Monday, November 20, 2017

Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia



REPUBLIKA, 29 Agustus 2006
Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia
Oleh Khaeron Sirin

 Konon, Indonesia adalah salah satu negara yang dalam sejarahnya tidak pernah tepat waktu dalam mengeksekusi para terpidana hukuman mati. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu menunda-menunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya. Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut.
Lihat saja dua kasus besar saat ini, setelah pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan grasi ke presiden ditolak, eksekusi terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, masih terus ditunda. Padahal, eksekusi hukuman mati terhadap Tibo cs rencananya dilakukan pada Maret 2006, lalu diundur 12 Agustus 2006. Batal lagi dan akan diputuskan tiga hari setelah HUT RI. Namun, Setelah tiga hari berlalu, pemerintah justru belum memberikan kepastian.
Kejaksaan Negeri Denpasar Bali juga menunda eksekusi mati kasus Bom Bali I, yaitu Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron, yang telah dijadwalkan 22 Agustus lalu. Penundaan dilakukan untuk memberikan kesempatan proses peninjauan kembali (PK) yang tengah diajukan pengacara terpidana.
Dengan mengambangnya putusan eksekusi tersebut, tidak menutup kemungkinan kasus yang sama akan terjadi pada kasus-kasus besar lain, semisal korupsi dan narkoba. Ini jelas berdampak negatif bagi upaya penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Lebih dari itu, penundaan eksekusi dikhawatirkan menjadi pintu masuk bagi upaya kelompok-kelompok tertentu untuk menghapus hukuman mati di Indonesia, seperti yang saat ini tengah digalakkan demi membebaskan Tibo cs.

Mengapa hukuman mati?
Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana kita adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli hukum dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan, bahkan ada gerakan abolisionis yang menentang hukuman mati.
Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya.
Setidaknya, ada beberapa implikasi yang menyebabkan banyak para pakar hukum dan HAM, termasuk di Indonesia, menolak hukuman mati. Pertama, dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum rimba. Kedua, tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah seseorang untuk melakukan pembunuhan.
Ketiga, eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa diubah jika di kemudian hari ternyata tidak memiliki dasar yang kuat. Keempat, berlawanan dengan kebebasan orang (pribadi), karena hidup manusia adalah milik pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain.
Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati dihapuskan, hukuman-hukuman lain pun harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa juga mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih hukuman mati ketimbang menderita seumur hidup di dalam penjara.
Tujuan hukuman, sebagaimana kecenderungan pemikiran hukum positif akhir-akhir ini, lebih berorientasi untuk mendidik dan memperbaiki si terhukum. Tetapi, bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, menunjukkan ia tidak lagi mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya. Apalagi, orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana orang yang membunuhnya.
Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati. Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan nyawanya pula dari kehidupan masyarakat (dunia).
Di sisi lain, kekeliruan putusan hakim pada dasarnya berlaku juga bagi hukuman-hukuman lain. Misalnya, apakah seseorang yang dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara, kemudian setelah menjalani hukuman tersebut ternyata ditemukan bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan pada putusan hakim, maka putusan itu dapat diubah?
Yang jelas, jika ketelitian dan keadilan dapat dijalankan, maka adanya kesalahan dalam menetapkan putusan hukuman mati kemungkinannya akan sangat kecil. Tentunya, pelaksanaan hukuman mati setelah melalui proses pemeriksaan dan pembuktian yang sangat ketat dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat memberikan keyakinan kepada hakim.
Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang lain. Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum, maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.
Di sinilah, sistem hukum kita hendaknya tidak meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, hukum kita ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.

Eksekusi Tibo Cs
Tertundanya eksekusi mati semisal kasus Tibo cs mengisyaratkan, bangsa Indonesia belum bisa menghargai supremasi hukum dan lebih mengedepankan persoalan politik. Besarnya intervensi asing dan politik telah menyebabkan supremasi hukuman mati di Indonesia terasa gamang. Penundaan itu juga menunjukkan, Indonesia adalah negara yang lemah dan tidak mandiri di mata internasional.
Sejatinya, eksekusi mati terhadap pidana mati merupakan keputusan yang telah diambil melalui mekanisme peradilan dan harus dilaksanakan demi tegaknya hukum di Indonesia. Hanya saja, telah menjadi kelaziman berbagai negara bahwa pelaksanaan eksekusi tergantung kepada eksekutif. Maka, pemerintah atas nama negara, hendaknya dapat melakukan eksekusi terhadap terpidana mati seperti Tibo cs. Selain itu, pemerintah sebaiknya tidak perlu mengumumkan jadwal eksekusi, untuk menekan timbulnya kontroversi di tengah masyarakat.
Pemerintah hendaknya tidak mengabaikan tuntutan rasa keadilan yang terus disuarakan oleh ribuan korban kerusuhan Poso yang mayoritas kaum Muslim. Demi menjunjung tinggi rasa keadilan dan supremasi hukum, pemerintah atas nama negara yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa harus segera melaksanakan eksekusi.

Merintis Jalan Baru Islam



REPUBLIKA, 22 Juni 2006
Merintis Jalan Baru Islam
Oleh Khaeron Sirin
 
Untuk kedua kalinya, International Conference of Islamic Scholars (ICIS) digelar pada 20-22 Juni 2006. Perhelatan akbar yang diinisiatifi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut dihadiri sejumlah tokoh dan cendekiawan dari berbagai negara. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menjembatani hubungan antara dunia Islam dan Barat, mencari solusi penyelesaian konflik yang terjadi di internal agama (Islam), serta menggagas terwujudnya Islam yang produktif, damai dan maju.
Gagasan untuk menggelar konferensi bertema ‘’Menegakkan Islam Sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam Menuju Keadilan dan Perdamaian Global’’, itu, terkait dengan maraknya fenomena konflik dan kekerasan yang melibatkan identitas agama di berbagai negara. Terlebih, konflik itu terjadi bukan saja pada keyakinan keagamaan yang berbeda, tapi juga pada keyakinan agama yang sama.

Merintis jalan baru
Jika ditelusuri lebih jauh, munculnya pertentangan, ketegangan, bahkan konflik adalah satu hal yang sulit dihindari dalam memahami suatu ajaran (agama). Di satu sisi, ketegangan ataupun konflik itu muncul oleh suatu keniscayaan untuk mempertahankan segi doktrinal suatu agama dalam situasi kehidupan dunia yang selalu berubah. Sementara di sisi lain, ketengan dan konflik itu muncul oleh proses sosiologis.
Kehadiran suatu (pemikiran) agama kerap kali memberikan dasar bagi proses pelembagaan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dari sinilah, kemudian lahir semacam elite agama yang sekaligus elite sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakatnya. Ketegangan dan konflik akan muncul dalam proses semacam itu, yaitu ketika muncul gerakan pemikiran (agama) baru yang berupaya menggantikan pemikiran lampau.
Di atas semua itu, ketegangan dan konflik di sekitar pemahaman keagamaan lebih berupa pertentangan antara apa yang dianggap sebagai doktrin agama (Islam) dan dunia. Dengan kata lain, agama (Islam) sering dimaknai sebagai ajaran yang bukan bersifat dunia --dalam pengertian bahwa unsur ilahiah mendominasi doktrin Islam yang dihadirkan ke dunia ini. Karena itulah, persoalan tersebut perlu dicarikan solusinya agar tidak muncul konflik di internal pemeluk agama (Islam).
ICIS II yang dihadiri para cendekiawan Muslim tersebut diharapkan mampu merintis jalan baru untuk mempromosikan toleransi, kedamaian, dan keharmonisan, baik internal ataupun antarumat beragama. Salah satunya, dengan menggiatkan dialog sebagai cara paling efektif untuk menumbuhkan toleransi dan kedamaian, baik internal ataupun antarumat beragama.
Semangat dialog ini perlu diprioritaskan mengingat Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi semesta alam. Dan dalam sejarahnya, Islam memang telah menjadi rahmat. Di sinilah Islam akan menemukan tempatnya yang sejati bagi kehidupan umat di muka bumi ini.
Islam dapat berperan besar dalam membentuk zaman selagi para tokoh Muslim bisa mengemas Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Islam akan menjadi salah satu agama alternatif yang paling cocok di era global dan masa mendatang, serta kekuatan penting di dunia jika umat Islam mengerti mengerti tren global yang ditandai dengan revolusi peradaban yang begitu kuat.
Sehingga dunia Islam secara kualitas akan menjadi lebih maju dan bisa menawarkan kesegaran baru bagi masyarakat yang mulai menemukan kehampaan dunia. Mungkin, bukan waktunya ‘mengislamkan’ negara-negara, tapi yang lebih penting adalah mengislamkan jiwa dan raga setiap individu. Karena bisa jadi pengontrol dunia di masa depan berada di tangan individu-individu bebas yang tidak mempunyai ikatan dengan negara tertentu, tapi punya jaringan luas.
Menjadi tugas para penggerak dan pemimpin umat untuk berusaha semaksimal mungkin agar peradaban Islam yang mulia bisa segera hadir dan memberi kebaikan, ketenteraman, kedamaian, dan keadilan kepada seluruh umat manusia. Dalam hal ini, Islam harus dilihat sebagai ajaran yang terbuka dan lentur terhadap kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam masyarakat dunia.
Dinamika Islam dan perannya harus senantiasa dilihat dari sejauh mana Islam menyediakan diri bergulat dan mengarahkan perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih adil dan damai. Dalam kerangka ini, pemikiran Islam harus didorong untuk terus terlibat dalam perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan cara inilah, kehadiran Islam saat ini memiliki akar logis di tengah bangsa dan masyarakat dunia.
Dari sinilah, perkembangan pemikiran Islam hendaknya lebih ditekankan pada keyakinan bahwa Islam adalah ajaran universal dan total. Karena itu, Islam mesti terlibat dalam persoalan-persoalan struktur nilai dan sistem kehidupan universal. Dasar-dasar ajaran Islam merupakan potensi bagi sistem kehidupan alternatif selain yang ditawarkan oleh sistem kehidupan Barat untuk mengambil peran positif dalam memecahkan krisis kemanusiaan universal dewasa ini.
Dengan demikian, nilai-nilai agama (Islam) sudah semestinya didekatkan dengan perubahan dan modernitas sebagai respons terhadap kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya, teknologi dan sebagainya. Misalnya saja, dengan menempatkan nilai-nilai agama sebagai faktor yang dapat menggiring perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan teknologi ke arah yang lebih humanis. Selain itu, penekanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sifatnya universal yang terkandung dalam ajaran agama justru bisa mengurangi kemungkinan terjadinya konflik.

Harapan ke depan
Di samping berani memahami pemikiran keagamaan yang berkembang saat ini, umat Islam juga harus berani membuka diri berdialog dengan Barat. Sebab, bagaimanapun, dunia Islam dan Barat punya andil yang besar atas berhasil-tidaknya membangun peradaban dunia saat ini.
Dibutuhkan keterbukaan dari masing-masing pihak untuk menerima kenyataan perbedaan. Barat tidak berhak lagi memaksa Islam menerima sesuatu dari pengalaman Barat. Sebaliknya, Islam juga tidak perlu memaksakan diri untuk menghancurkan sistem kapitalisme Barat demi memperoleh superioritasnya. Sebab, peradaban bisa berjalan dengan baik jika masing-masing pihak bisa terbuka dan menerima perbedaan sebagai ‘fitrah’ kehidupan manusia di muka bumi ini.
Maka, gagasan ICIS II untuk menjembatani dialog peradaban Islam-Barat sangatlah strategis, mengingat dunia Islam saat ini merupakan kekuatan dunia yang tak terbantahkan. Dalam hal ini, dunia Islam punya potensi besar untuk membangun sebuah peradaban dunia. Sebab, sejatinya agama Islam yang diajarkan adalah agama yang mengedepankan toleransi, kerendahan hati, saling menghormati, serta senantiasa mendorong keharmonisan sosial. Nilai dan ajaran itulah yang berpotensi menjadi dasar pijakan bagi masyarakat dunia untuk membangun dialog dan kerja sama antara dunia Islam dan dunia Barat.
Dialog merupakan langkah penting yang harus dilakukan, seiring terjadinya kesalahpahaman dan kurangnya perhatian di antara dunia Islam dan Barat atas persoalan yang sebenarnya bisa dihadapi secara bersama. Dialog juga akan menjadi landasan penting untuk meningkatkan kerja sama antara Islam dan Barat, atau antar-budaya dan agama yang berbeda. Tujuannya, untuk meningkatkan kesadaran hati nurani dan etika global yang mewakili jatidiri semua manusia di muka bumi, yang berusaha menyuarakan dan menjaga kepentingan bersama, semisal menjaga dan melindungi kelestarian alam.
Dari sinilah, ICIS II diharapkan bisa merumuskan action plan (rencana aksi) untuk bisa mengembangkan dan mengaktualisasikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, membangun rasa saling percaya, pengertian dan penghormatan antara Islam dan Barat. Selain itu, juga bisa mencari jalan baru bagi tersedianya dialog yang konstruktif dan kerja sama di antara lembaga-lembaga dan masyarakat Islam dari seluruh kawasan.
Ke depan, perkembangan pemikiran Islam di dunia hendaknya bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi generasi umat saat ini. Pemahaman bahwa Islam sebagai agama yang mengajarkan keadilan dan perdamaian hendaknya juga bisa menjadi pijakan untuk memulai hubungan dan kerja sama antara dua dunia itu. Semoga perhelatan akbar itu bisa memberi napas baru bagi umat Islam dan menjadi langkah konkret membangun tata dunia baru yang berkeadilan, damai, dan sejahtera. Wallahu a’lam.
Ikhtisar:
- ICIS II yang dihadiri para tokoh dan cendekiawan dari berbagai negara diharapkan mampu merintis jalan baru untuk mempromosikan toleransi, kedamaian, dan keharmonisan, baik internal ataupun antarumat beragama.
- Merupakan tugas para penggerak dan pemimpin umat untuk menampilkan peradaban Islam yang mulia untuk memberi kebaikan, ketenteraman, kedamaian, dan keadilan kepada seluruh umat manusia.
- Islam akan menjadi alternatif yang paling cocok di era global dan masa datang jika umat Islam mengerti tren global yang ditandai revolusi peradaban yang begitu kuat. Islam dapat berperan besar dalam membentuk zaman selagi para tokoh Muslim bisa mengemasnya sesuai tuntutan zaman.
- Gagasan ICIS II untuk menjembatani dialog peradaban Islam-Barat sangatlah strategis, mengingat dunia Islam saat ini merupakan kekuatan dunia yang tak terbantahkan. Dalam hal ini, dunia Islam punya potensi besar untuk membangun sebuah peradaban dunia.

Celah Mengadili Soeharto



KORAN TEMPO, 16 JUNI 2006
Celah Mengadili Soeharto
Oleh Khaeron Sirin

 Celah untuk mengadili kembali mantan presiden Soeharto masih terbuka. Ini setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan keputusan yang menyatakan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKP3) terhadap Soeharto yang dikeluarkan Kejaksaan Agung tidak sah. Alasannya, terbitnya SKP3 tersebut tidak memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan dalam Pasal 140 ayat 2-b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu tidak ditemukan cukup bukti, perkara itu bukan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut sekaligus membuka peluang untuk menyeret paksa pelaku korupsi lain--yang selama ini sulit ditangkap dengan berbagai alasan--ke meja hijau.
Memang, salah satu persoalan besar yang menjadi dilema adalah banyaknya kasus korupsi yang melibatkan petinggi negeri. Tak sedikit elite politik, yang sejatinya membebaskan bangsa ini dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru ikut-ikutan terjerumus dalam praktek tersebut. Tentu hal ini semakin menguras energi masyarakat dan bangsa ini dalam upaya keluar dari keterpurukan atau krisis yang sedang berlangsung. Apalagi banyak kasus korupsi yang hingga kini penyelesaiannya belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Alih-alih keluar dari krisis hukum, pemerintah malah tidak berdaya dalam mengusut secara tuntas kasus-kasus korupsi di negeri ini. Karena itu, pemberantasan kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi demi penyelamatan krisis bangsa. Korupsi adalah musuh besar yang harus diberantas secara konkret dan jelas--sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi tidak hanya merugikan bangsa dan negara, tapi juga merusak mental masyarakat, baik aparat pemerintah maupun masyarakat luas.
Selain mengkhianati amanat rakyat, kejahatan korupsi bisa menimbulkan semacam "dendam kelas" di tengah-tengah masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan dari arena kekuasaan. Lebih dari itu, kejahatan ini bisa mengancam moral generasi penerus bangsa, sekaligus mengganggu stabilitas, kredibilitas, dan citra negara di mata internasional. Dalam perspektif ini, dukungan sebagian elite politik untuk menghentikan tuntutan terhadap mantan presiden Soeharto jelas kontraproduktif dengan semangat reformasi. Ini menunjukkan betapa para elite kita masih setengah hati dalam menyelesaikan kasus korupsi secara tuntas. Ini akan memberikan "angin segar" bagi koruptor-koruptor yang selama ini berlindung di balik dinding politik. Ini juga semakin menyiratkan betapa para elite politik sangat tidak manusiawi dengan menjadikan kasus Soeharto sebagai obyek politik yang bisa meningkatkan pamor mereka, dengan cara membiarkan kasus tersebut menjadi "lubang hitam" yang tak terungkap.
Jika dibiarkan, hal itu jelas akan berimplikasi secara mendalam bagi moral transisi demokrasi di negeri kita ini. Bergulirnya reformasi, yang telah memakan banyak korban jiwa dan harta rakyat, akan kehilangan makna hukum dan politiknya. Itu juga akan semakin meningkatkan ketidakpercayaan rakyat kepada kepemimpinan saat ini, sekaligus semakin menguatkan keyakinan kita akan ketidakberdayaan pemerintah mengadili penguasa yang korup. Itu akan menjadi sejarah hitam dalam perjalanan reformasi bangsa ini, sekaligus menjadi potret buram yang akan dikenang oleh generasi yang akan datang.
Karena itu, upaya mencari terobosan atau upaya hukum baru di tengah transisi demokrasi menjadi perlu dipertimbangkan. Semestinya pemerintah menyadari dan memperhitungkan adanya kekurangan dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hukum masyarakat. Pemerintah sebagai pencipta dan penegak hukum harus berusaha menggali dan mengikuti serta memahami nilai hukum yang hidup di masyarakat--guna melengkapi hukum formal, agar sesuai dengan perasaan hukum dan rasa keadilan masyarakat itu sendiri.
Dalam konteks ini, keadilan hanya bisa lahir jika aparat penegak hukum tidak semata-mata menonjolkan procedural justice atau formalitas prosedur penegakan hukum. Ini sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum. Misalnya, terhadap kasus mantan presiden Soeharto, bisa saja dilakukan pengadilan in absentia. Dalam artian, pengadilan ini tidak semata-mata dipahami sebagai pengadilan bagi terdakwa yang melarikan diri atau tak diketahui rimbanya. Tapi istilah in absentia bisa juga dipahami sebagai pengadilan terhadap terdakwa yang memang tidak bisa hadir secara fisik dalam arti umum, karena sakit, kabur, atau lainnya.
Dengan adanya pengadilan in absentia, bisa diperoleh kepastian hukum demi tegaknya hukum di atas semua warga negara, sekaligus memenuhi rasa keadilan di tengah masyarakat. Ini juga dilakukan agar nantinya tidak menjadi beban sejarah bagi generasi mendatang, sekaligus untuk menyelamatkan sisa-sisa aset milik negara yang selama ini dipegang oleh mereka yang tidak berhak. Jangan sampai kasus-kasus korupsi yang telah merugikan rakyat dan negara lenyap begitu saja hanya karena tidak ada landasan hukum formal yang mengaturnya.
Dari sini, keinginan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengambil alih kasus Soeharto--jika pengadilan negeri tidak "bersedia"--dan mengadilinya secara in absentia perlu disambut positif dan harus ditindaklanjuti. Meski upaya ini mungkin sarat dengan kepentingan politik, lahirnya gagasan ini harus dilihat dari aspek penegakan supremasi hukum dan pemenuhan rasa keadilan di masyarakat, sekaligus untuk mengantisipasi adanya upaya "pengadilan rakyat" terhadap kasus Soeharto.
Jika itu bisa terjadi, Komisi Pemberantasan Korupsi akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam mengambil celah hukum, sekaligus membongkar kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan penguasa negeri ini. Itu jelas akan memberikan kepuasan bagi publik dan semakin menumbuhkan kepercayaan masyarakat Indonesia kepada bangsa dan negaranya yang dengan sungguh-sungguh, sekuat tenaga, dan cermat menegakkan hukum demi melindungi seluruh masyarakat dan membangun ketertiban bangsa, sekaligus membersihkan negara ini dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Tentu kita tidak ingin kasus Soeharto menjadi "katebelece" bagi para koruptor lain untuk menyelamatkan diri atas nama kemanusiaan. Kita tidak ingin kasus Soeharto menjadi "Supersemar kedua" yang akan menjadi misteri dan beban sejarah pada masa mendatang. Kita tidak ingin bangsa ini menjadi bangsa pemaaf bagi para pendosa tapi mengorbankan rasa keadilan di masyarakat. Kita juga tidak ingin kalau akhirnya bangsa ini menjadi bangsa "tebu", yang memberikan rasa manis bagi orang lain meski diri kita hancur lebur.