilanda kelaparan,
jemaah haji kita ditegur dan diuji untuk merasakan penderitaan kaum lemah,
berupa lapar. Kita berharap, sekembalinya dari ibadah haji itu, jemaah yang
sempat kelaparan di sana benar-benar menjadi haji yang mabrur (baik), makbul
(sah), mabruk (berkah), dan lebih peduli terhadap nasib orang-orang miskin.
No comments:
Post a Comment