REPUBLIKA, 29 Agustus 2006
Liku-liku
Hukuman Mati di Indonesia
Oleh Khaeron Sirin
Konon, Indonesia adalah salah satu negara yang dalam
sejarahnya tidak pernah tepat waktu dalam mengeksekusi para terpidana hukuman
mati. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu
menunda-menunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya.
Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga
bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut.
Lihat saja dua kasus besar saat ini, setelah pengajuan
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan grasi ke presiden ditolak,
eksekusi terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus
da Silva, masih terus ditunda. Padahal, eksekusi hukuman mati terhadap Tibo cs
rencananya dilakukan pada Maret 2006, lalu diundur 12 Agustus 2006. Batal lagi
dan akan diputuskan tiga hari setelah HUT RI. Namun, Setelah tiga hari berlalu,
pemerintah justru belum memberikan kepastian.
Kejaksaan Negeri Denpasar Bali juga menunda eksekusi mati
kasus Bom Bali I, yaitu Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron, yang telah
dijadwalkan 22 Agustus lalu. Penundaan dilakukan untuk memberikan kesempatan
proses peninjauan kembali (PK) yang tengah diajukan pengacara terpidana.
Dengan mengambangnya putusan eksekusi tersebut, tidak
menutup kemungkinan kasus yang sama akan terjadi pada kasus-kasus besar lain,
semisal korupsi dan narkoba. Ini jelas berdampak negatif bagi upaya penegakan
hukum dan HAM di Indonesia. Lebih dari itu, penundaan eksekusi dikhawatirkan
menjadi pintu masuk bagi upaya kelompok-kelompok tertentu untuk menghapus
hukuman mati di Indonesia, seperti yang saat ini tengah digalakkan demi
membebaskan Tibo cs.
Mengapa hukuman mati?
Mengapa hukuman mati?
Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan
hukum pidana kita adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di
dunia terjadi perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama
para ahli hukum dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam
diarahkan, bahkan ada gerakan abolisionis yang menentang hukuman mati.
Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai
sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya
dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa
melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya.
Setidaknya, ada beberapa implikasi yang menyebabkan
banyak para pakar hukum dan HAM, termasuk di Indonesia, menolak hukuman mati.
Pertama, dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum rimba.
Kedua, tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah seseorang
untuk melakukan pembunuhan.
Ketiga, eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa
diubah jika di kemudian hari ternyata tidak memiliki dasar yang kuat. Keempat,
berlawanan dengan kebebasan orang (pribadi), karena hidup manusia adalah milik
pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain.
Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada
hakikatnya mengandung unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati dihapuskan,
hukuman-hukuman lain pun harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur
hidup dengan kerja paksa juga mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si
terpidana, bisa jadi akan lebih memilih hukuman mati ketimbang menderita seumur
hidup di dalam penjara.
Tujuan hukuman, sebagaimana kecenderungan pemikiran hukum
positif akhir-akhir ini, lebih berorientasi untuk mendidik dan memperbaiki si
terhukum. Tetapi, bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak,
menunjukkan ia tidak lagi mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya. Apalagi,
orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana orang yang membunuhnya.
Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk
tidak menyebabkan orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak
dikorbankan sampai mati. Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan
sengaja, harus dihilangkan nyawanya pula dari kehidupan masyarakat (dunia).
Di sisi lain, kekeliruan putusan hakim pada dasarnya
berlaku juga bagi hukuman-hukuman lain. Misalnya, apakah seseorang yang
dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara, kemudian setelah menjalani hukuman
tersebut ternyata ditemukan bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan pada
putusan hakim, maka putusan itu dapat diubah?
Yang jelas, jika ketelitian dan keadilan dapat
dijalankan, maka adanya kesalahan dalam menetapkan putusan hukuman mati
kemungkinannya akan sangat kecil. Tentunya, pelaksanaan hukuman mati setelah
melalui proses pemeriksaan dan pembuktian yang sangat ketat dan memenuhi
syarat-syarat tertentu yang dapat memberikan keyakinan kepada hakim.
Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan,
yaitu memberi pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan
terhadap orang lain. Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak
ada nilainya bagi si terhukum, maka nilainya terletak pada kesannya terhadap
orang lain sebagai pencegahan umum.
Di sinilah, sistem hukum kita hendaknya tidak
meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, hukum
kita ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang
berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak
korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di
Indonesia seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak
dan pihak korban, meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku
kejahatan itu sendiri.
Eksekusi Tibo Cs
Tertundanya eksekusi mati semisal kasus Tibo cs
mengisyaratkan, bangsa Indonesia belum bisa menghargai supremasi hukum dan
lebih mengedepankan persoalan politik. Besarnya intervensi asing dan politik
telah menyebabkan supremasi hukuman mati di Indonesia terasa gamang. Penundaan
itu juga menunjukkan, Indonesia adalah negara yang lemah dan tidak mandiri di
mata internasional.
Sejatinya, eksekusi mati terhadap pidana mati merupakan keputusan yang telah diambil melalui mekanisme peradilan dan harus dilaksanakan demi tegaknya hukum di Indonesia. Hanya saja, telah menjadi kelaziman berbagai negara bahwa pelaksanaan eksekusi tergantung kepada eksekutif. Maka, pemerintah atas nama negara, hendaknya dapat melakukan eksekusi terhadap terpidana mati seperti Tibo cs. Selain itu, pemerintah sebaiknya tidak perlu mengumumkan jadwal eksekusi, untuk menekan timbulnya kontroversi di tengah masyarakat.
Pemerintah hendaknya
tidak mengabaikan tuntutan rasa keadilan yang terus disuarakan oleh ribuan
korban kerusuhan Poso yang mayoritas kaum Muslim. Demi menjunjung tinggi rasa
keadilan dan supremasi hukum, pemerintah atas nama negara yang berke-Tuhan-an
Yang Maha Esa harus segera melaksanakan eksekusi.
Sejatinya, eksekusi mati terhadap pidana mati merupakan keputusan yang telah diambil melalui mekanisme peradilan dan harus dilaksanakan demi tegaknya hukum di Indonesia. Hanya saja, telah menjadi kelaziman berbagai negara bahwa pelaksanaan eksekusi tergantung kepada eksekutif. Maka, pemerintah atas nama negara, hendaknya dapat melakukan eksekusi terhadap terpidana mati seperti Tibo cs. Selain itu, pemerintah sebaiknya tidak perlu mengumumkan jadwal eksekusi, untuk menekan timbulnya kontroversi di tengah masyarakat.